---
Malam itu terasa berbeda dari biasanya.
Alena menatap dirinya di cermin, menyisir rambut panjangnya dengan teliti.
Gaun hitam yang ia kenakan cukup sederhana, tetapi elegan. Ia tidak tahu mengapa, tapi ada rasa cemas yang menggelayuti hatinya sejak Raffael mengajaknya makan malam.
Perasaan yang tidak biasa, sesuatu yang baru. Dia belum pernah merasa seperti ini sebelumnya. Biasanya, dia hanya melakukan apa yang diinginkan oleh orang tuanya, namun malam ini, ada sedikit kebebasan di dalam dirinya.
Ketika ia siap dan keluar dari kamar, langkahnya terdengar pelan di lantai rumah yang sepi. Tidak ada suara selain langkah kakinya, dan ketenangan yang ada hanya semakin memperburuk kecemasannya.
Pikirannya berputar, tentang Raffael, tentang pernikahan mereka yang terpaksa ini, dan tentang apa yang diinginkan oleh pria itu. Apakah dia benar-benar tulus, atau hanya mencoba menunjukkan sesuatu demi keluarga?
Begitu dia sampai di ruang tamu, Raffael sudah ada di sana, berdiri dengan postur tegak. Setelan jas yang dikenakannya terlihat pas, dan matanya yang tajam menatapnya dengan kesan serius.
Tak ada senyum yang menghiasi wajahnya kali ini, hanya tatapan yang sulit dibaca.
"Kamu siap?" tanya Raffael, suaranya datar, namun ada sedikit kehangatan di dalamnya.
"Sepertinya aku siap," jawab Alena, berusaha terdengar santai meskipun dalam hati hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia merasa seperti orang asing di dunia yang asing pula.
Makan malam dengan suami yang sudah dijodohkan, di restoran yang tampaknya lebih mewah daripada yang biasa ia datangi, terasa menambah ketegangan di dalam dirinya.
Raffael membuka pintu mobil dengan sigap, dan Alena masuk ke dalam, merasakan kenyamanan mobil mewah itu.
Namun kenyamanan itu segera disusul dengan ketegangan yang tak terucapkan. Raffael mengemudi dengan penuh konsentrasi, matanya tak lepas dari jalanan, sementara Alena hanya menatap pemandangan yang berlalu cepat di luar jendela mobil.
Setelah beberapa saat, mereka tiba di restoran. Suasana restoran itu tenang, dengan pencahayaan lembut yang menciptakan suasana hangat dan intim.
Meja yang disiapkan untuk mereka berada di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Alena merasa sedikit terintimidasi oleh keanggunan tempat itu. Ia mengatur napasnya, berusaha menenangkan diri.
"Malam ini, kita akan makan dengan tenang. Tidak perlu terburu-buru," kata Raffael sambil menarik kursi untuknya.
Alena duduk dan memperhatikan sekeliling restoran dengan cermat, mencoba menenangkan diri.
Tentu saja, makan malam ini tidak akan mudah. Meskipun Raffael mencoba menunjukkan sisi yang lebih santai, dia masih merasa canggung,
seolah-olah mereka adalah dua orang asing yang dipaksa duduk bersama karena kewajiban.
Pelayan datang, memberikan menu dengan senyum ramah. Raffael memesan beberapa hidangan dengan cepat dan tanpa banyak basa-basi, seperti sudah terbiasa.
Alena hanya mengangguk pelan, merasa bingung apa yang harus dipesan. Ini bukan tempat yang biasa dia kunjungi.
Restoran mewah seperti ini lebih sering menjadi tempat pertemuan para pengusaha dan orang-orang besar. Bukan tempat untuk seseorang seperti dia.
"Ada yang ingin kamu pesan?" tanya Raffael dengan nada yang lebih lembut, kali ini seolah ingin memulai percakapan yang lebih terbuka.
Alena memandang menu tanpa benar-benar membacanya.
"Aku... tidak tahu. Mungkin aku ikut saja apa yang kamu pesan."
Raffael mengangguk, dan dalam keheningan itu, mereka saling bertukar pandang sejenak, mencoba mengatasi kecanggungan yang ada.
Ketegangan yang terbangun sejak mereka pertama kali bertemu masih terasa, meskipun Raffael mencoba menunjukkan sisi yang lebih ringan malam itu.
Hidangan pembuka pertama datang, dan mereka mulai makan dalam diam, hanya sesekali berbicara tentang selera makanan atau membahas sedikit hal-hal yang terkesan ringan.
Namun, bagi Alena, semuanya terasa berat. Rasa cemas dan kebingungan masih menguasainya. Apakah Raffael benar-benar ingin mengenalnya lebih dekat, atau apakah semua ini hanya bagian dari strategi besar dalam permainan pernikahan mereka?
Setelah beberapa saat, Raffael menatapnya dengan serius.
"Kamu tidak mengatakan apa-apa malam ini. Apa kamu tidak ingin berbicara?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
Alena menatapnya, merasa sedikit terkejut. Ini bukan pertanyaan yang biasa datang darinya. Biasanya, Raffael hanya berbicara jika ada sesuatu yang penting atau berkaitan dengan keluarga mereka.
Namun, malam ini, tampaknya dia ingin berbicara lebih banyak—tentang mereka, tentang apa yang mereka hadapi.
"Aku... hanya bingung," jawab Alena dengan jujur. "Aku tidak tahu apa yang kamu harapkan dari semua ini, Raffael."
Raffael menatapnya sejenak, lalu menghela napas. "Aku tahu ini sulit. Kita dipaksa untuk menjalani ini, Alena. Aku juga merasa terjebak dengan situasi ini. Tetapi aku ingin tahu apakah kita bisa melakukannya dengan cara yang berbeda. Aku tidak ingin kamu merasa seperti aku hanya menjalankan kewajiban."
Alena merasa ada kejujuran dalam kata-kata Raffael. Ini bukan hanya tentang perjodohan, bukan hanya tentang apa yang mereka berdua harus lakukan. Raffael tampaknya benar-benar ingin mencoba sesuatu yang lebih. Sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas pernikahan yang dingin dan terpaksa ini.
"Apa yang kamu inginkan dari pernikahan ini, Raffael?" tanya Alena, suaranya rendah, penuh keraguan.
"Aku ingin kita saling mengenal," jawab Raffael, menatapnya dengan tatapan yang lebih dalam dari sebelumnya.
"Aku ingin kita lebih dari sekadar pasangan yang terikat oleh kewajiban keluarga. Aku ingin tahu apa yang kamu suka, apa yang membuat kamu bahagia."
Alena terdiam sejenak, meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Raffael. Ia tidak tahu harus bagaimana. Pernikahan ini adalah sesuatu yang telah diputuskan jauh sebelum dia dan Raffael saling mengenal. Tidak ada ruang untuk perasaan pribadi. Tetapi kini, di hadapan Raffael, ia merasa seperti ada kemungkinan untuk hal yang berbeda.
"Bagaimana kalau aku tidak tahu apa yang aku inginkan?" Alena bertanya, suara itu lebih rapuh dari yang dia duga.
Raffael tersenyum tipis. "Tidak masalah. Kita bisa belajar bersama."
Ada kehangatan dalam senyum itu, dan Alena merasa sedikit lebih ringan. Mungkin, hanya mungkin, ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih dari sekadar pernikahan yang dijodohkan.
Makan malam mereka berlanjut dengan percakapan yang lebih ringan. Mereka mulai berbicara tentang hal-hal yang lebih pribadi, tentang kehidupan mereka sebelum pernikahan ini, dan tentang mimpi-mimpi yang mereka miliki—meskipun hal itu terasa canggung.
Tidak ada jaminan bahwa semuanya akan berubah dalam semalam, tetapi malam ini, ada harapan baru yang lahir di antara mereka.
Setelah makan malam selesai, Raffael mengajak Alena berjalan-jalan di luar restoran. Mereka berjalan di sepanjang trotoar, menikmati suasana malam yang tenang.
Tidak ada kata-kata besar, tidak ada janji yang dibuat. Hanya dua orang yang berjalan berdampingan, berusaha memahami satu sama lain lebih baik.
"Satu langkah kecil," kata Raffael, seolah membaca pikiran Alena. "Kita akan melangkah perlahan. Tidak ada yang perlu terburu-buru."
Alena hanya mengangguk, merasakan sedikit kelegaan di hatinya. Mungkin, memang ada harapan untuk pernikahan ini. Mungkin, mereka bisa belajar bersama, satu langkah kecil pada satu waktu.
---