Malam itu, Raffael berdiri di balkon kamarnya, menatap langit gelap yang hanya diterangi cahaya bulan.
Suara desiran angin mengisi keheningan, sementara pikirannya terus berputar, mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang mulai meresahkan.
Perasaan yang ia pendam untuk Alena semakin kuat, dan itu membuatnya terjebak dalam dilema. Ia ingin melindungi Alena, tetapi ia tahu bahwa obsesinya bisa menjadi beban bagi gadis itu.
Sementara itu, Alena duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi pantulan dirinya di cermin.
Pikirannya penuh dengan pertanyaan tentang masa depannya bersama Raffael. Apakah hubungan ini akan terus terasa seperti penjara, atau ada peluang untuk menemukan kebahagiaan di tengah kekacauan? Ia tidak tahu kemana takdir akan membawanya.
Namun, yang ia sadari adalah bahwa dirinya mulai melihat sisi Raffael yang berbeda. Di balik sikap dingin dan posesifnya, ada seseorang yang sebenarnya penuh perhatian.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Alena. "Masuk," katanya pelan.
Pintu terbuka, dan Raffael masuk dengan langkah pelan. Ia terlihat lebih santai dari biasanya, tanpa setelan formal yang biasa ia kenakan.
Kemeja putihnya digulung hingga siku, dan rambutnya sedikit berantakan, tetapi itu justru membuatnya terlihat lebih manusiawi. Alena terpesona dengan pemandangan didepannya sehingga dia tidak sadar bahwa Rafael sudah berada di depannya.
"Kita perlu bicara," ucap Raffael, suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya.
Alena mengangguk, meskipun hatinya sedikit gugup. "Tentang apa?"
Raffael berjalan mendekat, lalu duduk di kursi di dekat tempat tidur. "Tentang kita. Tentang apa yang sebenarnya kau inginkan."
Alena menatapnya dengan kaget. Ia tidak menyangka Raffael akan memulai pembicaraan seperti ini. Biasanya, pria itu selalu mendominasi, mengambil keputusan tanpa bertanya pendapatnya.
"Aku tidak mengerti," jawab Alena akhirnya.
"Aku tahu kau merasa terjebak," kata Raffael, menatap mata Alena dengan serius.
"Aku bisa melihat itu. Dan aku tidak ingin menjadi alasan kau merasa seperti itu."
Alena terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Aku tahu aku bukan suami yang sempurna," lanjut Raffael, suaranya lebih pelan. "Aku terlalu posesif, terlalu keras. Tapi aku ingin kau tahu, semua itu karena aku peduli padamu, Alena. Karena aku tidak bisa membayangkan kehilanganmu.
Kata-kata itu membuat hati Alena bergetar. Ia tidak pernah mendengar Raffael berbicara sejujur ini sebelumnya.
"Aku hanya butuh waktu," kata Alena akhirnya. "Aku butuh waktu untuk memahami semua ini, untuk memahami perasaanmu dan perasaanku sendiri."
Raffael mengangguk. "Aku mengerti. Aku akan memberimu waktu sebanyak yang kau butuhkan. Tapi satu hal yang harus kau tahu, Alena: aku akan selalu ada di sini untukmu. Apa pun yang terjadi."
---
Keesokan harinya, suasana di rumah Santoro terasa lebih tenang. Namun, di balik ketenangan itu, ada ancaman yang mengintai.
Di ruang kerjanya, Raffael menerima laporan dari salah satu anak buahnya.
"Tuan, kami mendapat informasi bahwa keluarga Marconi mulai bergerak. Mereka mungkin merencanakan sesuatu."
Raffael mengerutkan kening. Keluarga Marconi adalah salah satu rival terbesar keluarga Santoro, dan mereka dikenal tidak pernah bermain bersih.
"Apa yang mereka rencanakan?" tanya Raffael, suaranya tegas.
"Kami belum tahu pasti. Tapi mereka terlihat melakukan pertemuan dengan beberapa pihak yang mencurigakan."
Raffael mengangguk pelan. "Tingkatkan pengawasan. Aku tidak mau ada kejutan, dan juga berikan pengawasan yang ketat terhadap Alena."
Anak buahnya mengangguk sebelum meninggalkan ruangan. Raffael bersandar di kursinya, mencoba mencerna informasi itu. Jika keluarga Marconi benar-benar merencanakan sesuatu, itu berarti Alena mungkin berada dalam bahaya. Dan itu adalah hal terakhir yang ingin ia terjadi.
---
Di tempat lain, Alena memutuskan untuk menghabiskan waktu di taman belakang. Udara segar dan suara burung membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
Namun, ketenangan itu terganggu oleh kedatangan seseorang yang tidak ia harapkan.
"Selamat pagi, Nona Alena," ucap seorang pria dengan senyuman yang terlihat tidak tulus.
Alena menoleh, dan ia langsung merasa waspada. Pria itu adalah salah satu rekan bisnis keluarga Santoro, tetapi tatapannya selalu membuat Alena merasa tidak nyaman.
"Pagi," jawab Alena singkat, mencoba menjaga jarak.
"Senang melihat Anda di sini," lanjut pria itu, mendekat. "Anda benar-benar membawa suasana baru di rumah ini."
Alena tidak menjawab. Ia hanya berharap pria itu segera pergi.
Namun, sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, suara berat yang sangat ia kenal memecah ketegangan.
"Alena," panggil Raffael, muncul dari balik pintu. Tatapannya tajam, penuh peringatan.
Pria itu langsung mundur beberapa langkah. "Tuan Raffael, saya hanya ingin menyapa istri Anda."
"Dan sekarang Anda sudah melakukannya. Pergilah," ucap Raffael dengan nada dingin.
Pria itu segera pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Alena menghela napas lega, tetapi ia tidak bisa mengabaikan rasa takut yang masih tersisa.
"Kau baik-baik saja?" tanya Raffael, mendekat.
Alena mengangguk. "Aku baik-baik saja. Tapi dia... dia membuatku merasa tidak nyaman."
Raffael menggenggam tangan Alena, sesuatu yang jarang ia lakukan. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu, Alena. Kau adalah milikku, dan aku akan melindungimu dengan segala cara."
Kata-kata itu terdengar seperti janji, tetapi juga seperti ancaman. Dan Alena tidak tahu bagaimana harus merasakannya.
---
Malam itu, suasana rumah terasa lebih tegang dari biasanya. Raffael memerintahkan penjagaan diperketat, sementara ia sendiri terus memantau situasi dari ruang kerjanya.
Namun, di tengah ketegangan itu, ada momen kecil yang membuat segalanya terasa lebih ringan. Alena datang ke ruang kerja Raffael dengan membawa secangkir kopi.
"Kau terlihat lelah," katanya, meletakkan cangkir itu di meja.
Raffael menatapnya dengan mata yang sedikit melunak.
"Aku hanya khawatir."
"Khawatir tentang apa?"
"Banyak hal. Tapi terutama tentangmu."
Alena tersenyum tipis. "Aku bisa menjaga diriku sendiri, Raffael. Kau tidak perlu khawatir."
Raffael menggeleng. "Aku tahu kau kuat, Alena. Tapi itu tidak menghentikanku untuk khawatir. Kau adalah segalanya bagiku dan aku tidak ingin terjadi sesuatu terhadap kau Alena,"
Kata-kata itu membuat hati Alena berdebar. Ia tidak tahu apakah itu cinta atau hanya obsesinya yang berbicara, tetapi ia tidak bisa menyangkal bahwa ia mulai merasakan sesuatu untuk pria itu.
"Terima kasih, Raffael," ucapnya pelan.
Raffael hanya tersenyum, senyuman kecil yang jarang sekali ia tunjukkan kepada siapapun,dan hanya Alena yang bisa membuat ya tersenyum."
Di luar, hujan mulai turun, membawa suasana yang lebih tenang. Namun, di dalam rumah Santoro, badai emosi terus berkecamuk, membawa mereka ke arah yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.
---
Malam semakin larut, dan hujan di luar semakin deras. Suara rintiknya terdengar jelas dari balik jendela ruang kerja Raffael. Alena masih berdiri di sana, menatap secangkir kopi yang kini telah mendingin di atas meja.
"Apa kau tidak tidur?" tanya Raffael, memecah keheningan.
Alena mengangkat bahunya. "Aku tidak bisa tidur. Terlalu banyak yang kupikirkan."
Raffael berdiri dari kursinya, lalu berjalan mendekati Alena. Ia meletakkan tangannya di bahu gadis itu, memberikan sentuhan yang penuh kehangatan. "Kau tidak perlu memikirkan apa pun. Aku di sini untuk menjagamu."
Alena menatapnya, mencoba membaca ekspresi di wajah Raffael. Untuk pertama kalinya, ia tidak melihat pria dingin yang biasa ia kenal. Yang ia lihat adalah seseorang yang benar-benar peduli padanya, meskipun caranya sering kali terasa terlalu intens.
"Raffael..." Alena berbisik, tetapi ia tidak tahu apa yang ingin ia katakan.
"Ya?" Raffael menjawab lembut, matanya menatap dalam ke arah Alena.
"Kenapa kau melakukan semua ini untukku? Kau bahkan hampir tidak mengenalku ketika kita dijodohkan," tanya Alena akhirnya.
Raffael terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Karena aku tahu, sejak pertama kali melihatmu, bahwa kau adalah milikku. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tetapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi."
Alena hanya bisa terdiam mendengar jawaban itu. Ia tidak tahu apakah harus merasa tersanjung atau justru semakin bingung dengan perasaan yang perlahan tumbuh dalam hatinya.
Di luar, hujan terus turun, seolah menjadi saksi bisu atas percakapan yang akan membawa mereka semakin jauh ke dalam hubungan yang rumit dan tak terduga.
---