Pagi itu, Jakarta diselimuti kabut tipis yang tak biasa. Di sebuah kantor kecil di sudut Jalan Surya, seorang detektif bernama Adrian Setiawan duduk di kursi berderitnya, menatap sebuah artikel koran lusuh. Kepala detektif itu penuh dengan pikiran yang berkecamuk. Kasus terakhirnya, pencurian di rumah pengusaha terkenal, sudah selesai seminggu lalu. Tapi sesuatu dari kasus itu terus mengusik pikirannya.
"Korban terakhir bukan korban biasa," gumam Adrian sambil memutar cangkir kopinya yang hampir dingin. Di seberang meja, asistennya, Lisa Pratama, seorang wanita cerdas dengan rambut pendek bergelombang, sedang membaca laporan terbaru yang baru saja diantarkan oleh kurir.
"Pak Adrian," panggil Lisa, tanpa mengangkat pandangannya dari laporan. "Kita punya kasus baru. Ini tampaknya menarik."
Adrian mengangkat alis. "Apa itu?"
"Seorang wanita bernama Nila Aditya ditemukan tewas di apartemennya tadi pagi. Polisi awalnya menduga bunuh diri, tapi keluarga yakin ada yang tidak beres," kata Lisa sambil meletakkan map di atas meja. "Yang menarik adalah—" Lisa berhenti sejenak, membiarkan rasa penasaran Adrian tumbuh, "—Nila meninggalkan pesan terakhir yang dikirim lewat email ke adiknya, hanya beberapa jam sebelum dia meninggal."
Adrian memutar kursinya, mengambil map dari meja, dan membuka halaman pertama. "Apa isi pesannya?"
"'Jika aku mati, itu bukan kecelakaan. Cari tahu kebenarannya. Dimulai dari angka tujuh.'"
Adrian mendongak, matanya menyipit. "Angka tujuh?"
Lisa mengangguk. "Sejauh ini, kita belum tahu apa maksudnya. Polisi belum bisa mengaitkan pesan ini dengan apa pun."
Adrian menyandarkan tubuhnya ke kursi, memandang langit-langit ruangan yang bercahaya suram. "Baiklah. Kita mulai dari tempat kejadian. Siapkan mobil."