Reyna dan Lian melangkah lebih dalam ke dalam hutan. Suara langkah mereka serasa tenggelam oleh keheningan yang menekan. Hutan ini, meskipun terlihat biasa dari luar, terasa seperti sebuah dunia terpisah—sebuah tempat yang penuh dengan kekuatan gaib yang tak terjelaskan. Angin berhembus pelan, membawa bisikan halus yang hanya bisa didengar oleh mereka yang benar-benar peka terhadap alam. Reyna mencoba untuk mendengarkan lebih seksama, namun semua yang ia bisa rasakan adalah detak jantungnya yang berdegup cepat, seakan-akan seluruh alam ini menyadari kehadirannya.
"Sebelum kita melangkah lebih jauh," Lian tiba-tiba berkata, suaranya serak, "Kau harus tahu satu hal. Naga yang kita cari bukanlah makhluk yang mudah ditemukan. Mereka... memilih siapa yang layak menemui mereka."
Reyna menoleh, menatap Lian dengan penuh tanya. "Apa maksudmu? Mereka memilih?"
Lian berhenti sejenak dan menatap ke dalam hutan yang gelap. "Naga sejuta cinta adalah makhluk yang luar biasa. Mereka tidak terikat pada waktu, dan tidak mudah terjangkau oleh mereka yang hanya datang karena nafsu atau keserakahan. Mereka akan menguji hati setiap orang yang datang mencari mereka. Tanpa ujian, tak ada pengetahuan yang bisa didapatkan."
Reyna terdiam. Cinta sejati. Kata-kata itu terngiang di telinganya. Sejauh ini, semua yang ia lakukan adalah untuk keluarganya, untuk ayahnya yang sakit parah. Tidak ada niat lain di hatinya selain menyelamatkan orang yang ia cintai. Namun, Lian berkata bahwa hanya mereka yang mengerti cinta sejati yang bisa menemukan naga itu. Bagaimana mungkin seorang gadis desa sepertinya bisa melewati ujian itu?
"Apa ujian itu?" tanya Reyna akhirnya, suaranya penuh keraguan.
Lian tidak langsung menjawab. Ia melangkah lebih jauh ke dalam hutan, memimpin mereka dengan langkah mantap. "Ujian cinta sejati datang dalam berbagai bentuk. Tak jarang, ujian itu adalah cermin dari kelemahan-kelemahan kita sendiri. Mereka akan memperlihatkan pada kita siapa diri kita sebenarnya. Yang lebih penting adalah bagaimana kita memilih untuk menghadapinya."
Lian berhenti lagi, kali ini menatap ke sebuah batu besar yang terletak di tengah jalan mereka. Batu itu tampak biasa saja, namun ada sesuatu yang mengundang perhatian Reyna. Seperti ada energi yang melingkupinya, memanggilnya untuk mendekat.
"Apakah ini bagian dari ujian?" Reyna bertanya, ragu-ragu.
Lian mengangguk. "Ini adalah bagian pertama. Batu ini adalah simbol dari pertarungan batin yang harus kita hadapi. Banyak yang datang dan mencoba memindahkannya, namun tak pernah ada yang berhasil. Itu karena mereka mencoba menggunakan kekuatan fisik. Naga tidak akan mengizinkan siapa pun untuk mengakses kekuatan sejuta cinta dengan cara itu."
Reyna melangkah maju, menatap batu itu dengan penuh perhatian. Ia merasakan getaran aneh di dalam dirinya, seakan batu itu berbicara kepadanya. Lalu, entah kenapa, tangannya bergerak secara otomatis. Tanpa berpikir, ia menaruh kedua tangan di atas batu tersebut. Sentuhan itu seketika membuatnya merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar.
"Apa yang kau rasakan?" tanya Lian, suaranya tiba-tiba serius.
Reyna menutup matanya sejenak, mencoba merasakan segala getaran yang ada di sekitarnya. "Ada... sesuatu," jawabnya, membuka mata dan melihat Lian dengan bingung. "Aku tidak tahu. Rasanya seperti ada suara yang datang dari dalam batu ini."
Lian mengamati dengan seksama, lalu berkata, "Itulah ujianmu. Naga akan berbicara denganmu melalui perasaan. Kau harus mendengarkan dengan hati, bukan hanya dengan telinga. Batu ini adalah ujian pertama dari apa yang akan kau hadapi. Jika kau bisa merasakan apa yang disampaikan oleh batu itu, maka kau telah melewati ujian ini."
Reyna menarik napas panjang dan mencoba fokus, merasakan aliran energi yang datang dari batu tersebut. Perlahan, suara lembut itu kembali terdengar di telinganya, bisikan yang penuh dengan kedalaman.
"Untuk menyelamatkan yang kau cintai," suara itu berkata, "kau harus siap untuk kehilangan. Cinta sejati bukanlah tentang memiliki, tetapi tentang memberi. Hanya dengan memberi, kau akan menerima lebih banyak."
Reyna terkejut. Kata-kata itu terasa seperti sebuah tamparan di wajahnya. Apa maksud dari "siap untuk kehilangan"? Bukankah cinta sejati berarti memiliki dan melindungi orang yang kita cintai?
Lian tersenyum tipis melihat ekspresi Reyna yang bingung. "Ingat, cinta sejati bukanlah tentang kepemilikan. Itu adalah tentang pengorbanan. Jika kau bisa memahami ini, maka kau akan lebih dekat untuk memahami apa yang kau cari."
Reyna merasa sedikit cemas, tetapi ia tahu bahwa ia harus terus melangkah. Hanya satu tujuan yang ada di benaknya: menyelamatkan ayahnya. Semua ini mungkin sulit untuk dimengerti sekarang, tetapi ia tidak bisa mundur.
"Terus berjalan," Lian berkata lagi, kali ini suaranya lebih lembut. "Ujian berikutnya akan lebih berat. Tapi ingat, kekuatan yang kau cari ada di dalam dirimu sendiri. Kau hanya perlu menemukannya."
Mereka melanjutkan perjalanan, melalui hutan yang semakin misterius dan penuh dengan keheningan yang aneh. Reyna bisa merasakan adanya perubahan dalam dirinya, seperti sesuatu yang tengah terbangun dalam hatinya. Bisikan-bisikan itu semakin sering terdengar, dan ia mulai mengerti bahwa ujian ini bukan hanya soal menyelamatkan ayahnya, tetapi tentang memahami dirinya sendiri.
Malam semakin gelap, dan kabut mulai turun di sekitar mereka, menyelimuti jalan di depan. Namun, meskipun ketakutan mulai merayapi dirinya, Reyna merasa ada sesuatu yang lebih kuat dari ketakutan itu. Sesuatu yang lebih besar daripada dirinya. Sebuah kekuatan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Mereka berhenti sejenak di sebuah clearing, di mana cahaya bulan menerangi tanah yang tertutup rumput lebat. Lian berdiri diam, menatap ke arah sesuatu yang tidak bisa Reyna lihat.
"Ada sesuatu di sini," Lian berkata, suaranya penuh kewaspadaan. "Kita akan segera menghadapi ujian berikutnya."
Reyna menatapnya dengan tegang, merasakan bahwa sesuatu akan segera terjadi. Entah itu akan menyakitkan atau memberi pencerahan, satu hal yang pasti: perjalanan mereka baru saja dimulai.
Malam semakin larut, namun kabut di hutan tidak menunjukkan tanda-tanda untuk menghilang. Pijakan langkah Reyna dan Lian kini terasa lebih berat, seolah setiap langkah mereka dituntun oleh kekuatan yang tak tampak. Keduanya berjalan dalam keheningan, hanya dipecah oleh suara langkah kaki dan sesekali hembusan angin yang menyapu dedaunan.
Meskipun Lian tampak tenang, Reyna bisa merasakan ketegangan yang menggelayuti pria itu. Ada sesuatu yang berbeda, ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Lian adalah seorang pemburu naga, tetapi di balik mata tajamnya yang selalu waspada, Reyna bisa melihat sebuah keraguan yang terselip di dalam dirinya.
"Ada yang kau sembunyikan dariku," Reyna akhirnya memecah keheningan, menatap Lian dengan tajam.
Lian berhenti dan menatapnya sejenak. Dalam keheningan malam itu, dia terlihat seperti sedang bergulat dengan pikirannya sendiri. "Ada banyak hal yang kau belum tahu, Reyna," jawabnya pelan. "Naga bukan hanya makhluk yang harus ditemukan. Mereka memiliki cara mereka sendiri untuk menguji siapa yang layak."
Reyna menundukkan kepala, mencoba untuk memahami apa yang dimaksud oleh Lian. Namun, pikirannya kembali mengarah pada kata-kata naga yang tadi berbisik melalui batu. Cinta sejati. Pengorbanan. Kata-kata itu berputar-putar di pikirannya, seolah ada jawaban yang tersembunyi di dalamnya.
"Kenapa kau bisa begitu yakin tentang mereka?" Reyna bertanya lebih lanjut, meskipun hatinya tahu bahwa Lian tidak akan memberikan jawabannya dengan mudah.
Lian menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya pada sebuah pohon besar yang tumbuh menjulang di sebelah mereka. "Karena aku telah melihatnya. Naga itu bukan hanya makhluk mitologis. Mereka adalah penjaga takdir, dan mereka hanya menunjukkan diri mereka kepada mereka yang siap."
"Apa yang terjadi pada mereka yang tidak siap?" tanya Reyna, matanya menyala penuh rasa ingin tahu.
Lian mengalihkan pandangannya, melihat jauh ke dalam hutan yang gelap. "Mereka tidak akan pernah mendapatkan kesempatan kedua."
Reyna merasakan bulu kuduknya meremang. Pertanyaan yang tak terjawab menggantung di udara, tapi ia memilih untuk menahannya, khawatir jika ia bertanya lebih jauh, jawaban yang diterima justru akan semakin menambah kebingungannya.
Mereka melanjutkan perjalanan, dan tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah lembah kecil yang terhampar luas di hadapan mereka. Di tengah lembah itu terdapat sebuah danau yang airnya terlihat bening seperti kaca, dikelilingi oleh pepohonan yang rindang. Namun, ada sesuatu yang aneh—keheningan di sekitar danau terasa begitu mencekam, tidak seperti alam pada umumnya.
"Ini adalah tempat pertama," kata Lian dengan suara yang lebih serius. "Kau harus menyentuh air danau ini, Reyna."
Reyna memandangnya dengan cemas. "Apa yang akan terjadi jika aku melakukannya?"
Lian tidak menjawab, melainkan menunjuk ke tengah danau, di mana ada batu besar yang muncul ke permukaan. Batu itu terlihat seperti sebuah altar yang tertutup lumut, namun di atasnya terdapat ukiran-ukiran kuno yang tidak Reyna pahami.
"Kau harus meletakkan tanganmu di atas batu itu. Hanya dengan begitu kau bisa melanjutkan perjalanan ini," Lian berkata.
Dengan hati-hati, Reyna melangkah menuju tepi danau. Kaki-kakinya terasa berat, tetapi ia tahu bahwa tidak ada jalan mundur. Ia sudah melangkah terlalu jauh, dan ini adalah ujian yang harus dijalani. Tangannya terulur ke arah batu itu, jari-jarinya menyentuh permukaan air yang dingin. Seperti yang dikatakan Lian, ia meletakkan tangan kanan di atas batu besar itu.
Seketika itu juga, sebuah kilatan cahaya menyilaukan menyelimuti danau, dan suara angin yang tajam berdesir melalui daun-daun. Reyna terkejut, tetapi ia tidak bisa menarik tangannya. Sebuah suara terdengar di telinganya, bisikan lembut namun penuh dengan kekuatan.
"Apa yang kau cari, Reyna?"
Suara itu membuat Reyna membeku. Ia tidak tahu dari mana suara itu datang, namun jelas bahwa suara itu berasal dari dalam dirinya. Ia merasakan getaran yang kuat di dalam tubuhnya, seakan-akan seluruh dirinya bergetar dengan energi yang tidak bisa ia pahami.
"Aku... Aku hanya ingin menyelamatkan ayahku," jawab Reyna, suaranya bergetar. Ia menundukkan kepala, merasa cemas dan bingung.
Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih mendalam, lebih menenangkan.
"Apa yang akan kau korbankan untuknya?"
Reyna terdiam. Pertanyaan itu seperti sebuah tamparan yang menyadarkannya. Cinta sejati. Pengorbanan. Semuanya berputar di pikirannya. Apa yang ia rela korbankan untuk ayahnya? Mungkinkah ia harus melepaskan sesuatu yang begitu berharga dalam hidupnya?
"Apa yang harus aku korbankan?" bisiknya, suara lembut namun penuh dengan keraguan.
Tiba-tiba, air di danau mulai bergelombang, dan sebuah bayangan muncul dari kedalaman. Sebuah siluet naga yang besar dan megah, dengan sayap yang terbentang lebar, perlahan muncul ke permukaan air. Mata naga itu bersinar dengan cahaya biru yang tajam, menatapnya dengan penuh kebijaksanaan.
Reyna terbelalak, terpesona sekaligus ketakutan. Naga itu tidak seperti yang ia bayangkan—bukan makhluk buas yang siap memangsa, melainkan makhluk yang penuh dengan kemegahan dan misteri. Wajahnya memancarkan kebijaksanaan yang tak terucapkan, seolah tahu segala sesuatu yang tersembunyi di dalam hati manusia.
Lian berdiri di belakangnya, memperhatikan dengan seksama. "Ini adalah ujian kedua. Naga itu akan menunjukkan padamu siapa dirimu sebenarnya, Reyna. Apa kau siap menghadapi dirimu sendiri?"
Reyna menatap naga itu, hatinya berdebar hebat. Ia tahu bahwa ia tidak hanya akan berhadapan dengan makhluk legendaris ini, tetapi juga dengan takdirnya sendiri—takdir yang akan menentukan apakah ia cukup kuat untuk menyelamatkan orang yang ia cintai, atau apakah ia harus mengorbankan lebih dari yang ia duga.