Cahaya bulan memantul di permukaan air danau, menerangi siluet naga yang megah di hadapan Reyna. Sorot mata biru naga itu seperti menembus ke dalam jiwanya, membangkitkan kenangan yang telah lama ia coba lupakan. Udara di sekitar terasa lebih dingin, namun tubuh Reyna justru dipenuhi oleh rasa hangat yang aneh—sebuah getaran yang datang dari hatinya sendiri.
"Reyna," suara naga itu kembali terdengar, lembut namun penuh kuasa. "Apa yang kau ingat dari cinta sejati?"
Reyna terdiam. Pertanyaan itu membuat pikirannya melayang ke masa lalu. Ke masa ketika hidupnya tidak dihantui oleh kehilangan, ketika keluarganya masih utuh, dan ia percaya bahwa dunia adalah tempat yang penuh keajaiban. Ingatan tentang ibunya, yang selalu membacakan cerita legenda sebelum tidur, kembali menghantui.
"Cinta sejati adalah kekuatan yang menghubungkan hati," suara ibunya bergema dalam ingatannya. "Bukan hanya untuk memberi, tetapi juga untuk menerima, bahkan saat yang kau terima adalah rasa sakit."
Reyna menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir kenangan itu. Namun naga di depannya seolah memahami setiap emosi yang bergemuruh dalam dirinya.
"Luka yang kau bawa itu, Reyna," suara naga itu menggetarkan udara, "akan menjadi beban jika tidak kau hadapi. Takdirmu tidak akan terungkap sampai kau berdamai dengan bayangan masa lalumu."
"Bagaimana aku bisa berdamai?" Reyna akhirnya bertanya, suaranya penuh dengan kegundahan. "Aku bahkan tidak tahu bagaimana menyembuhkan luka itu. Kehilangan ibuku, ayahku yang kini di ambang kehancuran... semua itu terlalu berat bagiku."
Mata naga itu menyipit, seolah sedang menimbang kata-kata berikutnya. "Jawabannya tidak akan kau temukan dalam kata-kata, tetapi dalam tindakan. Kau harus siap menerima kebenaran, meskipun itu berarti menghadapi sisi gelap dari dirimu sendiri."
Sebelum Reyna bisa menjawab, bayangan naga itu perlahan memudar, menyatu kembali dengan air danau yang tenang. Sebuah keheningan kembali menyelimuti mereka, meninggalkan Reyna dengan rasa bingung dan resah.
"Kau baik-baik saja?" suara Lian memecah keheningan. Reyna menoleh, menyadari bahwa ia telah berdiri membatu cukup lama.
"Aku tidak tahu," jawabnya jujur. "Semua ini terlalu banyak. Naga itu... dia berbicara tentang masa lalu dan luka yang harus kuhadapi. Tapi aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
Lian mendekat, matanya menunjukkan sorot yang lebih lembut dari biasanya. "Naga adalah makhluk bijaksana, tetapi mereka tidak akan memberikan jawaban dengan mudah. Mereka hanya akan menunjukkan jalan, dan sisanya adalah keputusanmu sendiri."
"Tapi bagaimana aku bisa tahu bahwa ini jalan yang benar?" Reyna bertanya, hampir memohon.
"Itu adalah inti dari ujian ini," jawab Lian. "Tidak ada kepastian dalam takdir, Reyna. Kau hanya perlu percaya pada apa yang kau yakini."
Reyna menghela napas panjang. Ia memandang ke arah danau yang kini kembali tenang, merasa lebih kecil dari sebelumnya. Tapi di tengah kebingungan itu, ada sesuatu yang mulai tumbuh dalam dirinya—sebuah keyakinan kecil, seperti nyala lilin di tengah kegelapan.
Lembah yang Menyimpan Rahasia
Mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, meninggalkan danau dan melangkah lebih jauh ke dalam lembah. Kabut yang menyelimuti hutan perlahan-lahan mulai menipis, memperlihatkan jalan setapak yang dihiasi oleh batu-batu berlumut. Pohon-pohon besar dengan cabang-cabang yang melengkung seperti tangan raksasa berdiri mengelilingi mereka, menciptakan suasana yang hampir magis.
"Ke mana kita akan pergi sekarang?" tanya Reyna, mencoba mengalihkan pikirannya dari pertemuan dengan naga tadi.
"Ke arah utara," jawab Lian singkat. "Ada sebuah kuil kuno di sana. Jika legenda itu benar, kita akan menemukan petunjuk berikutnya di tempat itu."
"Kuil?" Reyna mengernyit. "Kenapa aku merasa semakin jauh kita melangkah, semakin banyak misteri yang muncul?"
Lian tersenyum tipis. "Karena memang begitu adanya. Dunia ini penuh dengan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan, Reyna. Dan kau kini berada di tengah-tengahnya."
Perjalanan mereka menuju kuil membawa mereka melewati medan yang semakin sulit. Bukit-bukit terjal dan batu-batu licin menjadi tantangan yang menguras tenaga. Namun, di tengah-tengah perjalanan, Reyna merasa ada sesuatu yang mengawasi mereka. Sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan, seolah mata tak terlihat mengintai dari balik bayang-bayang.
"Lian," bisiknya, berhenti sejenak. "Kau merasakan sesuatu?"
Lian mengangguk, matanya menyapu sekeliling. "Kita tidak sendirian."
Reyna merasakan jantungnya berdegup kencang. Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari arah belakang mereka. Tidak lama kemudian, sebuah bayangan besar muncul dari balik pepohonan.
Reyna menahan napas. Itu bukan manusia, tetapi sosok besar dengan tubuh yang tertutup sisik hitam dan mata merah menyala. Makhluk itu mengeluarkan suara geraman rendah, seolah memperingatkan mereka untuk tidak melangkah lebih jauh.
"Lari!" seru Lian, menarik tangan Reyna dan berlari secepat mungkin.
Reyna mengikuti tanpa berpikir dua kali, meskipun rasa takut terus menguasai dirinya. Makhluk itu mengejar mereka, gerakannya yang cepat membuat tanah bergetar. Reyna bisa merasakan napas panasnya di belakang mereka, semakin dekat dengan setiap langkah.
Namun, di tengah pelarian itu, Reyna melihat sesuatu yang aneh. Makhluk itu tidak menyerang secara langsung, seolah-olah ia hanya ingin mengarahkan mereka ke suatu tempat.
"Lian! Apa kau merasa aneh? Makhluk itu seperti—" sebelum Reyna selesai berbicara, langkah mereka terhenti oleh sebuah tebing tinggi yang memotong jalan mereka.
Makhluk itu muncul dari balik pepohonan, matanya yang merah menatap mereka tanpa berkedip. Namun, alih-alih menyerang, makhluk itu berhenti di jarak tertentu. Ia mengeluarkan suara geraman rendah, lalu mengangkat kepalanya ke langit, seolah memberikan sinyal kepada sesuatu.
Langit di atas mereka tiba-tiba berubah, dipenuhi oleh awan gelap yang bergerak cepat. Reyna menatap ke atas, matanya melebar ketika melihat sebuah cahaya yang berputar di antara awan—sebuah simbol berbentuk lingkaran yang bersinar terang.
"Lian... apa itu?" bisik Reyna, suaranya hampir tenggelam dalam gemuruh yang datang dari langit.
Lian menatap simbol itu dengan ekspresi serius. "Itu adalah tanda. Kuil itu lebih dekat dari yang kita kira. Tapi kita harus menghadapi lebih dari sekadar makhluk ini untuk mencapainya."
Reyna menelan ludah, menyadari bahwa ini baru permulaan dari perjalanan yang penuh bahaya dan misteri. Namun, di balik ketakutannya, ada rasa penasaran yang tak terbendung. Apa sebenarnya yang menanti mereka di kuil itu? Dan apa hubungan semua ini dengan takdirnya?
Angin malam bertiup lembut, membawa aroma basah tanah dan dedaunan. Reyna duduk di tepi api unggun yang redup, pandangannya kosong memandang bara yang berkedip. Suara jangkrik di hutan menjadi latar belakang yang mengisi keheningan di antara mereka. Lian, seperti biasa, sedang membersihkan pedangnya. Gerakannya lambat namun penuh perhitungan, seperti seseorang yang telah terbiasa menghadapi bahaya.
Namun, ada sesuatu yang berbeda malam itu. Keheningan mereka bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga oleh perasaan berat yang melingkupi Reyna. Bayangan naga yang ia temui di danau masih jelas di pikirannya. Kata-kata naga itu, tentang menghadapi luka dan bayangan masa lalu, terus bergema di telinganya.
"Lian," Reyna akhirnya memecah keheningan. "Pernahkah kau merasa bahwa takdirmu terlalu berat untuk ditanggung?"
Lian mendongak, alisnya sedikit terangkat. Ia meletakkan pedangnya di sampingnya dan menatap Reyna dengan sorot mata yang sulit ditebak.
"Apa yang membuatmu berpikir begitu?" tanyanya.
Reyna menarik napas dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku... Aku merasa seperti dunia ini memaksaku untuk menjadi sesuatu yang bukan aku. Semua ini—naga, legenda, cinta sejati—terasa terlalu jauh dari kehidupanku yang sederhana. Aku hanya ingin keluargaku kembali. Itu saja."
Lian terdiam sejenak sebelum menjawab, "Semua orang memiliki masa lalu yang ingin mereka ubah, Reyna. Tapi melarikan diri darinya tidak akan membantumu. Kadang, menghadapi rasa sakit itu adalah satu-satunya cara untuk menemukan jawaban."
Kenangan yang Menghantui
Kata-kata Lian membangkitkan sesuatu di dalam diri Reyna. Ingatan yang telah lama terkubur mulai muncul kembali, seperti potongan teka-teki yang perlahan-lahan tersusun. Ia mengingat malam ketika ibunya meninggal.
Itu adalah malam yang gelap, tanpa bintang, dengan badai yang mengamuk di luar. Ibunya, seorang wanita yang selalu penuh senyum dan cinta, tiba-tiba jatuh sakit. Reyna yang masih kecil hanya bisa berdiri di sudut ruangan, memeluk boneka kesayangannya sambil melihat ayahnya mencoba segala cara untuk menyelamatkan istrinya. Namun, takdir berkata lain.
Sebelum menghembuskan napas terakhir, ibunya memegang tangan Reyna dan berkata, "Cinta, Reyna, adalah kekuatan terbesar di dunia ini. Jangan pernah meremehkannya, bahkan ketika dunia terasa gelap sekalipun."
Namun, sejak malam itu, dunia Reyna benar-benar berubah menjadi gelap. Ayahnya tenggelam dalam kesedihan, dan Reyna kehilangan pegangan hidupnya. Sejak saat itu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak terlalu berharap pada cinta atau takdir.
Pesan dari Masa Lalu
Reyna mengusap wajahnya, menyadari bahwa air mata telah mengalir di pipinya. Ia menoleh ke arah Lian yang kini duduk lebih dekat, matanya penuh perhatian.
"Apakah kau pernah kehilangan seseorang yang kau cintai?" Reyna bertanya dengan suara serak.
Lian menghela napas panjang. Wajahnya yang keras tiba-tiba menunjukkan bekas luka yang lebih dalam, bukan dari pertempuran, tetapi dari rasa sakit yang tak terlihat.
"Ada," jawabnya singkat. "Seseorang yang tidak bisa kuselamatkan, meskipun aku berusaha sekuat tenaga."
"Siapa?" Reyna bertanya pelan.
Lian menatap api unggun dengan tatapan kosong. "Adikku. Dia adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa. Kami hidup di dunia yang keras, Reyna. Dan di dunia seperti ini, cinta sering kali menjadi kelemahan. Aku berusaha melindunginya, tetapi pada akhirnya, aku gagal."
Reyna merasakan empati yang mendalam terhadap Lian. Ia tidak pernah melihat sisi ini darinya sebelumnya. "Aku rasa itulah yang dimaksud naga itu," gumam Reyna.
"Apa maksudmu?" tanya Lian.
"Naga itu berbicara tentang luka yang harus kuhadapi. Mungkin, kita berdua memiliki luka yang sama—kehilangan. Dan mungkin, itu sebabnya kita ada di sini, untuk menemukan cara menyembuhkan luka itu."
Langkah Menuju Masa Depan
Percakapan itu membawa keheningan baru, tetapi kali ini bukan keheningan yang tidak nyaman. Reyna merasa bahwa ia mulai memahami sedikit lebih banyak tentang dirinya sendiri, dan tentang Lian.
Namun, malam itu belum berakhir. Dari balik bayang-bayang pepohonan, suara langkah-langkah berat terdengar mendekat. Lian langsung meraih pedangnya, berdiri dengan sigap. Reyna ikut bangkit, tubuhnya tegang.
"Siapa di sana?" Lian berseru.
Tidak ada jawaban, hanya suara langkah yang semakin dekat. Reyna merasakan getaran di tanah, tanda bahwa makhluk yang mendekat bukanlah manusia biasa.
Dan kemudian, dari balik kegelapan, muncul sesosok makhluk yang tidak pernah mereka duga.