Hujan rintik-rintik membasahi kota Amsterdam malam itu. Langit gelap tanpa bintang, hanya diterangi sesekali oleh kilatan petir yang menghiasi cakrawala. Sebuah sedan hitam melaju perlahan melewati jalan-jalan sempit di distrik tua kota itu. Di dalamnya, seorang pria berusia 40-an, berkaca mata gelap, duduk dengan tenang. Namanya adalah Ethan Voss, mantan agen intelijen yang kini bekerja sebagai konsultan keamanan untuk berbagai organisasi internasional. Malam ini, ia bukan sekadar konsultan. Ia berada dalam misi rahasia yang akan menentukan nasib ribuan orang.
Di kursi belakang, seorang wanita muda duduk sambil menatap keluar jendela. Rambut hitam panjangnya jatuh lemas, menutupi sebagian wajahnya yang cantik tapi penuh kecemasan. Wanita itu adalah Aisha Kazmi, seorang jurnalis investigasi dari Turki yang selama beberapa bulan terakhir mengungkap jaringan perdagangan senjata ilegal di Eropa. Kini, hidupnya dalam bahaya. Bersama Ethan, ia berusaha melarikan diri dari orang-orang yang ingin membungkamnya.
"Berapa lama lagi kita sampai ke titik pertemuan?" tanya Aisha dengan suara rendah.
Ethan melirik ke jam tangannya. "Lima belas menit lagi. Tenang saja, semuanya sudah diatur."
Namun, di balik ketenangannya, Ethan tahu misi ini jauh lebih rumit dari yang terlihat. Ia tidak hanya harus melindungi Aisha, tetapi juga memastikan bahwa dokumen-dokumen penting yang dibawanya tidak jatuh ke tangan yang salah. Dokumen itu mengungkap identitas beberapa pejabat tinggi yang terlibat dalam jaringan tersebut, termasuk seorang tokoh kunci yang selama ini bersembunyi di balik kedok diplomatik.
Sementara itu, di sisi lain kota, sebuah tim elit bersenjata lengkap bersiap di dalam sebuah gudang kosong. Mereka adalah "Sektor Hitam," kelompok paramiliter bayaran yang dikenal tanpa ampun. Pemimpin mereka, seorang pria berwajah dingin bernama Marcus Gray, memeriksa peta elektronik yang menampilkan rute kendaraan Ethan.
"Mereka menuju dermaga," kata Marcus dengan nada datar. "Tim Alpha, ambil posisi di depan mereka. Tim Bravo, pastikan tidak ada jalan keluar."
Timnya bergerak cepat, mempersiapkan penyergapan. Tidak ada celah untuk kesalahan; target harus ditangkap hidup-hidup. Marcus tahu, ini bukan sekadar soal uang. Ada reputasi yang harus dipertaruhkan, dan kliennya – seorang pengusaha kaya raya – menginginkan Aisha Kazmi dihentikan sebelum informasi yang dimilikinya menjadi berita besar.
Sedan Ethan berhenti di dermaga yang gelap dan sepi. Di kejauhan, suara air bergelombang memecah keheningan malam. Ethan keluar dari mobil, mengamati sekitar dengan cermat. Aisha mengikutinya, membawa tas kecil berisi dokumen dan perangkat keras.
"Di mana orangnya?" tanya Aisha, mulai gelisah.
"Eksfiltrasi seperti ini selalu menuntut kesabaran," jawab Ethan sambil memegang radio di tangannya. "Mereka akan datang."
Namun, saat Ethan memindai area dengan teropong malam, ia melihat sesuatu yang mencurigakan. Cahaya kecil berkedip dari salah satu kontainer di dekatnya – sinyal inframerah dari laras senjata.
"Masuk ke mobil! Cepat!" serunya.
Terlambat. Tembakan pertama meledak, menghantam pintu mobil. Ethan dan Aisha segera berlindung di balik kendaraan. Dentingan peluru beradu dengan logam, sementara teriakan komando terdengar dari kejauhan.
"Sial! Mereka sudah tahu kita di sini," gumam Ethan. Ia menarik pistol dari sarungnya dan melemparkan senjata kecil ke arah Aisha. "Kamu tahu cara pakai ini?"
Aisha mengangguk, meskipun tangannya gemetar. Ia pernah menerima pelatihan dasar sebagai wartawan yang sering masuk ke zona konflik, tapi ini adalah pertama kalinya ia menghadapi serangan langsung.
Ethan melawan balik, menembakkan beberapa peluru ke arah bayangan yang bergerak di antara kontainer. Tapi ia tahu situasinya buruk. Jumlah mereka kalah banyak, dan peluru mereka terbatas.
"Ada rencana cadangan?" tanya Aisha sambil mencoba tetap tiarap.
Ethan mengangguk pelan. "Tapi kita harus keluar dari sini dulu."
Malam itu berubah menjadi permainan kucing dan tikus yang mematikan. Ethan dan Aisha berlari di antara kontainer, menghindari peluru dan ledakan granat yang dilempar oleh tim Sektor Hitam. Dalam kekacauan itu, Ethan menggunakan pengetahuan lapangannya untuk memanfaatkan setiap sudut dan bayangan sebagai perlindungan.
Di sisi lain, Marcus tidak puas dengan hasil operasinya sejauh ini. "Mereka terlalu cepat," gumamnya sambil mengamati dari monitor drone yang terbang di atas lokasi. "Tim Bravo, potong jalan mereka. Jangan biarkan mereka sampai ke perahu."
Ethan menyadari bahwa mereka sedang dijepit. "Kita harus berpikir cepat," katanya sambil mengintip dari balik kontainer. Ia melihat sebuah truk kargo tua yang terparkir tak jauh dari sana.
"Ikuti aku," perintahnya.
Mereka berlari ke arah truk tersebut, dan Ethan segera memeriksa apakah mesinnya masih bisa dinyalakan. Beruntung, kuncinya masih tergantung. "Masuk!" katanya sambil menyalakan mesin.
Truk itu melaju dengan kecepatan tinggi, menabrak beberapa kontainer di jalannya. Para pengejar mereka tidak tinggal diam, menembaki ban dan mesin truk. Tapi Ethan adalah pengemudi yang handal, menggunakan setiap kesempatan untuk menggoyahkan musuh.
Namun, saat mereka mendekati pintu keluar dermaga, sebuah ledakan besar menghentikan laju mereka. Tim Bravo telah meledakkan jalan keluar, memaksa Ethan dan Aisha mencari rute lain.
Dalam keadaan terjepit, suara helikopter tiba-tiba terdengar di udara. Ethan segera mengenali lambang di sisi helikopter itu – sebuah organisasi intelijen internasional yang dikenal sebagai Eclipse. Meski sudah lama meninggalkan organisasi itu, Ethan tahu mereka adalah satu-satunya harapan mereka saat ini.
Dari helikopter, sebuah tim penyelamat turun dengan tali. Mereka langsung memberikan perlindungan kepada Ethan dan Aisha, menembak balik ke arah Sektor Hitam. Pertempuran sengit pun terjadi, dengan suara tembakan dan ledakan yang menggema di seluruh dermaga.
Salah satu anggota tim Eclipse, seorang wanita berambut pendek bernama Lara Connors, menghampiri Ethan. "Kamu benar-benar tahu cara membuat kekacauan, ya," katanya dengan nada setengah bercanda.
"Senang melihatmu juga, Lara," jawab Ethan sambil membantu Aisha naik ke helikopter.
Setelah semua orang masuk, helikopter segera lepas landas, meninggalkan dermaga yang kini menjadi lautan api. Dari udara, Ethan melihat Marcus dan timnya berdiri di tengah kekacauan, wajahnya penuh amarah.
Di dalam helikopter, Ethan mencoba bernapas lega, meskipun ia tahu ini baru permulaan. Aisha memeluk tasnya erat-erat, menyadari bahwa dokumen di tangannya adalah kunci untuk menghancurkan jaringan kriminal yang telah merenggut banyak nyawa.
"Ke mana kita sekarang?" tanya Aisha.
"Ke tempat yang aman," jawab Ethan. "Tapi setelah itu, kita harus mulai menyerang balik. Mereka tidak akan berhenti sampai kita membuat mereka hancur."
Lara, yang duduk di dekat mereka, menyela. "Dan sepertinya, kita punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan."
Ethan mengangguk, matanya penuh tekad. Misi ini tidak hanya tentang melindungi Aisha atau dokumennya. Ini adalah pertempuran untuk kebenaran, dan ia tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan.
Malam itu, di tengah kegelapan yang membentang luas, mereka terbang menuju cakrawala. Namun, di balik ketenangan langit malam, bayangan ancaman baru sudah mulai mengintai. Ini bukan akhir, melainkan awal dari konflik yang jauh lebih besar.