Suasana dalam markas Eclipse kini terasa seperti medan perang kecil yang penuh ketegangan. Suara tembakan terus bergema dari luar, semakin mendekat, sementara di dalam, setiap langkah dipenuhi kewaspadaan. Ethan, berdiri dengan punggung bersandar pada dinding beton dingin, memutar otaknya mencari celah untuk menyelamatkan Aisha dan dokumen penting itu. Meski ia sudah terbiasa dengan tekanan semacam ini, malam itu terasa berbeda. Bahaya datang dari segala arah, dan waktu semakin sempit.
Aisha, yang kini duduk di sudut ruangan kontrol, memeluk erat tasnya seolah itu adalah tameng terakhirnya. Wajahnya pucat, dan matanya memandang kosong ke arah dinding. Ia berusaha tetap tenang, tetapi suara ledakan di kejauhan membuat pikirannya terus berputar. Ia membayangkan bagaimana jika mereka gagal—jika dokumen itu jatuh ke tangan Marcus Gray, atau lebih buruk lagi, jika ia tidak keluar dari tempat ini hidup-hidup.
Di dekatnya, Victor Kane berdiri tegak sambil berbicara dengan Lara dan David. Peta digital di depannya menunjukkan posisi musuh yang kini sudah mengepung seluruh perimeter bangunan. Kendaraan lapis baja Marcus terlihat seperti monster yang tak terhentikan, sementara timnya yang terlatih bergerak dengan presisi militer. Victor menyadari mereka menghadapi musuh yang jauh lebih besar dan lebih kuat.
"Kita tidak bisa bertahan di sini lebih dari sepuluh menit," kata Lara sambil menunjuk titik merah di peta. "Mereka sudah menembus barikade pertama. Jika kita tetap di sini, kita habis."
Victor mengangguk perlahan, lalu menatap Ethan. "Kamu punya saran? Kita sedang melawan waktu."
Ethan menghela napas panjang, mencoba memikirkan rencana yang tidak hanya realistis, tetapi juga bisa menyelamatkan semua orang yang masih hidup. "Jika kita tidak bisa melawan mereka, kita harus melarikan diri. Tapi dokumen ini terlalu penting. Mereka pasti akan mengejar kita sampai ke ujung dunia."
"Jadi apa rencanamu?" tanya Victor, matanya penuh harapan sekaligus tekanan.
"Kita pecah tim," kata Ethan akhirnya. "Dokumen ini harus diamankan di tempat lain. Satu tim membawa Aisha keluar dari sini, sementara tim lain memancing perhatian Marcus dan pasukannya ke arah lain."
Victor memandang Ethan dengan tajam. "Kamu sadar, tim yang memancing perhatian mereka kemungkinan besar tidak akan selamat."
Ethan menatap Victor tanpa ragu. "Aku tahu. Dan aku akan memimpin tim itu."
Keputusan Ethan menciptakan suasana hening di ruangan. Semua orang menyadari bahwa ini adalah misi bunuh diri, tapi tidak ada yang membantah. Mereka tahu bahwa tanpa pengorbanan, peluang mereka selamat sangat kecil.
Lara mengambil alih untuk merencanakan logistik pelarian. "David dan aku akan memimpin tim eskalasi. Kami akan membawa Aisha melalui jalur bawah tanah menuju kendaraan cadangan. Sementara itu, Ethan dan tim distraksi akan tetap di sini dan memastikan Marcus terpancing."
Aisha yang sedari tadi diam tiba-tiba berdiri. "Tunggu! Aku tidak bisa membiarkan kalian mengambil risiko sebesar itu demi aku. Ini terlalu gila!"
Ethan menoleh ke arahnya, nada suaranya tetap tenang tetapi tegas. "Aisha, ini bukan soal kamu. Ini soal apa yang kamu bawa. Dokumen itu adalah senjata terbesar kita melawan mereka. Kamu tidak punya pilihan selain melanjutkan ini. Percayalah pada kami untuk melakukan bagian kami."
Aisha ingin melawan, tetapi melihat ketegasan di mata Ethan membuatnya tidak mampu berkata-kata lagi. Ia hanya bisa mengangguk perlahan, meskipun hatinya dipenuhi rasa bersalah.
Sementara itu, Victor menginstruksikan seluruh anggota Eclipse yang tersisa untuk mempersiapkan diri. Granat asap, bahan peledak, dan senjata tambahan mulai didistribusikan. Mereka semua tahu bahwa mereka bertarung bukan untuk menang, tetapi untuk memberikan cukup waktu bagi tim pelarian.
Saat semua orang sibuk mempersiapkan diri, Ethan memperhatikan sesuatu yang janggal. Ia menyadari bahwa pria yang mereka tangkap sebelumnya—anggota Eclipse yang menjadi pengkhianat—terlihat terlalu tenang. Pria itu, yang kini duduk terikat di salah satu kursi, terus mengawasi mereka dengan senyuman kecil yang mengganggu.
"Dia tahu sesuatu," gumam Ethan sambil mendekatinya.
Ethan menarik kursi di depan pengkhianat itu, menatapnya dengan pandangan yang tajam. "Apa yang kamu sembunyikan?"
Pria itu tertawa kecil. "Kamu pikir rencana pelarianmu akan berhasil? Marcus tahu setiap langkah kalian. Bahkan sekarang, dia sudah bersiap untuk menyergap jalan keluar kalian. Tidak ada tempat untuk lari."
Ethan mengepalkan tangannya, tetapi ia tahu pria itu mungkin mengatakan yang sebenarnya. "Bagaimana dia tahu?"
"Jaringan kami lebih besar dari yang kamu kira," jawab pria itu dengan nada mengejek. "Kalian hanyalah catur kecil dalam permainan besar ini."
Sebelum Ethan sempat bereaksi, Lara mendekat sambil membawa sebuah perangkat kecil. "Ethan, aku menemukan ini di salah satu tas anggota kita. Ini alat pelacak."
"Berapa lama alat itu ada di sana?" tanya Ethan dengan nada mendesak.
"Cukup lama untuk membuat kita dalam masalah besar," jawab Lara.
Waktu untuk ragu telah habis. Victor memberi perintah terakhir, dan tim terbagi menjadi dua. Lara, David, dan Aisha bergerak melalui lorong bawah tanah yang gelap dan sempit, sementara Ethan, Victor, dan beberapa anggota lainnya tetap di markas untuk mempertahankan posisi.
Di bawah tanah, Aisha merasa jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia yakin semua orang bisa mendengarnya. Setiap langkah terasa berat, dan suasana mencekam. David berjalan di depan mereka dengan senjata terangkat, memastikan tidak ada jebakan.
"Apakah kita akan sampai di sana?" tanya Aisha dengan suara bergetar.
"Kita harus," jawab Lara singkat, meskipun dalam hatinya ia tahu situasinya jauh dari aman.
Sementara itu, di atas, Ethan dan Victor sudah mulai menghadapi serangan besar dari pasukan Marcus. Suara tembakan dan ledakan menghancurkan keheningan malam, menggetarkan bangunan tua itu. Ethan memimpin serangan balik dengan kecerdikan, menggunakan granat asap untuk mengacaukan musuh. Namun, mereka tahu bahwa jumlah musuh jauh lebih besar.
Victor, yang kini berdarah karena terkena peluru, menoleh ke Ethan. "Berapa lama kita harus bertahan?"
"Cukup lama sampai mereka keluar dari sini," jawab Ethan sambil menembak dengan presisi.
Di lorong bawah tanah, tim pelarian akhirnya mencapai pintu keluar yang mengarah ke sebuah kendaraan 4x4 yang tersembunyi di balik semak-semak. Lara membuka pintu dan memeriksa keadaan sekitar. "Aman. Cepat masuk!"
Aisha dan David segera masuk ke dalam kendaraan, tetapi sebelum Lara bisa mengikuti, sebuah tembakan keras terdengar. Peluru menghantam bahunya, membuatnya jatuh ke tanah.
"Lara!" teriak Aisha.
David segera keluar untuk membantu, tetapi Lara mengangkat tangannya, menghentikannya. "Tidak! Bawa dia pergi! Itu perintah."
Aisha menolak meninggalkan Lara, tetapi David menariknya dengan paksa. "Kita harus pergi sekarang!"
Dengan air mata berlinang, Aisha akhirnya masuk kembali ke kendaraan, dan mereka melaju pergi meninggalkan Lara, yang kini tertinggal untuk menghadapi musuh sendirian.
Di markas, Ethan dan Victor terus bertarung mati-matian. Satu per satu anggota tim mereka gugur, tetapi mereka tetap bertahan, memanfaatkan setiap detik untuk memberikan waktu bagi tim pelarian.
Ketika pasukan Marcus akhirnya berhasil masuk ke markas, Ethan menekan tombol detonator. Ledakan besar menghancurkan bangunan itu, mengubur segala isinya, termasuk para penyerang.
Namun, saat asap mulai mereda, Marcus Gray berdiri di luar perimeter dengan wajah penuh amarah. Ia tahu ini belum berakhir. Dokumen itu masih ada, dan ia tidak akan berhenti sampai ia mendapatkannya.
Di tempat lain, Aisha menatap ke kejauhan dari kendaraan yang melaju cepat, dengan hati yang penuh rasa kehilangan. Misi mereka mungkin masih hidup, tetapi banyak nyawa telah dikorbankan malam itu. Dan ia tahu, ini hanyalah awal dari pertempuran panjang yang belum selesai.