Lorong itu mendadak senyap ketika Ethan muncul dari bayangan. Napasnya berat, bekas luka di bahunya terlihat jelas, dengan darah yang telah mengering di sekitar robekannya. Di tangannya, sebuah senapan serbu M4 terlihat kokoh, siap ditembakkan. Matanya terpaku pada Marcus, tanpa sedikit pun keraguan.
Marcus Gray, yang terkenal dengan ketenangannya, terlihat sedikit terguncang. Kemunculan Ethan di tengah pengepungan ini adalah hal terakhir yang ia duga. Dengan cepat, ia menyembunyikan keterkejutannya, mengganti ekspresi wajahnya dengan senyum sinis yang selalu menjadi ciri khasnya.
"Ethan Voss," katanya dengan nada santai, meskipun suaranya mengandung ancaman. "Aku kira kau sudah menyerah untuk permainan ini. Tapi sepertinya kau selalu muncul di saat yang tidak tepat."
Ethan tidak menjawab. Ia hanya melangkah maju dengan hati-hati, senapannya masih terarah pada Marcus. Aisha, yang berdiri kaku di depan pintu, melihat Ethan seperti melihat harapan terakhirnya.
"Lepaskan dia, Marcus," kata Ethan akhirnya. Suaranya tegas, setiap kata diucapkan dengan berat. "Dokumen itu tidak akan membantumu. Permainanmu sudah selesai."
Marcus tertawa kecil, mengangkat tangannya seolah tidak peduli. "Kau pikir aku akan menyerah begitu saja? Kami memiliki sumber daya tak terbatas, Ethan. Kau tahu itu. Membawa dokumen ini keluar tidak akan menghentikan kami. Kau hanya memperpanjang penderitaan Aisha—dan penderitaanmu sendiri."
Marcus melangkah perlahan ke arah Ethan, gerakannya sangat terukur. Dua anak buahnya tetap diam, senjata mereka terangkat, siap menembak kapan saja. Aisha merasakan tubuhnya semakin tegang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi instingnya mengatakan sesuatu yang buruk sudah dekat.
"Ethan, jangan dengarkan dia," kata Aisha tiba-tiba, suaranya gemetar tetapi tegas. "Dia hanya mencoba membuatmu ragu. Dokumen ini adalah kunci untuk menghancurkan mereka."
Marcus menoleh ke arahnya, tatapannya dingin. "Aisha, aku tidak akan melukai kalian jika kau menyerahkan dokumen itu. Kau masih bisa hidup, kau tahu. Itu tawaran yang lebih baik daripada apa yang Ethan bisa berikan."
Ethan menyeringai kecil. "Aku tidak pernah tahu kau sebaik ini, Marcus. Biasanya kau langsung membunuh siapa pun yang tidak berguna bagimu."
Marcus mengangkat bahu. "Terkadang, tawaran damai lebih efektif."
Tapi Ethan tahu itu bohong. Marcus Gray tidak pernah menyelamatkan siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Ethan menyadari bahwa waktu adalah musuh terbesar mereka saat ini. Marcus memiliki keunggulan jumlah dan posisi strategis. Jika ia ingin membawa Aisha keluar hidup-hidup, ia harus bertindak cepat.
Sambil tetap menjaga senapan terarah pada Marcus, Ethan mulai berbicara dengan nada rendah dan pelan. "Aisha, dengarkan aku baik-baik. Ketika aku memberi tanda, kau harus lari ke kanan. Jangan berhenti sampai kau menemukan pintu lain. Jangan pedulikan apa pun."
Aisha menatap Ethan dengan bingung. "Tapi—"
"Tidak ada tapi," potong Ethan tegas. "Percayalah padaku. Aku akan mengurus Marcus."
Marcus tertawa kecil, mendengar percakapan itu. "Kau pikir ini rencana besar, Ethan? Dua lawan tiga, di tempat sempit seperti ini? Kau bukan pahlawan, kau hanya pria tua yang kehilangan relevansi."
Ethan tidak terprovokasi. Sebaliknya, ia tetap diam, otaknya bekerja dengan cepat untuk menyusun langkah berikutnya.
Tanpa peringatan, Ethan menarik pelatuk senapannya, melepaskan tembakan cepat ke arah salah satu anak buah Marcus. Peluru-peluru itu menghantam dinding beton, memantulkan suara keras yang menggema di sepanjang lorong. Anak buah Marcus bereaksi, menembak balik dengan liar, tetapi Ethan sudah berlindung di balik tumpukan pipa tua di sisi lorong.
"Aisha! Sekarang!" teriak Ethan.
Aisha berlari secepat mungkin ke arah kanan, seperti yang diperintahkan. Jantungnya berdegup kencang, hampir melompat dari dadanya. Ia mendengar suara tembakan di belakangnya, tetapi ia tidak menoleh. Suara langkah kakinya bergema di lorong, bersaing dengan suara tembakan yang semakin intens.
Marcus menyumpah pelan, menyadari bahwa situasi mulai tidak terkendali. Ia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengejar Aisha, tetapi Ethan keluar dari persembunyiannya, kembali menembak untuk mengalihkan perhatian mereka.
"Jangan sentuh dia, Marcus!" teriak Ethan, suaranya penuh kemarahan.
Marcus membalas dengan senyuman dingin, lalu melepaskan tembakan dari pistolnya. Peluru-peluru itu hampir mengenai Ethan, tetapi pria itu bergerak terlalu cepat, berlindung lagi di balik pipa.
Di sisi lain lorong, Aisha menemukan sebuah pintu lain. Kali ini pintu itu lebih kecil, dengan pegangan biasa tanpa panel digital. Ia mendorongnya dengan keras, dan pintu itu terbuka ke sebuah ruangan yang gelap.
Ruangan itu tampak seperti ruang pemeliharaan lama, penuh dengan kabel-kabel tergantung dan generator tua yang berdebu. Bau minyak mesin memenuhi udara. Ia tahu tempat ini bukanlah tujuan akhir, tetapi setidaknya untuk sementara, ia bisa bersembunyi.
Ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan tidak ada suara yang menarik perhatian. Jantungnya masih berdegup kencang, tetapi ia mencoba mengatur napas. Tangannya gemetar saat ia memeriksa tas kulit di pangkuannya, memastikan dokumen itu masih utuh.
"Semuanya masih di sini," katanya pelan pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan diri.
Namun, pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan Ethan. Apakah ia masih bertarung? Apakah ia terluka?
Kembali di lorong, Ethan mulai merasakan kelelahan. Ia berhasil melumpuhkan salah satu anak buah Marcus, tetapi peluru di magazinnya mulai menipis. Marcus, di sisi lain, masih tampak tenang, seperti predator yang sabar menunggu mangsanya kehabisan energi.
"Kau tahu ini sia-sia, Ethan," kata Marcus sambil mengamati dari balik dinding. "Hanya soal waktu sebelum aku menang. Kenapa tidak menyerah saja? Kau bahkan tidak bekerja untuk Eclipse lagi."
Ethan mengabaikan kata-kata itu. Ia tahu Marcus hanya mencoba melemahkan mentalnya. Tetapi di balik sikap dinginnya, Ethan sadar bahwa situasinya memang tidak menguntungkan.
Ia melihat ke sekeliling, mencari apa pun yang bisa digunakan sebagai senjata tambahan. Pandangannya tertuju pada pipa besi yang tergeletak di lantai. Sebuah ide mulai terbentuk di kepalanya.
Dengan hati-hati, Ethan meraih pipa itu, lalu memukul salah satu pipa gas di dinding. Suara mendesis keras memenuhi udara, diikuti oleh bau gas yang menyengat.
Marcus menyadari apa yang sedang terjadi. "Kau gila, Ethan! Kau bisa meledakkan tempat ini!"
Ethan tersenyum dingin. "Itu rencananya."
Ethan melepaskan tembakan terakhirnya ke arah pipa gas. Ledakan besar mengguncang lorong, menghancurkan sebagian dinding dan menciptakan kekacauan total. Api menyala, menghalangi jalan Marcus dan anak buahnya.
Ethan, meskipun terlempar oleh ledakan, berhasil merangkak ke sisi lain lorong yang masih aman. Ia berdiri dengan susah payah, tubuhnya penuh luka, tetapi tekadnya tetap kuat.
Marcus, yang kini terjebak di sisi lain, hanya bisa menyaksikan dengan marah ketika Ethan melarikan diri. "Ini belum selesai, Voss!" teriaknya, suaranya penuh kebencian.
Ethan akhirnya menemukan pintu yang mengarah ke ruang pemeliharaan tempat Aisha bersembunyi. Ia mendorong pintu itu terbuka, dan Aisha segera berlari ke arahnya, matanya basah oleh air mata.
"Kau selamat," katanya, suaranya penuh kelegaan.
Ethan tersenyum tipis, meskipun wajahnya penuh luka dan tubuhnya nyaris ambruk. "Aku bilang aku akan mengurus Marcus, bukan?"
Namun, ia tahu ini hanya jeda sementara. Mereka mungkin telah lolos dari Marcus untuk saat ini, tetapi pertempuran mereka masih jauh dari selesai.