Chereads / Eclipse : Misi Rahasia / Chapter 5 - Bab 5

Chapter 5 - Bab 5

Aisha terus melangkah menuju pintu besi di ujung terowongan. Cahaya kecil dari lampu yang berkedip-kedip di atasnya seolah menjadi satu-satunya pengharapan dalam kegelapan yang membungkusnya. Napasnya terengah-engah, tubuhnya lelah setelah berlari tanpa henti. Suara tembakan dari arah belakang telah berhenti, tetapi itu bukan pertanda baik.

Ia tahu David kemungkinan besar telah tumbang, memberi waktu agar dirinya bisa melarikan diri. Sebuah pengorbanan yang ia tahu tidak boleh sia-sia. Namun, kesunyian yang menyusul setelahnya justru membuat hatinya lebih berat.

Tiba di depan pintu, Aisha meraba-raba permukaan logam yang dingin, mencari cara untuk membukanya. Ia melihat sebuah roda pengunci besar di tengah pintu, tampak sudah berkarat.

"Ya Tuhan, tolong bantu aku," gumamnya sambil mulai memutar roda itu. Logamnya keras, dan karat yang menempel membuatnya semakin sulit bergerak. Setiap kali ia mencoba memutar, roda itu berderit pelan, seolah memprotes usahanya.

Dengan sekuat tenaga, ia terus memutar, hingga akhirnya roda itu bergerak lebih lancar. Pintu terbuka perlahan, mengeluarkan suara yang menggema di sepanjang terowongan. Di baliknya, sebuah lorong gelap menunggu.

Lorong itu jauh lebih sempit daripada terowongan sebelumnya. Lampu-lampu neon di langit-langit sebagian besar sudah mati, meninggalkan hanya beberapa lampu berkedip yang memancarkan cahaya redup. Bau lembap bercampur dengan bau logam menyengat membuat Aisha merasa mual.

Ia melangkah perlahan, memastikan setiap langkahnya tidak menimbulkan suara yang terlalu keras. Dinding lorong terbuat dari beton kasar, beberapa bagian terlihat retak dan mengelupas. Di beberapa tempat, air menetes dari langit-langit, menciptakan genangan kecil di lantai.

Aisha menatap ke dalam tas kulit yang masih ia genggam erat. Dokumen-dokumen itu tetap utuh, tetapi tangannya yang gemetar menyulitkannya untuk memastikan. "Jangan panik," ia berbisik pada dirinya sendiri. "Kamu harus terus bergerak."

Namun, pikirannya terus-menerus terganggu oleh suara langkah-langkah kecil yang terdengar dari kejauhan. Mungkin itu hanya gema langkahnya sendiri, tetapi instingnya mengatakan ada seseorang yang mengikutinya.

Rasa takut mulai merayap ke seluruh tubuhnya. Ia berhenti sejenak, mencoba mendengarkan lebih saksama. Napasnya tertahan, tubuhnya membeku. Namun, lorong itu begitu sunyi, hanya suara tetesan air yang terdengar samar.

"Aku hanya terlalu tegang," katanya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Tapi beberapa langkah kemudian, ia mendengar suara itu lagi—langkah kaki yang perlahan tetapi jelas. Kali ini ia yakin, ada seseorang di belakangnya.

Aisha berbalik cepat, tapi lorong itu kosong. Tidak ada apa-apa selain bayangan panjang yang dihasilkan oleh lampu berkedip di langit-langit. Jantungnya berdegup kencang, tenggorokannya terasa kering.

Tiba-tiba, sebuah suara berat bergema dari kejauhan.

"Kau tidak bisa lari, Aisha."

Suara itu milik Marcus Gray.

Aisha merasakan tubuhnya kaku seketika. Ia tahu Marcus tidak akan membiarkan misi ini berakhir dengan mudah. Ia mencoba mengendalikan rasa takutnya, memaksa kakinya untuk bergerak lagi.

Setelah beberapa menit berjalan, Aisha tiba di persimpangan lorong. Di depannya, tiga jalan bercabang ke arah yang berbeda, masing-masing tampak gelap dan tak bersahabat.

Ia berhenti sejenak, mencoba mengingat petunjuk apa pun yang mungkin diberikan David tentang tempat ini. Tapi percuma. Segala sesuatu terasa asing, dan keheningan di sekitarnya hanya menambah beban pikirannya.

"Pilihanku hanya keberuntungan," gumamnya.

Ia memilih lorong di sebelah kiri, berharap itu membawa ke tempat aman. Namun, beberapa langkah kemudian, ia mendengar suara langkah kaki semakin jelas di belakangnya. Ia tahu Marcus atau anak buahnya semakin dekat.

Aisha mempercepat langkahnya, hampir berlari, meskipun tubuhnya sudah hampir mencapai batas. Lorong ini lebih panjang dari yang ia duga, dan kegelapan di ujungnya terasa tak berujung.

Namun, ia tiba-tiba melihat cahaya kecil lagi di kejauhan. Sebuah pintu lainnya, kali ini tampak lebih modern dengan panel digital di sisinya.

Aisha mendekati pintu itu dengan cepat. Panel digital di sebelahnya memiliki layar kecil dengan papan tombol di bawahnya. Lampu hijau kecil berkedip di sisi atas layar, menunjukkan bahwa sistem itu masih aktif.

"Ini pasti pintu keluar," pikirnya.

Namun, ketika ia mencoba mendorong pintu, itu tidak bergerak. Layar di panel menampilkan pesan dalam bahasa Inggris: "Enter Passcode."

Aisha terdiam. Ia tidak memiliki kode itu, dan tidak tahu harus berbuat apa. Pikirannya berpacu, mencoba mengingat apakah David atau Lara pernah menyebutkan sesuatu tentang kode akses.

Langkah kaki dari belakang semakin mendekat. Ia mendengar suara Marcus lagi, kali ini lebih dekat.

"Kamu sudah selesai, Aisha. Tidak ada tempat untuk lari."

Aisha menatap layar panel dengan panik. Ia mencoba memasukkan angka secara acak—1234, 0000, bahkan tanggal lahirnya sendiri. Setiap percobaan diikuti oleh bunyi bip yang keras, menandakan kesalahan.

"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" gumamnya dengan suara pecah.

Langkah kaki Marcus dan anak buahnya kini terdengar sangat dekat, mungkin hanya beberapa meter di belakangnya. Aisha tahu ia harus membuat keputusan cepat. Ia merogoh tasnya dan menarik salah satu dokumen yang tampak paling penting—sebuah daftar nama yang diduga merupakan tokoh-tokoh utama dalam jaringan kriminal Marcus.

Dengan tangan gemetar, ia menyobek kertas itu menjadi dua, lalu menyobeknya lagi hingga menjadi potongan kecil. Ia tahu ini mungkin satu-satunya senjatanya jika tertangkap. Jika dokumen ini hancur, Marcus kehilangan salah satu tujuannya.

Ia kemudian mengeluarkan pena kecil dari tasnya dan menuliskan pesan di salah satu halaman kosong: "Dokumen lain ada di tempat yang lebih aman. Jika aku tidak selamat, berikan ini kepada Ethan."

Aisha memasukkan potongan dokumen itu ke dalam sakunya dan menyembunyikan pesan itu di lipatan kecil dalam tasnya.

Ketika Marcus akhirnya muncul dari balik lorong, Aisha berdiri tegak di depan pintu. Meski tubuhnya gemetar, ia mencoba menyembunyikan rasa takutnya.

Marcus tersenyum dingin, langkahnya mantap. Dua anak buahnya berdiri di belakangnya, senjata mereka terangkat.

"Akhirnya," kata Marcus dengan nada puas. "Kamu membuatku bekerja keras, Aisha. Tapi tidak ada gunanya lagi."

Aisha menatapnya tajam. "Kamu pikir aku akan membiarkanmu menang? Dokumen ini akan menghancurkanmu, Marcus. Bahkan jika aku mati di sini."

Marcus tertawa kecil, lalu melangkah lebih dekat. "Kamu pikir kamu bisa menghancurkan jaringan sebesar ini? Kami ada di mana-mana, Aisha. Kamu hanya seorang wanita yang tidak tahu kapan harus menyerah."

Namun, sebelum Marcus bisa melanjutkan, sebuah suara keras tiba-tiba bergema dari ujung lorong. Suara langkah kaki lain—lebih cepat, lebih berat.

Marcus menoleh, begitu pula anak buahnya. Dari bayangan, seorang pria muncul, membawa senjata otomatis. Itu Ethan, dengan luka di bahunya, tetapi matanya penuh dengan tekad.

"Marcus," katanya dengan suara tegas. "Aku rasa ini belum berakhir."