Chereads / Eclipse : Misi Rahasia / Chapter 4 - Bab 4

Chapter 4 - Bab 4

Kendaraan 4x4 melaju di jalan setapak yang gelap, hanya diterangi lampu depan yang samar. Suara gemuruh mesin bercampur dengan detak jantung Aisha yang terus berpacu. Ia duduk di kursi belakang, mencoba menenangkan pikirannya, tapi bayangan Lara yang tertinggal di lorong bawah tanah terus menghantuinya. Ia tidak bisa melupakan ekspresi wajah Lara—tekad bercampur dengan rasa putus asa.

David, yang kini berada di kemudi, tetap diam. Fokusnya tertuju pada jalan sempit yang penuh rintangan. Sesekali ia melirik ke kaca spion, memastikan tidak ada yang mengejar mereka. Ia tahu, Marcus Gray bukan orang yang mudah menyerah.

"Apa kita benar-benar berhasil lolos?" tanya Aisha dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.

David tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang, menatap jalan di depannya yang tampak tak berujung. "Belum. Mereka akan terus mencari kita. Tapi untuk sekarang, kita punya sedikit waktu."

Aisha mengangguk, meskipun jawabannya tidak membuatnya merasa lebih baik. Ia memandangi tas kulit di pangkuannya, tempat dokumen-dokumen itu tersimpan. Benda itu menjadi pusat dari segala kekacauan ini. Sebuah rahasia besar yang cukup kuat untuk mengguncang dunia, tapi juga cukup berbahaya untuk merenggut nyawa banyak orang, termasuk dirinya sendiri.

Di dalam kendaraan yang melaju, Aisha kembali teringat pada Lara. Ia merasa bersalah karena membiarkan Lara tertinggal, meskipun ia tahu itu adalah keputusan yang tepat untuk menyelamatkan dokumen.

"David," panggilnya akhirnya.

David meliriknya dari kaca spion. "Apa?"

"Kenapa dia melakukannya? Kenapa Lara memilih untuk tertinggal?"

David terdiam sejenak. Ia menghela napas, lalu berkata, "Kami semua tahu risiko pekerjaan ini, Aisha. Lara adalah salah satu orang terbaik yang pernah saya kenal. Dia tidak akan pernah membiarkan tugas gagal, bahkan jika itu berarti mengorbankan dirinya sendiri."

"Tapi aku yang membawa dokumen ini. Aku yang menjadi alasan semua ini terjadi," kata Aisha dengan suara bergetar.

David menatapnya tajam melalui kaca spion. "Jangan salahkan dirimu. Ini bukan salahmu. Yang kamu lakukan adalah mengungkap kebenaran. Itu sesuatu yang banyak orang tidak punya keberanian untuk melakukannya."

Kata-kata itu tidak sepenuhnya menghibur Aisha, tetapi setidaknya ia merasa ada sedikit beban yang terangkat dari pundaknya. Ia tahu tugas ini lebih besar dari dirinya sendiri, lebih besar dari siapa pun yang terlibat.

Di tempat lain, Marcus Gray berdiri di atas reruntuhan markas Eclipse yang kini menjadi lautan abu dan asap. Beberapa anak buahnya sibuk mencari sisa-sisa dokumen atau tanda-tanda kehidupan dari tim Eclipse, tetapi hasilnya nihil.

Marcus menggenggam radio di tangannya dengan erat. "Apa kabar dari tim pelacak?"

Seorang pria berbicara dari sisi lain radio. "Kami kehilangan jejak mereka beberapa kilometer dari lokasi. Tapi saya yakin mereka tidak akan jauh."

Marcus mengepalkan tangannya, rasa frustrasi terlihat jelas di wajahnya. Ia tahu bahwa dokumen itu adalah kunci dari segalanya. Tanpa dokumen itu, semua pekerjaannya selama bertahun-tahun akan sia-sia.

"Arahkan drone ke wilayah itu," perintahnya dengan suara dingin. "Saya tidak peduli berapa lama ini akan memakan waktu. Temukan mereka."

Anak buahnya segera bergerak, meluncurkan beberapa drone pengintai ke arah hutan yang kemungkinan besar menjadi rute pelarian Aisha dan timnya.

Marcus kemudian menoleh ke salah satu orang kepercayaannya, seorang wanita bernama Nadia, yang selama ini menjadi ahli strategi di timnya. "Menurutmu, apa yang akan mereka lakukan selanjutnya?"

Nadia mengamati peta elektronik yang menampilkan jalur pelarian mereka. "Mereka akan mencoba mencapai kota terdekat. Di sana, mereka bisa menghilang di keramaian atau mencari bantuan. Tapi..."

"Tapi apa?" tanya Marcus dengan nada mendesak.

"Mereka tidak bisa pergi terlalu jauh tanpa kendaraan lain atau suplai baru. Kita punya waktu untuk mengejar mereka sebelum mereka benar-benar lolos."

Marcus tersenyum dingin. "Bagus. Pastikan kita memanfaatkan waktu itu."

Sementara itu, David dan Aisha akhirnya mencapai jalan raya yang sepi. Lampu-lampu jalan yang suram memberikan sedikit penerangan, tetapi tidak cukup untuk mengurangi ketegangan yang mereka rasakan.

"Kita akan menuju tempat aman di luar kota," kata David sambil mempercepat laju kendaraan. "Ada kontak yang bisa membantu kita."

Aisha hanya mengangguk, meskipun pikirannya masih penuh dengan berbagai pertanyaan. Ia tidak tahu siapa kontak yang dimaksud, dan ia tidak yakin apakah orang itu bisa dipercaya.

Namun, perjalanan mereka tidak berjalan mulus. Tak lama setelah memasuki jalan raya, suara mendengung mulai terdengar dari atas. Aisha mendongak dan melihat dua drone kecil melayang di langit, lampu merahnya berkedip-kedip seperti mata yang mengintai.

"David, ada drone di atas kita," katanya dengan nada panik.

David melirik ke kaca spion dan langsung mempercepat kendaraan. "Sial! Mereka menemukan kita."

Aisha merasakan adrenalin membanjiri tubuhnya saat kendaraan itu mulai melaju zig-zag, mencoba menghindari pandangan drone. Tapi drone itu tetap mengikuti, seperti predator yang memburu mangsanya.

"Kita tidak bisa terus seperti ini," kata Aisha. "Apa rencanamu?"

David mengetuk setir dengan frustrasi, lalu berkata, "Ada terowongan kecil di depan. Jika kita bisa masuk ke sana, kita mungkin bisa kehilangan mereka."

Kendaraan mereka meluncur ke dalam terowongan sempit yang gelap. Suara drone mulai menghilang, terhalang oleh dinding beton yang tebal.

"Kita aman untuk sementara," kata David sambil mengendurkan gas.

Namun, saat kendaraan melaju lebih dalam ke terowongan, Aisha mulai merasakan sesuatu yang tidak beres. Udara di dalam terasa berat, dan suara mesin kendaraan mereka bergema aneh.

"Kenapa ini terasa seperti jebakan?" tanyanya dengan nada cemas.

David tidak menjawab. Ia hanya terus melaju, meskipun matanya waspada memindai setiap sudut.

Tiba-tiba, suara keras terdengar dari depan. Sebuah kendaraan besar meluncur dari sisi lain terowongan, memblokir jalan mereka.

"Keluar! Sekarang!" teriak David.

Mereka berdua segera keluar dari kendaraan, berlari ke sisi terowongan untuk berlindung. Tak lama kemudian, beberapa orang bersenjata turun dari kendaraan besar itu.

David menarik pistolnya, tetapi Aisha tahu mereka kalah jumlah.

"Kamu harus pergi," bisik David sambil memberinya tas dokumen.

"Tidak! Aku tidak bisa meninggalkanmu!" protes Aisha.

"Tidak ada waktu untuk perdebatan. Pergilah sekarang. Aku akan menahan mereka."

Aisha ingin melawan, tetapi tatapan David begitu tegas. Dengan berat hati, ia mulai berlari ke arah yang berlawanan, masuk lebih dalam ke dalam terowongan.

Dari belakang, ia mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga, tetapi ia tidak berani menoleh.

Aisha kini sendirian, hanya ditemani tas dokumen yang terus ia pegang erat. Terowongan itu terasa semakin gelap dan dingin, seolah menelannya hidup-hidup.

Ia terus berlari, meskipun tubuhnya mulai lelah. Setiap langkah terasa berat, dan setiap suara kecil membuatnya melompat ketakutan.

Namun, di tengah kegelapan itu, ia melihat cahaya kecil di kejauhan. Sebuah pintu besi tua dengan lampu berkedip-kedip di atasnya.

"Aku harus sampai ke sana," gumamnya, meskipun napasnya sudah hampir habis.

Tapi ia tahu, ini belum berakhir. Marcus Gray masih memburunya, dan waktu terus berjalan.