Salam kenal, wahai para Pelintas Dimensi yang menjelajahi kata-kata di halaman ini, dan selamat datang di sebuah kisah yang kalian anggap fiksi ini.
Halaman ini bukanlah prolog, dan bukan juga bab pertama dari cerita utama. Tidak masalah kalau kalian ingin melewati halaman ini. Aku hanya ingin memberikan sambutan kecil dan sedikit memberkahi kalian pengetahuan terhadap konsep kisah ini.
Sebelum kita mulai kisah ini, apa kalian tahu, bahwa dalam perbatasan dimensi ini, ada keberadaan lain di dalam ketiadaan? Apa ucapanku ini sedikit membingungkan kalian? Maafkan aku ... biar aku ungkapkan sedikit.
Dalam buku ini, kalian menganggap ini hanya sekedar kisah fiksi, lembaran tulisan tak bermakna, menyaksikan takdir kehidupan lain dalam bentuk tulisan.
Bukalah mata kalian, perhatikan secara seksama, ini bukanlah sekedar fiksi belaka, melainkan kisah dari kehidupan lain yang berada jauh di luar batasan kalian.
Lihatlah, para penjelajah kata, di sana, di balik fourth wall yang menjadi perbatasan dimensi kalian, ada kehidupan yang berkembang dengan cara yang tak terlukiskan oleh kata-kata di halaman ini.
Jauh dipandang, berbeda kehidupan. Namun, semua saling mengisi kekosongan, karena kisah takdir mereka tertorehkan tinta takdir. Goresan pena dari sang ilahi yang menuntun setiap kehidupan, mengabaikan jarak di antara keberadaan.
Nikmati, dan syukuri berkah ilahi yang memberikan kalian kesempatan untuk menjelajahi dunia fantasi yang tak dapat kalian rasakan sebelumnya.
Ah, mohon maaf, jangan salah paham, aku bukan karakter utama dalam kisah ini. Kalau kalian penasaran siapa aku, mungkin ... kalian bisa menganggapku sebagai entitas Tuhan tak dikenal.
Bukan aku yang menciptakan kehidupan di kisah ini. Aku tidak terikat dengan ruang dan waktu, penciptaan dan takdir dalam kehidupan ini.
Hiraukan saja aku, suara ini tak perlu kalian cari, wahai para pembaca. Wujud diriku yang sebenarnya, jiwa lemah seperi kalian takkan sanggup melihatnya, yang akan terhempas hampa tanpa makna.
Wahai Pelintas Dimensi, lihatlah sebuah apel yang ada di genggamanku. Di sini, ada banyak sekali buah apel yang segar, bukan? Ini bukan sekedar buah apel yang kalian ketahui. Mari, biar aku ungkapkan sedikit.
Setiap apel yang ada di sini, mewakili sebuah alam semesta dan ada banyak apel yang mewakili alam semesta paralel. Jajaran galaksi dan miliaran bintang tersusun rapih dengan keindahan di dalamnya. Namun, kehidupan yang berjalan di setiap apel ini, berjalan dengan keharmonisan yang ternodai.
Sementara batang yang mengikat semua apel tersebut adalah Macroverse. Macroverse adalah inti alam semesta yang melampaui semua alam semesta individual dan menghubungkan mereka dalam sebuah struktur yang lebih besar. Makhluk-makhluk yang mampu mencapai inti kehidupan ini, mereka sebut sebagai Entitas Kosmik yang mereka sembah sebagai Dewa.
Hmm? Apa kalian mengira kalau puncak tertinggi semesta ini hanya Marcoverse saja?
Baiklah, agar tidak salah paham, biar aku kembali mengungkapkan sedikit lagi. Jawaban dariku: Tidak, masih ada yang melampaui inti kehidupan ini, yang bernama: Omniverse.
Omniverse adalah substansi yang melingkupi dan mencakup seluruh kehidupan, baik itu universe, multiverse dan macroverse, semua berada di dalamnya. Ini adalah realitas yang melampaui segala kemungkinan, dan berada di tingkat dimensi ke-12 hingga tak terukur.
Sekarang, aku ingin menceritakan sedikit kisah tentang kehidupan yang ada di dalam apel ini.
Di dalam apel ini, miliaran bintang tersusun rapih dalam ilusi yang fana. Jajaran galaksi memberikan kilauan yang indah mengisi kekosongan. Segala sesuatu di seluruh dunia terbentuk dari satu materi dasar yang disebut Prima Materia.
Namun, keindahan yang telah tercipta ini ternodai dengan simfoni yang salah. Mereka, para entitas kosmik yang dianggap sebagai dewa, saling bersaing dan membanggakan ideologi mereka.
Mereka saling beradu kekuatan, membentuk dan mengubah struktur fundamental kehidupan di dalamnya. Kekacauan yang mereka sebabkan melenyapkan beberapa alam semesta dan menggetarkan seluruh apel ini.
Pada suatu saat, ketika alam semesta tak lagi mampu menopang kerusakan yang megah, akan berguncang menggetarkan seisinya hingga luluh lantak. Maka, tibalah waktu untuk mereka sirna, musnah menjadi butiran debu tanpa arti.
Makhluk kecil di dalam apel ini berjuang demi hidup mereka. Mereka berusaha melewati gelombang kehancuran yang melanda. Namun, di antara mereka, ada yang angkuh dan tak mengenal batasan. Mereka menciptakan ketidakharmonisan, menantang batas-batas yang seharusnya dihormati.
Aku sudah terlalu banyak menjelajahi kehidupan, juga menyaksikan kehancuran di antaranya sebab penghuni alam itu sendiri. Kisah akhir dari segala kehidupan selalu terdengar klise bagiku, seolah mereka yang fana selalu melupakan tinta ilahi yang telah dituliskan untuk mereka: takdir.
Namun di kehidupan kali ini, ada satu hal yang menarik perhatianku. Ketika aku telah mengetahui akhir dari takdir di kehidupan ini, cahaya dari sebuah kristal ilahi berbicara padaku, seolah memberiku pesan bahwa kehidupan yang ada di sini akan berjalan dengan menarik.
Selanjutnya, aku akan mengajak kalian menelusuri bagian terpenting dalam sambutan ini, untuk menyampaikan sepatah kata pada sosok aktor dari kisah ini.
Perhatikan sebuah titik di antara gemerlap bintang di balik kegelapan angkasa. Di sana, adalah tempat dari sosok bakteri terlahir. Ia adalah perwujudan dari keangkuhan paling menjijikan, menentang takdir dengan penuh kegilaan.
Dia bukanlah entitas kosmik yang merupakan entitas tertinggi dalam alam semesta ini. Dia hanya makhluk kecil dan fana seperti kalian. Tapi, dia yang akan menjadi aktor dari panggung sandiwara ini.
Wahai kamu—sang aktor sebuah kisah, menarilah untukku dan Pelintas Dimensi yang kuhormati. Alam semesta yang ku genggam ini akan menjadi panggung untukmu mengembara lautan bintang, hanya demi mencari makna dari penghujung takdir.
Kematian, keputusasaan, penderitaan, perpisahan, semua hal itu akan mengiringi langkah perjalananmu. Ketahuilah, kehidupan ini hanyalah sekedar mimpi belaka, yaitu garis takdir yang telah ditentukan sebelum keberadaan tercipta.
Tapi, jangan cemas. Tutuplah kedua matamu, agar kegelapan yang mendekat tak menakuti dirimu. Jangan biarkan hal itu membebani jiwamu, atau mematikan langkahmu. Ukur alam semesta dengan dirimu sendiri, dan catat semua itu pada hatimu. Inilah jalan takdir yang harus kamu lalui demi melindungi semestamu.
Wahai kamu makhluk yang angkuh, kisah yang kamu tulis adalah penentu dari takdir yang kamu cari. Berikan kisah yang menarik untukku dan para Pelintas Dimensi dari perjalananmu. Kami akan selalu memperhatikanmu dari kursi penonton, dan Pelintas Dimensi dari layar monitor mereka.
Kemudian ... alur kehidupan kembali seperti sedia kala, waktu ikut berjalan dengan sendirinya. Setelah berinteraksi dengan makhluk yang Dia sebut "Pelintas Dimensi" dan menyambut sang "Aktor", Dia tiba-tiba menghilang dengan kemegahannya yang sempurna.
Tidak ada yang menyadari bahwa setitik eksistensi-Nya, dapat menghilangkan kehidupan ini dalam sekejap.
Awal dari sambutan-Nya, bukanlah Prolog dari kisah ini.