Chereads / World Destruction I : Initium Viae / Chapter 5 - 4. Harga yang Harus Dibayar

Chapter 5 - 4. Harga yang Harus Dibayar

Setelah pembahasan panjang selesai, Lustia yang masih ditemani Zexia segera pergi menuju ruangan tahta Ratu Iblis. Sementara keempat anggota IV Annienta, mereka telah berangkat menuju sebuah planet asing untuk melaksanakan tugas baru mereka.

Keempat pilar tersebut dipecah menjadi dua kelompok dengan destinasi yang berbeda. Nameless dan Violatte, mereka ditempatkan pada sebuah planet yang bernama Netarule.

Dari penjelasan singkat yang diberikan Lustia, Planet Netarule adalah tempat di mana sebagain besar penduduknya menyembah salah satu Dewi Calestia. Planet itu memiliki lima spesies berbeda yang hidup di dalamnya. Lustia menaruh harapan pada Nameless dan Violatte untuk dapat menemukan petunjuk lebih dalam tentang salah satu Dewi Calestia yang menjadi sosok "Tuhan" penduduk sana.

Sementara Diablo dan Cally, mereka ditugaskan berpasangan ke sebuah planet yang berjarak paling jauh dari dunia mereka. Planet tersebut bernama Klovi I, yang terletak di galaksi berbeda dari dunia iblis saat ini.

Perjalanan Diablo dan Cally kali ini menjadi sejarah baru bagi IV Annienta, di mana mereka kali ini melintasi dunia asing yang jauh di sebuah galaksi yang berbeda. Selama ini, seluruh anggota IV Annienta hanya berkelana di dalam galaksi mereka saja.

Lustia memerintahkan kedua pilar iblis tersebut untuk mengamati kehidupan yang berjalan di galaksi yang berbeda. Dia meyakini adanya hal menarik dalam perbedaan galaksi ini. Baik itu dari segi hukum yang menjadi tatatanan di sana, maupun perbedaan peradaban yang signifikan. Selain itu, Potensi untuk menemukan artefak kuno, sumber daya yang langka, dan pengetahuan baru tentang sihir dan teknologi sangatlah besar.

Tak hanya itu, Lustia juga percaya bahwa di sana mungkin saja ada makhluk-makhluk dengan kekuatan luar biasa yang dapat menjadi sekutu atau ancaman tergantung pada pendekatan mereka.

Mengingat perbedaan jarak yang sangat signifikan ini, Diablo dan Cally diharapkan harus lebih berhati-hati dalam perjalanan mereka kali ini, mewaspadai terhadap aturan dan hukum yang mungkin berlaku di galaksi tersebut, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Saat ini, di tengah koridor yang panjang, lukisan-lukisan sakral yang menceritakan perjalanan dunia iblis terpampang rapih di setiap sisi lorong Lustia dan Zexia lewati. Meski memiliki kesan menyeramkan, namun keindahan dan kebersihan bagian lorong yang gelap tetap terjaga.

"Berkat Diablo pembahasan ini jadi cepat," celetuk Zexia memecah keheningan dengan ekspresi datarnya.

"Khfufu~ ya begitulah. Niatku memang ingin membicarakan soal kemenangan kemarin. Metafora yang diberikan Diablo sangat membantuku untuk menjelaskannya." jawab Lustia tanpa menoleh pada Zexia yang ada di belakangnya.

Suasana kembali hening, hanya terdengar suara langkah kaki yang merdu dari sepatu kaca mereka yang mewah. Bola mata biru Zexia memandang rambut putih Lustia yang berada di hadapannya tanpa sebuah kata.

Hingga beberapa langkah kemudian, mereka telah tiba di depan pintu megah yang di jaga oleh dua kesatria iblis. Pintu itu berukuran cukup besar dan kokoh, warna hitamnya begitu mengkilap dengan beberapa corak keemasan.

Ketika Lustia dan Zexia tiba, dua kesatria iblis itu membuka pintu sambil menunduk memberikan hormat. Cahaya terang dari dalam ruangan perlahan menyinari mereka seiring pintu tersebut terbuka. Meski pintu megah tersebut telah dibuka dengan lebar, Lustia tak segera melangkah masuk, hanya berdiam diri dengan tatapan kosong.

"Hei ... Zexia," panggil Lustia tiba-tiba dengan suara pelan. Nada yang ia keluarkan terdengar begitu berat seolah sedang meragukan sesuatu.

Di belakangnya, Zexia hanya memiringkan kepala sebagai respon tanpa membuka suara.

"Kalau seandainya asumsiku benar, apa yang harus kita lakukan?" lanjut Lustia.

"Apa maksudmu?" jawab Zexia tanpa ekspresi.

Tatapan kosong dari bola mata biru Lustia tertuju pada singgasana mewah yang ada di dalam ruangan, seperti sedang memikirkan suatu hal. Wajahnya yang datar semakin menonjolkan bahwa pikirannya tengah terombang-ambing dengan asumsi yang ia jelaskan sebelumnya.

Selang beberapa saat kemudian, Lustia menghela nafas sebelum melanjutkan. "Tidak, bukan apa-apa."

Tidak ada reaksi dari Zexia, ia tetap dengan ciri khasnya yang tak memiliki ekspresi. Meski ia tampak seolah tak acuh, tapi dalam batinnya ia merasa ada yang aneh dari sikap Lustia, tidak seperti biasanya.

Zexia sudah cukup lama menemani Lustia dalam melakukan suatu hal, mereka seperti kesatuan yang sulit dipisahkan.

Awalnya, setelah kekalahan Zexia melawan Eliza, yang menjadikan dirinya sebagai tangan kanan Eliza, Zexia selalu mengikuti Eliza pun dia pergi bagai sebuah peliharaan. Namun, di suatu hari, Eliza memerintahkan Zexia untuk menemani Lustia dalam mengatur segala hal di dunia iblis tanpa memberikan alasan yang jelas.

Semenjak saat itu, Lustia dan Zexia menjadi rekan yang mengatur segala kepentingan dunia iblis. Kebersamaan mereka setiap waktunya, semakin membentuk ikatan yang kuat di antara mereka. Mereka telah mengenal lebih dekat mengenai sifat dan pemikiran masing-masing. Lustia yang Zexia kenal, adalah sosok bijaksana yang selalu bersikap tenang terhadap apa pun.

Namun saat ini, bahkan setelah kemenangan Eliza kemarin, sikap yang ditunjukan Lustia justru jauh dari biasanya, seolah terdapat sesuatu yang membuat dirinya tampak terkesan berbeda.

"Aku tidak mengerti apa yang kau pikiran," kata Zexia sambil melangkah masuk melewati Lustia yang masih diam mematung. "Tapi, hanya ada satu jawaban pasti."

Kemudian, ia menghentikan langkahnya di hadapan Lustia. "Yaitu, tetap mengikuti alur."

"Lustia, kau sedikit berbeda. Apa kau terlalu banyak mempertimbangkan hal yang belum tentu terjadi?" sambung Zexia sembari menghadap Lustia.

Lustia tetap diam dalam seribu bahasa, ekspresi yang ia berikan tidak seperti biasanya yang selalu tersenyum manis tanpa keraguan. Tatapan sayunya tertuju pada sebuah karpet merah yang ia pijak. Walau suasana begitu hening dan tenang, namun dalam pikirannya cukup ramai tanpa jeda.

Sementara Lustia masih diam dalam keheneningan, Zexia kembali bersuara.

"Sampai segitunya?" Zexia menghela nafas. "Yah, terserah, aku selalu percaya dengan otakmu itu. Kalau kau menjadi pecundang seperti ini, berarti semua kemungkinan yang bisa terjadi sangat berbahaya untuk kita."

Lantas Zexia berbalik badan untuk segera melanjutkan langkahnya. Namun, baru saja ia berjalan satu langkah, tiba-tiba Lustia bersuara pelan.

"Eliza...," gumamnya, bibirnya bergetar dengan kebingungan yang mendalam.

Zexia yang mendengar kembali menghentikan langkahnya. "Hum? Apa kau khawatir padanya?"

Sejenak Lustia tampak sedang berpikir, bibir manisnya begitu datar dengan wajah yang serius. Lalu, dia menyambungkan ucapannya.

"Entahlah, aku hanya merasa bingung. Kemenangan kemarin terlalu janggal bagiku. Hal spesial apa yang telah dilakukan oleh Eliza, sampai dirinya diberkati oleh salah satu dewa? Mau bagaimana pun alasannya, ini sangat mustahil."

Ucapan Lustia terhenti sejenak, dia melirik dua kesatria iblis yang masih memberi penghormatan sembari menggerakan tangannya. Tanpa berpikir panjang mereka langsung mengerti, lalu pergi meninggalkan posisi mereka.

Kemudian, Lustia kembali melanjutkan, "Sebenarnya, ada satu alasan yang mengganggu pikiranku. Bagaimana jika ... ada harga yang harus dibayar? Dewi tersebut tidak memiliki niat untuk membantu kita, melainkan mencoba menjadikan Eliza atau dunia iblis sebagai pionnya?"

Asumsi tersebut ikut membawa Zexia ke dalam rasa penasaran yang tinggi. Mereka berdua seolah terjebak di dalam ketidakpastian yang sulit untuk dipahami.

Sebenarnya, bisa saja mereka tak acuh terhadap hari kemarin, dan menikmati sebuah perubahan dengan sukacita tanpa melibatkan diri terhadap sesuatu yang belum tentu terjadi. Namun, demi menjaga kehidupan mereka, tindakan naif seperti itu hanya akan membawa kehancuran untuk mereka.

Di dalam labirin kehidupan, terdapat satu aturan yang mutlak dan tak terelakkan: "Selalu ada harga yang harus dibayar." Setiap langkah, setiap keputusan, dan setiap pencapaian tidak terlepas dari konsekuensi dan imbalan yang harus dihadapi. Seolah menjadi mantra tak tertulis, frasa ini merajut benang kisah seluruh kehidupan yang terhubung erat dengan takdirnya.

Dalam arena pertukaran takdir ini, tidak ada yang diberikan tanpa adanya ganti rugi. Kehidupan memainkan permainan yang adil, akan menagih setiap detik yang berlalu dengan pembayaran penuh. Harga bisa berupa waktu yang terlewatkan, peluang yang tak kembali, atau bahkan kebahagiaan yang tergantikan oleh kepahitan.

Hal ini berkaitan dengan berkah yang didapatkan oleh Eliza kemarin. Bagaimana jika dewi tersebut akan menagih bayaran yang setimpal untuk kekuatan luar biasa pada saat itu? Meski Eliza tidak terikat kontrak dengan dewi itu sebelumnya, namun Eliza yang dapat menggunakan kekuatan bulan adalah sebuah fakta yang tidak dapat dibantah.

Jika Eliza menolak untuk membayar, maka ada satu cara penagihan terakhir yang tak terelakkan dan penuh bahaya, yaitu nyawa. Dalam kehidupan ini, ada momen kritis di mana setiap individu dihadapkan pada keputusan sulit.

Ketika hutang-hutang tak terbayarkan, saat kesepakatan tak terpenuhi, dan ketika segala bentuk pembayaran tampaknya tak mencukupi, nyawa menjadi mata uang terakhir yang harus diserahkan.

Hal ini yang menjadi beban pikiran Lustia saat ini. Jika asumsinya adalah sebuah fakta yang akan terjadi, maka ada tiga kemungkinan yang akan menjadi bayaran: dunia iblis menjadi pion dewi tersebut, atau Eliza yang akan menjadi pionnya, dan terakhir adalah nyawa Eliza. Meski ketiga kemungkinan itu terdengar masuk akal, namun dua di antaranya memiliki kemungkinan yang lebih tinggi.

Dengan kata lain, kejadian kemarin bagai sebuah permainan teka-teki yang akan menentukan nasib mereka selanjutnya.

Berpikir bahwa dewi tersebut hanya sekedar bosan adalah asumsi yang bodoh. Mereka hanya bisa menggali sebanyak mungkin mengenai informasi terkait Dewi Bulan dan Calestia, untuk menarik kesimpulan yang dapat menjadi jawaban dari semua teka-teki ini.

Setelah mendengar semua isi pikiran Lustia, Zexia tetap dengan ekspresi datarnya, sembari bekata. "Lustia, kau terlalu banyak berpikir. Cobalah kau sedikit belajar dari Kakakmu itu. Dia itu bodoh, bertindak semaunya tanpa memikirkan konsekuensi. Aku yakin dia tidak peduli dengan bayaran yang kau katakan itu. Sebaliknya, dia justru dengan senang hati akan menantang dewi itu."

Kemudian Zexia menatap lukisan kebangkitan Eliza di dinding. "Sebenarnya, jika itu terjadi, itu akan sedikit membantu Eliza."

Lustia mengernyit, kebingungan terpancar dari raut wajahnya. Dia sudah lama memikirkan hal ini, namun dia tidak merasa adanya keuntungan yang bisa didapatkan jika hal itu terjadi.

Tanpa berpikir panjang, Zexia kembali melanjutkan dengan panjang lebar. "Kalau kau sadar dengan tujuan Eliza selama ini, seharusnya kau mengerti sisi baiknya jika hal itu terjadi. Dia tidak perlu lagi bersusah payah mencari cara untuk bertemu sosok Dewa Calestia. Mungkin saja jawaban yang selama ini dia cari akan terjawab di saat pertemuan mereka."

"Lustia, apa yang kau ucapkan itu adalah urusan Eliza dan Dewi Bulan, kita tidak bisa melakukan apa pun jika dewi itu menagihnya."

"Seandainya Violatte memiliki hutang pada temannya, dan temannya datang untuk menagih, apa kau akan ikut campur urusan mereka? Ya, kau bisa ikut campur, jika situasi semakin rumit hingga memaksa kita untuk berperang. Seharusnya kau mengerti sampai di sini."

Masih dengan ekspresi datarnya, Zexia melanjutkan perkataannya. "Aku mengerti kau berpikir jauh ke depan demi mencegah segala kemungkinan terburuk terjadi, tapi jangan berlebihan. Kau harus belajar sedikit naif. Sesuai apa kataku tadi, ikuti alur. Tidak semua jawaban dapat terjawab saat ini juga, hanya waktu yang bisa menjawab semua jawaban yang kita cari."

"Kau sudah berubah jauh dari biasanya. Kau menjadi sangat lemah dan berpikir dangkal."

Setiap kalimat yang Zexia katakan berhasil mengguncang pikiran Lustia. Dia berkata dengan nada datar, tanpa ekspresi sebagai ciri khasnya yang tak pernah bisa diubah. Namun, isi yang terkandung di dalam ucapannya tidak seperti sosoknya yang mungil dan menggemaskan, seolah seperti anak kecil yang telah beranjak dewasa sebelum waktunya.

Lustia kembali terdiam, bola matanya melebar dengan jari-jemari cantiknya bergetar. Wajahnya yang sebelumnya terhimpit oleh beban pikiran negatif, kini mengalami perubahan. Ekspresi tertegun melintas di wajahnya, seakan-akan dirinya baru saja menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan gelap yang selama ini menghantuinya.

Dalam keheningan yang menyelimuti, pikiran negatif yang kerap merayap di dalam benaknya, lambat laun tercerahkan oleh kata-kata yang diucapkan Zexia. Terkadang, jawaban yang dicari bukanlah sesuatu yang rumit, melainkan pencerahan dari sudut pandang yang berbedaAsumsi tersebut ikut membawa Zexia ke dalam rasa penasaran yang tinggi. Mereka berdua seolah terjebak di dalam ketidakpastian yang sulit untuk dipahami.

Sebenarnya, bisa saja mereka tak acuh terhadap hari kemarin, dan menikmati sebuah perubahan dengan sukacita tanpa melibatkan diri terhadap sesuatu yang belum tentu terjadi. Namun, demi menjaga kehidupan mereka, tindakan naif seperti itu hanya akan membawa kehancuran untuk mereka.

Di dalam labirin kehidupan, terdapat satu aturan yang mutlak dan tak terelakkan: "Selalu ada harga yang harus dibayar." Setiap langkah, setiap keputusan, dan setiap pencapaian tidak terlepas dari konsekuensi dan imbalan yang harus dihadapi. Seolah menjadi mantra tak tertulis, frasa ini merajut benang kisah seluruh kehidupan yang terhubung erat dengan takdirnya.

Dalam arena pertukaran takdir ini, tidak ada yang diberikan tanpa adanya ganti rugi. Kehidupan memainkan permainan yang adil, akan menagih setiap detik yang berlalu dengan pembayaran penuh. Harga bisa berupa waktu yang terlewatkan, peluang yang tak kembali, atau bahkan kebahagiaan yang tergantikan oleh kepahitan.

Hal ini berkaitan dengan berkah yang didapatkan oleh Eliza kemarin. Bagaimana jika dewi tersebut akan menagih bayaran yang setimpal untuk kekuatan luar biasa pada saat itu? Meski Eliza tidak terikat kontrak dengan dewi itu sebelumnya, namun Eliza yang dapat menggunakan kekuatan bulan adalah sebuah fakta yang tidak dapat dibantah.

Jika Eliza menolak untuk membayar, maka ada satu cara penagihan terakhir yang tak terelakkan dan penuh bahaya, yaitu nyawa. Dalam kehidupan ini, ada momen kritis di mana setiap individu dihadapkan pada keputusan sulit.

Ketika hutang-hutang tak terbayarkan, saat kesepakatan tak terpenuhi, dan ketika segala bentuk pembayaran tampaknya tak mencukupi, nyawa menjadi mata uang terakhir yang harus diserahkan.

Hal ini yang menjadi beban pikiran Lustia saat ini. Jika asumsinya adalah sebuah fakta yang akan terjadi, maka ada tiga kemungkinan yang akan menjadi bayaran: dunia iblis menjadi pion dewi tersebut, atau Eliza yang akan menjadi pionnya, dan terakhir adalah nyawa Eliza. Meski ketiga kemungkinan itu terdengar masuk akal, namun dua di antaranya memiliki kemungkinan yang lebih tinggi.

Dengan kata lain, kejadian kemarin bagai sebuah permainan teka-teki yang akan menentukan nasib mereka selanjutnya.

Berpikir bahwa dewi tersebut hanya sekedar bosan adalah asumsi yang bodoh. Mereka hanya bisa menggali sebanyak mungkin mengenai informasi terkait Dewi Bulan dan Calestia, untuk menarik kesimpulan yang dapat menjadi jawaban dari semua teka-teki ini.

Setelah mendengar semua isi pikiran Lustia, Zexia tetap dengan ekspresi datarnya, sembari bekata. "Lustia, kau terlalu banyak berpikir. Cobalah kau sedikit belajar dari Kakakmu itu. Dia itu bodoh, bertindak semaunya tanpa memikirkan konsekuensi. Aku yakin dia tidak peduli dengan bayaran yang kau katakan itu. Sebaliknya, dia justru dengan senang hati akan menantang dewi itu."

Kemudian Zexia menatap lukisan kebangkitan Eliza di dinding. "Sebenarnya, jika itu terjadi, itu akan sedikit membantu Eliza."

Lustia mengernyit, kebingungan terpancar dari raut wajahnya. Dia sudah lama memikirkan hal ini, namun dia tidak merasa adanya keuntungan yang bisa didapatkan jika hal itu terjadi.

Tanpa berpikir panjang, Zexia kembali melanjutkan dengan panjang lebar. "Kalau kau sadar dengan tujuan Eliza selama ini, seharusnya kau mengerti sisi baiknya jika hal itu terjadi. Dia tidak perlu lagi bersusah payah mencari cara untuk bertemu sosok Dewa Calestia. Mungkin saja jawaban yang selama ini dia cari akan terjawab di saat pertemuan mereka."

"Lustia, apa yang kau ucapkan itu adalah urusan Eliza dan Dewi Bulan, kita tidak bisa melakukan apa pun jika dewi itu menagihnya."

"Seandainya Violatte memiliki hutang pada temannya, dan temannya datang untuk menagih, apa kau akan ikut campur urusan mereka? Ya, kau bisa ikut campur, jika situasi semakin rumit hingga memaksa kita untuk berperang. Seharusnya kau mengerti sampai di sini."

Masih dengan ekspresi datarnya, Zexia melanjutkan perkataannya. "Aku mengerti kau berpikir jauh ke depan demi mencegah segala kemungkinan terburuk terjadi, tapi jangan berlebihan. Kau harus belajar sedikit naif. Sesuai apa kataku tadi, ikuti alur. Tidak semua jawaban dapat terjawab saat ini juga, hanya waktu yang bisa menjawab semua jawaban yang kita cari."

"Kau sudah berubah jauh dari biasanya. Kau menjadi sangat lemah dan berpikir dangkal."

Setiap kalimat yang Zexia katakan berhasil mengguncang pikiran Lustia. Dia berkata dengan nada datar, tanpa ekspresi sebagai ciri khasnya yang tak pernah bisa diubah. Namun, isi yang terkandung di dalam ucapannya tidak seperti sosoknya yang mungil dan menggemaskan, seolah seperti anak kecil yang telah beranjak dewasa sebelum waktunya.

Lustia kembali terdiam, bola matanya melebar dengan jari-jemari cantiknya bergetar. Wajahnya yang sebelumnya terhimpit oleh beban pikiran negatif, kini mengalami perubahan. Ekspresi tertegun melintas di wajahnya, seakan-akan dirinya baru saja menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan gelap yang selama ini menghantuinya.

Dalam keheningan yang menyelimuti, pikiran negatif yang kerap merayap di dalam benaknya, lambat laun tercerahkan oleh kata-kata yang diucapkan Zexia. Terkadang, jawaban yang dicari bukanlah sesuatu yang rumit, melainkan pencerahan dari sudut pandang yang berbeda.

Kini, dia telah menyadari kesalahannya yang membuat dirinya seolah terjebak di dalam labirin yang gelap. Memang konflik tersebut sangat membahayakan nasib mereka, yang membutuhkan pertimbangan lebih matang dari biasanya.

Namun, kesalahan terbesarnya adalah dirinya terlalu berpikir negatif dengan terus melahirkan banyak cabang asumsi, sehingga menambah beban pikiran, dan membuatnya tidak dapat berpikir jernih.

Terkadang, sesosok bijaksana akan menjadi pecundang saat dirinya terjebak di sebuah perasaan yang membuatnya tak dapat berpikir tenang.

Lustia yang menjadi seperti itu bukan tanpa alasan. Dia merasa khawatir bila suatu hal yang buruk kembali menimpa dunia iblis. Namun, alasannya yang paling utama adalah, dia sangat mengkhawatirkan situasi Eliza di saat nanti.

Selain itu, dari setiap kata-kata yang diutarakan oleh Zexia, ada satu hal menarik perhatian Lustia. Tidak seperti ciri khasnya yang pendiam dan jarang berkata-kata, Zexia kali ini berbicara dengan panjang lebar.

Biasanya Zexia hanya mengeluarkan sedikit kata setiap berbicara, seperti seseorang yang malas untuk bersuara. Hal itu membuat Lustia tersenyum dengan sendirinya.

Menyadari Lustia tiba-tiba tersenyum ke adahnya, membuat Zexia merasa heran. "Apa?" tanya Zexia dengan kepolosannya sembari memiringkan kepala

Rasa gemas melihat Zexia tak dapat dibendung lagi oleh Lustia, dengan lincah dia mendekat dan mencubit gemas pipi Zexia.

"Apwa swih," ringis Zexia merasa terganggu dengan Lustia yang masih memainkan pipi mungilnya.

"Utututu naga kecil ini ternyata sudah dewasa," ledek Lustia. Dia seolah seperti sosok kakak yang gemas terhadap perkembangan adiknya.

Zexia kemudian mendorong Lustia hingga terlepas dari keusilan Lustia. Sembari mengembungkan pipi karena sebal, dia berkata, "berisik, aku lebih tua darimu, bodoh."

Lustia hanya tertawa kecil, dia telah merasa tenang dari semua pikiran yang sempat mengganggunya. Walau itu hanya sekedar ucapan, namun setidaknya itu telah berhasil membuat Lustia mengingat kembali jati dirinya, sebagai iblis bijaksana yang selalu berpikir tenang.

Sementara Zexia tengah mengusap pipinya yang memerah, Lustia bersuara lembut, "Terima kasih."

Ucapannya terdengar tulus seolah dari hati yang paling dalam. Senyuman manisnya, dia lontarkan membuat paras cantiknya semakin menonjol. Untuk sesaat, Zexia menatap Lustia, dia merasa bahwa seperti itulah Lustia seharusnya.

"Baguslah kalau kau sudah mengerti," sahut Zexia sembari melanjutkan langkahnya yang tertunda.

Baru saja berjalan beberapa langkah kaki, Zexia kembali menghentikan langkahnya. Raut wajahnya yang berbeda seolah baru saja teringat suatu hal. 

"Oh, ngomong-ngomong," kata Zexia sambil berbalik badan ke arah Lustia yang ada di belakangnya. "Apa kau tahu di mana dia?"

"Maksudmu Eliza?" tanya Lustia untuk memastikan.

Zexia hanya mengangguk sebagai responnya. Dengan senyuman tipis yang sempat terlintas, Lustia menjawab, "Entah, dia itu sangat sulit ditebak. Tapi ..."

Ucapan Lustia tiba-tiba terhenti sebelum dia menyelesaikan kalimatnya. Sejenak dia hanya terdiam, memandang karpet merah yang dia pijak. Zexia yang tidak mengerti apa yang membuat Lustia terdiam hanya bisa menatapnya, menunggu wanita berambut putih salju itu melanjutkan perkatannya.

Hingga beberapa saat kemudian, Lustia terbangun dari lamunan. Raut wajahnya yang sempat terlihat gelisah, kini tergantikan dengan senyuman manis.

"Aku yakin, perhitunganku tidak pernah salah. Dalam waktu dekat ini, dia akan menemukan sedikit petunjuk dari jutaan pertanyaan yang menjadi ambisi terkuatnya," tutur Lustia sambil melangkah meninggalkan Zexia yang masih berdiri di posisinya.

Entah apa yang ada di pikiran Lustia, tapi dia tampak begitu percaya diri dengan apa yang sedang dia pikirkan. Dua tangan kanan Ratu Iblis Eliza itu kembali melanjutkan langkah mereka ke dalam ruang tahta, untuk melakukan sesuatu yang hanya bisa mereka lakukan.Kini, dia telah menyadari kesalahannya yang membuat dirinya seolah terjebak di dalam labirin yang gelap. Memang konflik tersebut sangat membahayakan nasib mereka, yang membutuhkan pertimbangan lebih matang dari biasanya.

Namun, kesalahan terbesarnya adalah dirinya terlalu berpikir negatif dengan terus melahirkan banyak cabang asumsi, sehingga menambah beban pikiran, dan membuatnya tidak dapat berpikir jernih.

Terkadang, sesosok bijaksana akan menjadi pecundang saat dirinya terjebak di sebuah perasaan yang membuatnya tak dapat berpikir tenang.

Lustia yang menjadi seperti itu bukan tanpa alasan. Dia merasa khawatir bila suatu hal yang buruk kembali menimpa dunia iblis. Namun, alasannya yang paling utama adalah, dia sangat mengkhawatirkan situasi Eliza di saat nanti.

Selain itu, dari setiap kata-kata yang diutarakan oleh Zexia, ada satu hal menarik perhatian Lustia. Tidak seperti ciri khasnya yang pendiam dan jarang berkata-kata, Zexia kali ini berbicara dengan panjang lebar.

Biasanya Zexia hanya mengeluarkan sedikit kata setiap berbicara, seperti seseorang yang malas untuk bersuara. Hal itu membuat Lustia tersenyum dengan sendirinya.

Menyadari Lustia tiba-tiba tersenyum ke adahnya, membuat Zexia merasa heran. "Apa?" tanya Zexia dengan kepolosannya sembari memiringkan kepala

Rasa gemas melihat Zexia tak dapat dibendung lagi oleh Lustia, dengan lincah dia mendekat dan mencubit gemas pipi Zexia.

"Apwa swih," ringis Zexia merasa terganggu dengan Lustia yang masih memainkan pipi mungilnya.

"Utututu naga kecil ini ternyata sudah dewasa," ledek Lustia. Dia seolah seperti sosok kakak yang gemas terhadap perkembangan adiknya.

Zexia kemudian mendorong Lustia hingga terlepas dari keusilan Lustia. Sembari mengembungkan pipi karena sebal, dia berkata, "berisik, aku lebih tua darimu, bodoh."

Lustia hanya tertawa kecil, dia telah merasa tenang dari semua pikiran yang sempat mengganggunya. Walau itu hanya sekedar ucapan, namun setidaknya itu telah berhasil membuat Lustia mengingat kembali jati dirinya, sebagai iblis bijaksana yang selalu berpikir tenang.

Sementara Zexia tengah mengusap pipinya yang memerah, Lustia bersuara lembut, "Terima kasih."

Ucapannya terdengar tulus seolah dari hati yang paling dalam. Senyuman manisnya, dia lontarkan membuat paras cantiknya semakin menonjol. Untuk sesaat, Zexia menatap Lustia, dia merasa bahwa seperti itulah Lustia seharusnya.

"Baguslah kalau kau sudah mengerti," sahut Zexia sembari melanjutkan langkahnya yang tertunda.

Baru saja berjalan beberapa langkah kaki, Zexia kembali menghentikan langkahnya. Raut wajahnya yang berbeda seolah baru saja teringat suatu hal. 

"Oh, ngomong-ngomong," kata Zexia sambil berbalik badan ke arah Lustia yang ada di belakangnya. "Apa kau tahu di mana dia?"

"Maksudmu Eliza?" tanya Lustia untuk memastikan.

Zexia hanya mengangguk sebagai responnya. Dengan senyuman tipis yang sempat terlintas, Lustia menjawab, "Entah, dia itu sangat sulit ditebak. Tapi ..."

Ucapan Lustia tiba-tiba terhenti sebelum dia menyelesaikan kalimatnya. Sejenak dia hanya terdiam, memandang karpet merah yang dia pijak. Zexia yang tidak mengerti apa yang membuat Lustia terdiam hanya bisa menatapnya, menunggu wanita berambut putih salju itu melanjutkan perkatannya.

Hingga beberapa saat kemudian, Lustia terbangun dari lamunan. Raut wajahnya yang sempat terlihat gelisah, kini tergantikan dengan senyuman manis.

"Aku yakin, perhitunganku tidak pernah salah. Dalam waktu dekat ini, dia akan menemukan sedikit petunjuk dari jutaan pertanyaan yang menjadi ambisi terkuatnya," tutur Lustia sambil melangkah meninggalkan Zexia yang masih berdiri di posisinya.

Entah apa yang ada di pikiran Lustia, tapi dia tampak begitu percaya diri dengan apa yang sedang dia pikirkan. Dua tangan kanan Ratu Iblis Eliza itu kembali melanjutkan langkah mereka ke dalam ruang tahta, untuk melakukan sesuatu yang hanya bisa mereka lakukan.