Suasana di dalam tenda semakin dipenuhi ketegangan yang serius. Bangsawan-bangsawan dan jenderal Kerajaan Brigham saling bersikeras memperdebatkan pandangan mereka tanpa henti seolah tak mau kalah.
Pasalnya, pasukan Kerajaan Brigham yang dipimpin oleh Tuan Putri Laviana semakin dekat dengan kekalahan, barisan strategi bertahan mereka juga hampir sepenuhnya diobrak-abrik pihak lawan yang menyerang semakin ganas.
Di kursi yang berada di ujung meja, Luviana hanya merenung di tengah perdebatan para pengikutnya. Suasana di dalam pikirannya lebih berisik dibanding suasana di dalam tenda atau pertempuran di kaki bukit. Dia terus mencari cara yang terbaik demi menyelamatkan harga diri tanpa menyumbang korban jiwa lebih banyak dari ini.
Namun, walau ribuan kali Luviana pikirkan, tetap saja dia tak menemukan satu pun jawaban, seperti terjebak di dalam labirin yang dipenuhi jebakan yang mematikan.
Luviana sadar bahwa dirinya terbilang naif, dan dia pun mengakui jika pihak lawan jauh lebih unggul dari segi apa pun. Jika pertempuran ini berakhir dengan kekalahan pihak mereka, Luviana merasa jika nyawanya tidak sebanding dengan harga diri kerajaan yang telah dia nodai.
Hati kecilnya terus menangis, teriakan kematian kesatria di kaki bukit terdengar begitu intens melalui angin yang berhembus merdu, dia tak kuasa menahan air mata yang terjatuh secara perlahan.
Luviana terus menyalahkan dirinya sendiri atas ketidakberdayaannya dalam menyelamatkan kesatria tercintanya, terutama harga diri kerajaannya. Dia merasa sangat bodoh dan tak layak menjadi seorang pemimpin.
Sementara itu di sisinya, wanita yang memakai kostum pelayan menyadari apa yang dirasakan oleh majikannya. Perlahan dia menyentuh pundak Luviana, memberi belaian lembut sebagai dukungannya yang tulus. Dengan senyuman yang lembut, dia mencoba memberi nasehat.
"Nona, tolong angkat kepala Anda. Tidak sepantasnya Anda menyalahkan diri sendiri. Dalam kondisi genting seperti ini, peran Anda adalah membangkitkan moral mereka. Anda tidak boleh bersikap yang akan menurunkan moral mereka."
Luviana seketika tersentak dengan kedua mata terbuka lebar, dia baru saja tersadarkan oleh ucapan pelayannya yang setia. Dengan rasa ragu, dia menatap pelayan yang tengah tersenyum manis ke arahnya.
Apa yang diucapkan pelayannya itu memang sepenuhnya benar. Sebagai pemimpin, Luviana tidak boleh bersikap bodoh di situasi genting seperti ini. Jika dia tidak mampu memberikan solusi, setidaknya dia harus tetap berwibawa dengan sikap tegas, menyatukan semua suara dengan tenang.
Kemudian, Luviana bangkit berdiri, menyeka air mata dengan penuh rasa percaya diri. Tekad yang dia miliki perlahan berkumpul menjadi satu, melawan rasa takut dan gelisah yang menyelimuti sekujur tubuhnya.
Dia mencoba menjadi pemimpin yang baik di kala situasi yang tidak memungkinkan. Baginya, di saat seperti inilah kepemimpinan sedang diuji.
Dengan penuh ketegasan, Luviana berteriak mengejutkan seisi tenda, "Semuanya! Tolong perhatian aku sebentar. Aku mengerti situasi pihak kita semakin dirugikan. Sebagai pemimpin, aku mengakui kekuatan lawan kita jauh lebih unggul dari yang kita miliki. Tapi, ini bukanlah akhir untuk kita! Kita memiliki semangat juang yang tinggi, tekad membara demi harga diri bangsa. Percayalah! Yakinilah! bahwa kemenangan akan berada di pihak kita."
Kemudian, Luviana melangkah secara anggun memutari para bangsawan, "Tidak ada strategi yang aku miliki, tidak ada senjata rahasia yang kita ciptakan, tidak ada sihir pemusnah masal yang aku kuasai, apa berarti kita tidak ada harapan? Tentu tidak! Kita memang tidak memiliki sesuatu yang dapat membalikan keadaan, tapi kita punya ini." Luviana menepuk dadanya dengan tegas. "Kita punya harga diri demi bangsa, kita punya harapan yang tak pernah pudar, kita punya keyakinan demi melindungi apa yang dicintai. Teruslah berjuang! Sampai titik darah penghabisan. Kita akan tetap berdiri, menyatukan hati dan jiwa demi mereka yang kita cintai!"
Setiap kalimatnya menyulut api yang hampir padam di dalam hati setiap orang, sambutan yang meriah mewarnai suasana yang sebelumnya suram. Ucapannya seperti titik balik kebangkitan yang hampir kehilangan seluruh harapan. Mereka kembali bangkit dari keterpurukan, dan menyatukan semua tekad demi nama baik bangsa, dan orang yang mereka cintai.
Luviana vi Brigham, dengan ketegasan dan penuh wibawa, dia telah berhasil menghidupkan api tekad mereka yang hampir sirna. Keyakinan yang dimiliki Luviana kian membuat mereka takjub dan ikut terbawa aura kemenangan.
Mereka bukanlah prajurit yang bertempur langsung di medan pertempuran, tapi mereka adalah pengatur yang memainkan peran penting di medan pertempuran dengan keahlian strategi mereka. Jika kesatria gagah berani yang sedang bertempur adalah sebuah kaki tangan, maka mereka adalah otak yang memerintahkan itu semua.
Tidak ada hal yang lebih indah selain melihat senyuman mereka, walau itu hanyalah sesaat. Mereka tahu bahwa tidak ada harapan untuk membalikan keadaan, namun mereka berusaha untuk terus meyakini apa yang Luviana yakini. Setidaknya, menciptakan aura positif akan sedikit mempermudah mereka untuk mencari jalan yang terbaik.
Di tengah euforia yang meriah, Luviana bertanya ke salah satu bangsawan. "Di mana bala bantuan kita? Kenapa mereka lama sekali?"
Kemudian, bangsawan itu segera menjawab, "Saya sudah memerintahkan salah satu kesatria untuk menjemput mereka, mungkin---"
Sebelum bangsawan itu selesai menjawab, tiba-tiba dua kesatria datang berlari memasuki tenda sambil berteriak. Raut wajah paniknya seketika mengheningkan suasana yang bahagia.
Merasa ada yang tidak beres, lantas Luviana bertanya, "Tenanglah, ada apa?"
Dengan penuh rasa gemetar, salah satu kesatria itu menjawab, "Mohon maaf, saya sudah memeriksa lokasi di mana seharusnya bala bantuan kita berkumpul. Tapi, saat saya tiba di sana ... mereka semua tewas tanpa adanya bekas pertempuran."
Seketika ketegangan kian mewarnai suasana, detak jatung terasa berhenti untuk beberapa detik, keringat dingin mulai membanjiri setiap kulit. Rasa syok tak tertahankan membuat tidak ada satu pun yang sanggup berbicara.
Suasana yang tadinya dipenuhi semangat seketika berubah menjadi kehampaan dan keputusasaan. Rasa tekad yang baru saja ditemukan tiba-tiba sirna dihempaskan oleh kenyataan pahit bahwa pertolongan yang mereka harapkan telah lenyap begitu saja.
Meski belum ada kepastian apa yang sebenarnya terjadi, kabar buruk yang datang ini telah lebih dulu menghancurkan harapan yang telah disusun ulang.
Luviana, yang harapannya telah hancur, mencoba membuka suara dengan sisa tenaga. "A-apa maksudmu?"
Lantas kesatria itu berjongkok dengan tubuh gemetar, "Mohon maaf, Tuan Putri. Saya tidak menemukan adanya bekas luka di tubuh mereka, seolah mereka mati terkena kutukan. Selain itu ... sa-saya juga tidak menemukan adanya bekas pertempuran. Sungguh ... saya tidak tahu apa yang terjadi!"
Luviana tiba-tiba terduduk lemas tak berdaya, sisa tenaganya tak sanggup lagi menahan dengkulnya untuk tetap berdiri tegak. Tubuhnya gemetar hebat dan jantungnya berdegup kencang. Ketidakpastian kini semakin memperkeruh pikiran Luviana, ini seperti mimpi buruk yang datang di siang hari.
Para bangsawan terus memperdebatkan kebenaran dari informasi dua kesatria ini, ada juga yang menodongkan pedang memaksa mereka untuk berkata sejujurnya.
Bagi mereka, informasi yang diberikan kesatria tesebut tidaklah masuk akal. Apalagi bala bantuan tersebuf berjumlah 2500 orang, dan semuanya seolah mati dalam sekejap terbilang sangat tidak masuk logika.
Amarah dan keputusasaan begitu kental melahap jiwa mereka yang berharap adanya titik balik. Dengan begini, Kerajaan Brigham sudah pasti dinyatakan kalah tanpa harapan. Setidaknya itu yang ada di batin Luviana.
Namun, di tengah ketegangan yang merusak suasana, tiba-tiba...
"Fufu~ drama yang bagus."
Seluruh mata serentak tertuju ke sumber suara tersebut. Suara itu terdengar begitu halus dan sangat khas, tawa kecilnya terdengar bagai melodi gelap yang memesona. Sepasang bola mata merah dengan tatapan taham tertuju pada seisi ruangan. Dia melangkah dengan anggun dengan gaun hitamnya ke dalam tenda yang sederhana.
"Baiklah, tunjukan padaku ekspresi ketidakberdayaan kalian, manusia."
Senyuman jahat terukir di wajahnya yang dingin, rambut peraknya melambai seiring hembusan angin, dan sepasang sepatu kaca hitam mewahnya menciptakan irama merdu dengan setiap langkahnya menuju Luviana yang terduduk lemas tanpa daya.
Di sekelilingnya, para bangsawan dan kesatria memegang senjata mereka dengan rasa curiga dan waspada. Mereka menatap wanita cantik yang tiba tanpa undangan itu dengan ketidakpercayaan. Satu per satu, mereka menanyakan siapa dia sambil menodongkan senjata mereka.
Saat wanita itu berdiri di hadapan Luviana, seorang kesatria tiba-tiba melancarkan serangan dengan pedangnya ke leher wanita tersebut. Namun, dengan gerakan kilat, wanita itu menangkis serangan itu hanya dengan kuku kelingkingnya tanpa menoleh.
Wanita itu kemudian menatap mata Luviana yang bergeming. Luviana yang merasa takut, berusaha membuka suara secara gemetar. "Si-siapa kamu? A-apa yang kamu inginkan?"
Wanita misterius itu mendekatkan wajahnya. "Entah, itu tidak penting."
Rasa takut semakin melingkupi Luviana, dan tubuhnya menjadi kaku ketika wanita itu semakin mendekat, menghantarkan tekanan aura yang membuatnya sulit bernafas.
Di tengah suasana yang menegangkan, salah satu bangsawan bergumam dengan suara yang gemetar, "Jangan-jangan, kau iblis?"
Asumsi itu membuat mereka tersentak dan tersadar, tidak sedikit dari mereka yang kian tenggelam ke dalam jurang rasa takut. Meski begitu, belum ada satu pun yang menduga, bahwa wanita misterius yang datang ini bukanlah sekedar iblis biasa. Melainkan, iblis paling buruk dan kejam di sejarah alam semesta.
"Iblis! Apa yang kau inginkan?!" teriak salah satu bangsawan.
Iblis terburuk yang pernah ada ini hanya menghela nafas remeh, seolah mendengar lelucon murahan yang selalu dia dengar.
Kemudian, dengan lembut wanita itu menekan jari manisnya ke dada Luviana, membuatnya terduduk semakin rapuh.
"Menyedihkan, setelah kau mengalami kekalahan telak, kau malah kedatangan tamu sepertiku. Fufu~ aku jadi penasaran bagaimana reaksi jiwa kalian yang lemah itu."
Lalu, wanita itu bangkit berdiri. "Hei, manusia. Apa kau ingin kekuatan?"
Luviana tersentak hebat, dia sepenuhnya terkejut dengan tawaran iblis cantik di hadapannya. Bagaimana mungkin sosok iblis yang tiba-tiba datang menawarkan kekuatan di saat keputusasaan melanda nasib mereka, seolah memberikan harapan untuk membalikan keadaan.
"Apa maksud kau?" tanya salah satu bangsawan sambil mengernyit.
"Tidak ada waktu berpikir, mereka sudah semakin dekat," jawab iblis misterius dengan ekspresi dinginnya.
Di waktu yang sama, gemuruh langkah kaki di kaki bukit semakin terdengar mendekat. Seluruh kesatria Brigham telah sepenuhnya dikalahkan. Pasukan pihak lawan berlari menaiki bukit untuk membunuh bangsawan dan Tuan Putri Brigham yang masih tersisa
Ini menjadi beban pertimbangan Luviana, pikirannya kian terombang-ambing memikirkan keputusan yang paling tepat. Ia tahu bahwa nasib para bangsawan dan dirinya sedang dipertaruhkan dalam waktu singkat ini.
Jika ia memilih menyerang dengan kekuatan yang tersisa, presentase kemenangan yang ia miliki hanyalah 0,1 persen. Untuk memilih kabur sekarang pun sudah terlambat, sebab pasukan musuh semakin dekat menghampiri mereka.
Di sisi lain, ia teringat dengan tawaran iblis di hadapannya. Luviana merasa seakan berdiri di ambang sebuah sungai emas yang mengalir dengan gemerlap keindahan.
Tawaran iblis bagaikan aliran emas yang seolah menjanjikan kemenangan, namun, di antara cahaya berkilau dan keindahan emas, terselip kegelapan yang misterius dan resiko yang tidak terlihat.
Keindahan sungai emas mencerminkan godaan kekuatan iblis yang menggiurkan. Namun, Luviana juga menyadari bahwa keindahan itu bersifat menyilaukan, dan emas tersebut tidak hanya berkilauan, tetapi juga dapat membelenggu.
Dia sudah cukup sering melihat manusia-manusia yang tersiksa akan kontrak dengan para iblis, sebagai bayaran dari kekuatan yang mereka dapatkan.
Dengan kata lain, tawaran dari iblis selalu dapat memuaskan siapa pun, namun juga memiliki resiko yang mematikan sebagai bayarannya.
Dalam momen genting ini, Luviana berada dalam pertarungan batin, antara keinginan untuk memperoleh kekuatan dan kesadaran akan risiko besar yang mungkin mengikuti.
Apakah dia akan menyerahkan diri pada kekuatan yang menggoda namun berbahaya, atau memilih bertahan dengan kekuatan yang ada, itulah dilema yang merayap di benaknya di tengah kematian yang semakin mendekat.
Gemuruh langkah dari pasukan pihak lawan terdengar semakin dekat, diikuti sebuah teriakan pembangkit moral mereka dengan keyakinan kemenangan telah mereka genggam.
Suasana di dalam tenda pun lebih mencekam dari sebelumnya. Para bangsawan terus mendesak Luviana untuk segera mengambil keputusan.
Sesaat kemudian, tatapan Luviana berubah menjadi tajam, hatinya telah dipenuhi oleh tekad membara. Dengan penuh keyakinan, ia berkata, "Baiklah, aku terima tawaranmu. Tapi, tolong jangan libatkan siapa pun di kerajaan ini, selain aku."
Keputusan Luviana serentak membuat para bangsawan dan kesatria terkejut. Ini sama saja mereka akan bersekutu dengan iblis untuk meraih kemenangan.
Dalam dunia ini, bersekutu dengan ras kotor seperti iblis atau vampir merupakan perbuatan kotor yang tak bisa diterima oleh siapa pun. Luviana mengerti dengan konsekuensi atas pilihannya, dan dia telah menggambarkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Meski begitu, keputusan Luviana selalu mutlak. Tidak ada yang bisa melawan perintah dari Tuan Putri keras kepala ini. Dia memiliki pemikirannya sendiri yang terkadang sulit untuk dimengerti siapa pun.
Di tengah ketidakpuasan para bangsawan dari keputusan Luviana, Luviana seketika berteriak pada seluruh bangsawan.
"Kalau begitu apakah kalian ingin menyerahkan kerajaan kita pada mereka? Apa kalian ingin keluarga kalian diperlakukan buruk oleh mereka? Tidak ada yang namanya curang di dalam pertempuran! Kalau itu demi melindungi rakyat kita, akan aku lakukan apa pun itu. Tidak peduli nyawaku sebagai taruhannya!"
Luviana tampak berkilauan dengan tekadnya yang tak tergoyahkan. Dia kembali berhasil membuat para bangsawan terdiam dengan keteguhan hatinya untuk melindungi rakyat yang dia cintai. Tidak peduli resiko yang akan dia hadapi, demi kehidupan Brigham, semua akan ia pertaruhkan.
Dengan langkah yang anggun, wanita iblis itu berjalan keluar tenda. Senyuman jahat perlahan terbentuk di wajah dinginnya, dengan bola mata merah menyorot tajam ke pasukan musuh yang baru saja tiba di bukit tempat mereka berada.
"Duduklah dan nikmati karya dari sebuah kehancuran," kata wanita iblis itu dengan suara bergema pada seluruh bangsawan Brigham.
Seperti sekelompok singa yang menemukan mangsanya yang sudah melemah, seluruh pasukan pihak lawan berlari secara bringas dengan persenjataan mereka yang mengkilap, menuju ke tenda untuk meraih kemenangan mereka.
Namun, saat mereka hampir mendekati tenda, tiba-tiba mereka dikejutkan pemandangan aneh yang mengerikan.
Belasan pedang hitam tiba-tiba muncul di sekitar wanita berambut perak ini. Lalu, dengan kecepatan yang sulit dijangkau oleh siapa pun, pedang-pedang itu melesat secara bersamaan, menusuk seluruh pasukan musuh di barisan terdepan.
Pasukan berkuda dan kesatria berpedang yang berjatuhan mempengaruhi pasukan di belakangnya. Mereka saling menabrak satu sama lain, hingga membuat barisan yang masih mencoba menaiki bukit ikut terjatuh bersamaan. Para bangsawan dan Luviana yang menyaksikan aksi wanita iblis ini serentak terkesima dengan penuh kekaguman.
Di daratan luas kaki bukit, pihak lawan saling merasa kebingungan. Mereka cukup terkejut dengan rekan-rekannya yang tiba-tiba terjatuh dengan pedang hitam tertancap kuat di tubuh mereka. Ketika mereka dalam suasana membingungkan, pandangan mereka teralihkan pada wanita berambut perak yang berdiri di ujung bukit.
Mereka mengernyit menatap wanita misterius itu. Beberapa di antaranya langsung mengenali bahwa wanita tersebut bukanlah wanita biasa, melainkan iblis yang telah membunuh rekan-rekan mereka. Namun, tak sedikit juga di antaranya merasa heran, bahwa ada sosok iblis dengan paras cantik yang tak mencirikhaskan sosok iblis pada umumnya.
Di tengah kebingungan melanda, wanita blis itu perlahan menunjuk ke arah barisan pasukan lawan dengan jari telunjuknya. Lalu, dia mengucap sebuah nama sihir.
"Meteorite Rain"
Tiba-tiba, sebuah lingkaran sihir berwarna merah dan hitam tercipta di atas langit dengan ukuran sangat besar hingga sepenuhnya menutup keindanhan langit, diikuti guncangan hebat merambat ke seluruh permukaan tanah, cukup kuat untuk membuat seluruh yang ada di sana terguncang hampir kehilangan keseimbangan. Ketidakpastian menyelimuti batin dan jiwa mereka yang kebingungan dengan kemunculan gempa yang tiba-tiba.
Hingga beberapa detik kemudian, awan-awan putih yang menutup keindahan langit biru seketika terlubangi. Partikel angkasa dengan ukuran sangat besar berjatuhan bagai sebuah hujan batu raksasa dari atas langit, menciptakan fenomena yang tampak indah namun begitu mengerikan.
Seluruh manusia yang menyaksikan fenomena ini tak sanggup untuk bergerak. Rasa takut yang luar biasa telah memeluk erat jiwa-jiwa mereka. Ini pertama kalinya mereka menyaksikan langsung kekuatan dahsyat yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Bola mata Luviana yang melebar tak pernah bisa berpaling dari fenomena langka ini.
Dengan suara yang bergema, wanita iblis itu berkata, "Annihilation."
Dengan kecepatan yang menakjubkan, meteor-meteor itu menghantam bumi dengan kekuatan dahsyat. Detonasi ledakan mereka mengguncang atmosfer, menciptakan ledakan dahsyat menghanguskan apa pun di permukaan tanah.
Ledakan demi ledakan terus bergema dan meluas. Guncangan yang sangat kuat mengikuti irama ledakan yang menggetarkan langit dan bumi. Fenomena ini begitu sangat mengerikan di mata Luviana yang sedang terhuyung karena gema ledakan. Seluruh bangsawan tak kuasa mempercayai apa yang mereka saksikan secara langsung.
Ini hanyalah sebagian kecil pertujukan dari teater kehancuran milik iblis berambut perak ini. Tidak ada perkara yang lebih mudah selain menciptakan kehancuran untuk menghukum makhluk angkuh yang menjijikan. Tidak ada yang menyadari bahwa sosok aslinya adalah iblis terburuk yang paling dibenci entitas surgawi, Eliza La Giga.