Chereads / World Destruction I : Initium Viae / Chapter 4 - 3. IV Annienta & Ketidaklogisan

Chapter 4 - 3. IV Annienta & Ketidaklogisan

Satu minggu setelah pertempuran Eliza melawan makhluk surga berakhir,  Planet Helheim, atau dunia iblis, tengah diselimuti suasana yang penuh dengan suka cita yang mendalam. Tawa riang dan rasa bangga dari seluruh iblis memenuhi udara, menghiasi keindahan malam purnama dalam suatu pesta yang meriah.

Kemenangan Eliza kemarin menjadi sejarah baru yang terukir di dunia iblis, di mana dia berhasil mengakhiri konflik panjang yang selama ini mengintimidasi dunia iblis, dengan sebuah kemenangan telak.

Walaupun belum ada pengakuan langsung dari pihak malaikat atas berakhirnya konflik ini, namun seluruh iblis percaya, bahwa konflik panjang ini telah berakhir sepenuhnya. Mereka merasa sangat yakin tidak akan ada lagi kehancuran yang menyelimuti dunia iblis seperti sebelumnya.

Setelah mengakhiri pertempuran panjangnya itu, akan tetapi Eliza justru tak kunjung kembali ke dunianya. Dia tiba-tiba menghilang setelah melancarkan serangan dahsyat tanpa meninggalkan jejak atau pesan sedikit pun pada para pengikutnya.

Bahkan, kabar kemenangan ini disampaikan oleh Zexia selaku tangan kanannya, yang saat itu menyaksikan pertempuran Eliza seorang diri melawan ribuan malaikat dengan bersembunyi di kegelapan langit angkasa.

Ketidakhadiran Eliza di saat-saat perayaan seperti ini seolah sudah menjadi hal biasa. Di hari biasa pun dia jarang sekali terlihat berada di kastilnya. Ambisi kuat yang terus memandunya ke arah tidak dapat diukur, dia selalu berpergian ke berbagai dunia dalam waktu yang sangat lama.

Saat ini, di sekitar kastil Gehenna milik Eliza, yang berada di tengah ibukota dan pusat dari dunia itu sendiri, para iblis berbondong-bondong berkumpul di sana untuk merayakan pesta kemenangan ini. Mereka berkumpul di satu tempat dengan penuh antusias untuk merayakan kelahiran sejarah baru yang terukir indah.

Jalan-jalan utama dihiasi dengan lentera-lentera berwarna merah darah yang memancarkan cahaya hangat. Musik tradisional dunia iblis menggema di seluruh penjuru kota. Anggur tradisional di dalam gelas-gelas kristal diangkat tinggi, diiringi sorakan dan teriakan penuh semangat menyebut nama Eliza dengan rasa bangga.

Dalam suasana penuh kebahagiaan, para iblis saling bersulang, merayakan kemenangan ini dengan semangat yang tak terbendung. Mereka memberikan rasa syukur pada sang penguasa dunia iblis, Ratu Eliza. Mungkin jika tanpa dirinya, mereka tidak akan bisa lepas dari takdir kejam yang selama ini mengikat nasib mereka sebagai iblis.

Sementara di sisi lain tempat, dalam salah satu ruangan kastil yang megah. Suasana begitu tenang tidak seperti di alun-alun kastil. Di sana, terdapat empat iblis sedang duduk berkumpul. Setiap gerakan mereka penuh dengan keanggunan, dan aura kegelapan yang kental terlihat jelas dalam ekspresi mereka yang khas.

Di tengah mereka, terdapat sebuah meja berbentuk persegi panjang, dihiasi dengan jamuan yang tersusun rapi. Hidangan-hidangan lezat dan anggur tradisional disiapkan dengan sempurna, mencerminkan kehormatan dan kemegahan yang sesuai dengan para tamu istimewa ini.

Keempat iblis tersebut bukanlah sekedar iblis biasa, juga bukan bagian dari Imperal Dominium. Mereka adalah hirearki tertinggi dalam dunia iblis, yang melayani Eliza secara langsung dengan penuh pengabdian. Mereka disebut sebagai IV Annienta, Pilar Iblis Kehancuran.

"Uwah~ mereka sangat menikmati pesta. Aku jadi ingin ke sana...," celetuk iblis kecil berambut violet sambil menatap jendela dengan bola mata berbinar.

Gadis kecil itu memiliki wajah polos yang keimutannya sangat mencolok. Rambut twintail violetnya tampak begitu indah dengan hiasan kecil yang ada di kepalanya. Gadis iblis bertubuh mungil ini bernama Violatte Ludencia, atau dikenal sebagai Catena Dominus.

"Dengan kemenangan yang diraih  Nyonya Eliza, apakah semua ini telah berakhir?" tanya sosok wanita iblis yang selalu memejamkan kedua matanya dengan wajah gelisah.

Sosok wanita berkerudung hitam ini memiliki julukan Sang Maha Pencipta Ilusi. Dia dikenal luas dengan nama panggilan Nameless Illudescent. Entah itu hanya nama asli atau bukan, hanya Eliza yang tahu tentang itu.

Sebagai anggota IV Annienta, Nameless jarang sekali terlihat membuka kedua matanya. Meski begitu, dia dapat melihat hingga merasakan kehadiran seseorang dengan jelas menggunakan kekuatan sihirnya. Nameless merupakan satu-satunya pilar iblis yang unik dengan kekuatan imajiner yang tak mampu dicapai oleh siapa pun.

"Tentu saja! Para makhluk suci sialan itu tidak akan mengusik dunia iblis lagi. Itulah  akibatnya menyentuh Nona Eliza," sahut wanita bergaya glamor dengan nada sombong sambil memutar gelas.

Sosok wanita berambut hitam panjang lurus itu bernama Cally Nihilith. Dia memiliki sifat sombong dan sering kali mengangungkan nama Eliza dengan lantang. Bola mata kuningnya selalu terlihat tajam dengan senyuman mengintimidasi yang menghiasi wajah cantiknya.

Namun, di balik kecantikannya yang alami, Cally Nihilith merupakan sosok yang sangat misterius. Kekuatan yang dia miliki begitu sulit untuk dipahami, dan asal-usulnya sebelum menjadi anggota IV Annienta tidak pernah terungkap, seolah-olah keberadaannya muncul begitu saja ketika menjadi anggota Pilar Iblis ini.

Menurut sedikit informasi yang terungkap, Cally memiliki kemampuan untuk sepenuhnya menghapus keberadaan dan substansi unsur kehidupan. Dengan sekali sentuhan kekuatannya, dia mampu menjadikan suatu yang nyata menjadi tidak pernah ada dalam kehidupan.

"Kukuku...  memang hebat Nona Cally, selalu cepat untuk menyimpulkan sesuatu,"  sindir laki-laki tampan berambut hitam sambil menyilangkan tangan.

Sosok iblis tampan yang selalu terlihat percaya diri itu bernama Diablo Malebolgia, satu keturunan yang sama dengan sahabat lama Eliza, Shion Malebolgia.

Diablo merupakan iblis jenius yang sangat dipercayai oleh Eliza. Kekuatannya yang mengerikan bukan hanya dalam keahilan sihir yang dia miliki, tapi ketajaman otak untuk memanipulasi dalam skala sangat besar.

Wajah Diablo selalu memancarkan rasa percaya diri yang kuat, terlihat jelas di matanya yang hitam pekat dan penuh dengan kecerdasan. Rambut hitamnya yang sedikit berantakan menambah kesan santai namun tetap memikat, seolah dia tidak perlu berusaha keras untuk terlihat menarik.

Di dunia ini, tidak ada yang mampu menandingi kehebatan keempat pilar iblis itu. Mereka memiliki tingkat kekuasaan lebih tinggi dibanding keluarga bangsawan yang selama ini melayani penguasa iblis.

Setiap dari mereka memiliki kekuatan yang tak dapat diukur dalam rangkaian kata. Mereka bukan hanya memegang kendali di dunia iblis, tetapi juga menguasai beberapa dunia yang pernah mereka jelajahi dalam galaksi ini. Semua yang mereka lakukan hanya demi menggapai ambisi terkuat tuan mereka, Eliza.

Suasana di dalam ruangan begitu hangat dengan lantunan merdu biola yang diputar dari kotak alat musik tradisional. Berbagai lukisan sejarah menghiasi setiap sudut ruangan yang megah. Tulisan-tulisan kuno juga ikut menghiasi dinding abu-abu dengan motif hitam dan emas.

Di tengah keheningan yang tenang, tiba-tiba pintu megah di sudut ruangan terbuka secara perlahan, membuat seluruh mata serentak tertuju ke arah pintu tersebut. Lalu, sosok wanita menawan melangkah masuk dengan langkah kaki yang anggun, diikuti sosok wanita bertubuh mungil bertanduk di belakangnya.

Wanita amat memikat hati yang baru saja tiba adalah Lustia La Giga, sosok adik kembar Eliza. Gaun hitam yang dia kenakan semakin membuatnya tampak memesona, serta rambut putihnya begitu indah seperti salju di musim dingin. Setiap langkah kakinya terdengar begitu merdu dari sepasang sepatu kaca mewah yang dia kenakan.

Meski Lustia merupakan adik kembar dari Eliza, namun dia memiliki sejumlah karakteristik yang dapat membedakan keduanya.

Perbedaan di antara keduanya yaitu; Eliza memiliki mata berwarna merah yang menyala seperti bara api, sementara Lustia memiliki mata biru langit  yang cerah seperti langit yang tenang. Rambut Eliza berkilauan dengan  warna perak yang indah, sedangkan rambut Lustia putih bersinar bak salju yang murni.

Selain dari penampilan fisik, perbedaan karakter  mereka juga sangat mencolok. Eliza dikenal dengan kepribadiannya yang kuat, angkuh, dan penuh keberanian. Dia selalu tampil percaya diri dalam  setiap tindakannya dan memiliki semangat yang tak tergoyahkan.

Di sisi lain, Lustia adalah perempuan yang tenang, dingin, dan lembut. Dia memiliki pandangan yang bijaksana, dan selalu bertindak dengan  perhitungan matang.

Sifatnya yang sempurna seperti ini, menjadikan dirinya sebagai Penguasa Iblis Sementara yang terampil ketika Eliza sedang tidak berada di dunia iblis, dan sempat dinobatkan sebagai iblis jenius di masa kecilnya.

Sementara di belakang Lustia, terdapat seorang wanita berpenampilan lembut dengan postur tubuh mungil. Di tengah rambut biru langitnya, terdapat dua tanduk biru sebagai ciri khas sesosok naga, memiliki mata biru laut, dan mengenakan gaun dengan motif sisik berwarna perak. Meski dirinya seperti tidak memiliki ekspresi, pesonanya yang menggemaskan tetap terpancar dari wajahnya.

Sesosok wanita bertubuh mungil itu bernama Zexia La Giga. Dia merupakan bagian dari ras naga kuno yang keberadaan sesamanya telah dinyatakan punah akibat sebuah malapetaka yang belum terjelaskan.

Seiring dengan langkah Lustia dan Zexia yang memasuki ruangan, keempat pilar iblis secara serempak menundukkan kepala sebagai pemberian hormat kepada mereka yang baru saja tiba. Dengan penuh hikmat, keempat pilar iblis tersebut merendahkan diri di hadapan sang Penguasa Iblis Sementara serta tangan kanannya.

"Kerja bagus untuk kalian," sapa Lustia dengan suara yang anggun sambil menarik kursi mewah yang berada di ujung meja.

Keempat pilar iblis secara serentak meresponnya dengan penuh penghormatan yang mendalam, "Kerja bagus untuk Anda juga."

Setelah seluruhnya kembali duduk di kursinya masing-masing, tiba-tiba Violatte menepuk bahu Zexia yang baru saja duduk di sampingnya seolah mereka saling dekat satu sama lain.

"Yahoo~ udah lama kita engga bertemu," sapa Violatte dengan wajah imut. Dia menyapa Zexia seolah seperti ke pada sosok teman dekatnya. Padahal, keduanya memiliki posisi yang jauh berbeda dalam hierarki kekuasaan dunia iblis.

Sikap santai yang ditunjukan Violatte pada Zexia membuat Nameless sedikit terkejut dengan raut wajahnya berubah menjadi tegang. Nameless merasa kalau itu bukanlah sikap yang pantas pada sosok yang harus mereka hormati.

"Vio,  sudah sering ku katakan untuk jaga sikapmu di hadapan Nona Lustia dan Nona Zexia, terutama pada Nyonya Eliza!" tegur Nameless dengan nada yang mendidik.

"Hee ... kenapa? Dia juga engga merasa keberatan, ya kan?" balas Violatte sambil kembali kembali menepuk pundak Zexia.

Di sisi lain, Zexia hanya melirik Violatte dengan ekspresi datar. Dia tidak merasa terganggu oleh sikap sembarangan Violatte terhadapnya, karena Zexia tidak pernah menganggap statusnya lebih tinggi dari keempat pilar iblis tersebut.

Namun, Nameless tak pernah berhenti menegur Violatte tentang etika. Nameless memiliki sikap kaku yang selalu menekankan pentingnya etika terhadap orang yang dia hormati. Meskipun Eliza sebagai tuan mereka tidak pernah memerintahkan untuk memperhatikan etika, Nameless tetap teguh dalam prinsipnya.

Ketika Nameless tengah menggurui Violatte, Lustia hanya tersenyum manis menyaksikan perilaku mereka. Setelah suasana kembali hening, tak lama kemudian Lustia mulai membuka percakapan dengan nada lembut sebagai ciri khasnya.

"Perjuangan demi keberhasilan, pengorbanan demi kemenangan, demi mencapai sebuah  kejayaan, kita telah berhasil melewati takdir kejam yang selama ini mengikat dunia kita. Berbahagialah, wahai kalian para iblis. Kalian telah menciptakan sejarah baru yang melampaui para pendahulu."

Dengan kedua tangan terbuka lebar, Lustia melanjutkan, "Meskipun kemenangan kemarin adalah keberhasilan Eliza, tapi perlu kita ingat bahwa setiap dari kalian memiliki peran yang tak ternilai dalam kejayaan dunia iblis. Kemenangan bukan hanya milik satu individu, melainkan hasil kerja keras dan kekuatan kita bersama."

Lalu, Lustia memandang satu per satu pilar iblis dengan penuh kebanggaan. "Aku tahu beberapa dari kalian mungkin masih merasa berkecil hati karena Eliza lebih memilih berjuang seorang diri di garis depan, dan menarik kembali seluruh pasukan iblis ke dunia ini. Namun, percayalah, bahwa di balik keputusan tersebut, Eliza mempercayakan tugas penting kepada kita, yaitu menjaga dunia iblis dari trik kotor mereka (malaikat)."

"Itu terbukti, mereka yang telah diambang keputusasaan, membagi dua jumlah pasukan mereka untuk menyerang dunia iblis secara diam-diam. Jika tanpa adanya kalian yang melindungi dunia ini, kehancuran dunia ini pasti terjadi. Sebagai perwakilan dari Eliza, aku mengucapkan terima kasih atas perjuangan kalian."

Senyuman manis menutup ucapan pembuka dari Lustia. Empat pilar iblis mendengarkan kata-kata Lustia dengan penuh perhatian. Mereka serempak tersenyum dengan penuh rasa bangga. Bagi mereka, tidak ada suatu kebahagiaan mutlak yang sebanding dengan sebuah pengakuan dari sosok penguasa yang sangat mereka hormati.

Memang benar apa yang Lustia katakan. Kemenangan ini bukan hanya diraih oleh Eliza, tapi juga ada peran mereka yang ikut andil dalam menulis sejarah baru ini.

Sebenarnya, alasan Eliza yang bertempur seorang diri melawan malaikat dalam Ecliptic War, bukan karena tidak ada satu pun iblis yang ingin membantunya dalam pertempuran tersebut. Mereka justru sangat mencemaskan keselamatan Eliza. Hanya saja, Eliza memilih bertempur seorang diri dan menolak bantuan dari para pengikutnya, termasuk IV Annienta.

Mari kita sedikit kilas balik mengingat kejadian itu.

Saat itu, di sebuah planet asing ketika pertempuran melawan malaikat masih berlangsung, awalnya seluruh pasukan iblis termasuk IV Annienta, dikerahkan untuk melindungi Eliza dari incaran malaikat di mana pun dia berada.

Namun, pada suatu hari saat mereka sedang menyusun kembali strategi pertempuran, Eliza merasakan sesuatu yang janggal baik dari pola pertempuran yang dilakukan para malaikat, maupun jumlah malaikat yang mereka hadapi seolah terus berkurang dengan misterius.

Eliza termenung dalam beberapa saat, mengamati setiap detail yang mungkin sempat terlewati. Hingga dia mulai menyadari sesuatu yang tersembunyi di balik kejanggalan tersebut yang membuatnya merasa cemas.

Tanpa berpikir panjang, lantas Eliza segera memerintahkan seluruh iblis untuk kembali ke dunia iblis, dan menolak satu pun dari mereka untuk ikut bertempur bersamanya di planet asing ini.

Tentu saja keputusan Eliza ini langsung ditolak mentah-mentah oleh seluruh iblis yang ada di sana, terutama para anggota IV Annienta yang bersikeras menentang hal itu. Mengingat nyawa Eliza sedang terancam dengan bahaya yang mengerikan, mereka berpegang teguh untuk melindungi Eliza dengan berbagai cara.

Namun, Eliza yang memiliki sifat dingin dan angkuh, dia hanya menegaskan dengan ekspresi dinginnya, "Kalian hanya akan membebaniku. Kembalilah, aku tidak menerima satu pun penolakan."

Ucapan Eliza yang dingin itu serentak membuat seluruh iblis terdiam. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani menentang kembali kepetusan tersebut. Dengan berat hati dan perasaan campur aduk, mereka terpaksa kembali ke dunia iblis, dan meninggalkan Eliza seorang diri menghadapi ribuan malaikat di planet asing.

Tak lama mereka kembali ke dunia iblis, pada akhirnya kejanggalan yang Eliza rasakan terjawab dalam waktu singkat. Tanpa diduga, para malaikat tiba-tiba datang menyerang dunia iblis tanpa sebuah peringatan dengan membagi dua jumlah pasukan mereka.

Mungkin, malaikat-malaikat itu berpikir jika ini adalah kesempatan emas untuk menghancurkan dunia iblis, karena mengira pelindung dunia tersebut tengah berada di medan pertempuran untuk melindung Eliza.

Padahal, kenyataannya jauh berbeda dari yang mereka bayangkan. Seluruh iblis telah kembali ke dunianya tanpa mereka duga, seolah menanti kedatangan mereka.

Seandainya Eliza tidak menyadari kejanggalan tersebut, dunia iblis dapat dipastikan hancur tak tersisa sebab seluruh iblis berkemampuan hebat tengah berada di planet asing bersamanya.

Itu adalah sedikit kilas balik yang tengah digambarkan oleh Lustia sebelumnya, alasan di balik perjuangan Eliza seorang diri melawan malaikat 100 tahun lamanya dalam pertempuran Ecliptic War.

Saat ini, di tengah suasana gembira setelah mendapatkan pengakuan dari Lustia, Diablo menunduk dengan rasa hormat sebagai responnya.

"Kami merasa tersanjung, Nona Lustia. Sudah menjadi kewajiban kami untuk menjawab  harapan Yang Mulia Eliza," tutur Diablo dengan suara yang penuh kehormatan.

"Tapi..." Diablo melanjutkan sambil menatap meja dengan tatapan serius. "Kita tidak boleh terlena dengan kemenangan ini.  Pengetahuan makhluk suci tidak dapat dipahami secara rasional. Tidak menutup kemungkinan akhir dari sebuah takdir adalah awal dari takdir yang baru."

Setelah mendengar ucapan Diablo, Cally justru tertawa sombong dan ikut bersuara, "Diablo, jangan bicara omong kosong di saat seperti ini. Mereka itu makhluk yang pintar, tidak mungkin mereka bertindak bodoh dengan  menantang kembali dunia iblis setelah mengetahui kekuatan Nona Eliza."

Sikap sombong Cally membuat Lustia tertawa kecil. Lalu, dia menatap Diablo dengan penuh arti, seolah-olah dirinya dapat memahami isi pikiran Diablo.

"Nona Cally, sepertinya yang sedang berbicara omong kosong itu Anda," sangkal Diablo sambil menyilangkan tangan. "Apa Anda lupa jika tindakan malaikat selama ini pada kita atas kehendak 11 Dewa Dewi Surgawi?"

"Lalu?" tanya Cally kembali dengan lirikan tajam.

Dengan penuh rasa percaya diri, Diablo bangkit berdiri sambil sedikit menggerakan jari. Kemudian, tiba-tiba papan catur beserta bidaknya yang lengkap muncul di atas meja. Tampaknya dia berniat menjelaskan sudut pandangnya dengan sebuah permainan catur.

Di mata Diablo, dia menganggap konflik iblis selama ini dengan makhluk surga seperti permainan catur yang kompleks. Mari kita anggap dunia iblis sebagai bidak raja, dan Raja Iblis terdahulu adalah bidak ratu (ster). 

Di pihak lawan, malaikat sebagai pion dan archangel sebagai bidak penting seperti benteng, kuda, dan gajah, sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Untuk Dewa, sebagai entitas penguasa alam semesta, Diablo  anggap sebagai Pemain yang memegang bidak catur putih.

Dahulu kala, saat era Raja Iblis Achnologia berkuasa, dunia iblis mengalami skak (check) tak terhitung jumlahnya. Dalam metafora catur Diablo, pion-pion berharga iblis menjadi sasaran empuk, dan dunia iblis hampir mengalami skakmat (checkmate) berulang kali.

Menurut analisa Diablo, mereka sang pemain bisa saja mengakhiri permainan hanya dengan pion putih dalam waktu cepat dengan kemenangan telak. Namun sayangnya, mereka seolah begitu sombong karena lebih memilih menghabisi pion-pion hitam dengan pion kecil mereka, tanpa berniat untuk mengakhiri permainan seperti tidak ada keseriusan dalam bermain.

Hingga di suatu saat kemudian, mereka mulai memainkan bidak penting seperti benteng, kuda, dan gajah. Akan tetapi, tetap saja mereka tak kunjung memiliki niat untuk mengakhiri permainan, hanya menciptakan tragedi yang hampir menghabisi seluruh bidak iblis kala itu.

Seperti yang dikatakan Diablo sebelumnya, "Pengetahuan suci tidak dapat dipahami secara rasional". Dia tidak menemukan alasan di balik para dewa dalam ketidakseriusan mereka untuk mengakhiri permainan catur ini.

Apakah mereka hanya ingin bermain-main saja? Atau ada alasan lain di balik itu semua? Tidak ada yang tau pasti, sebab tak ada yang mengerti pemikiran entitas kosmik yang tingkatannya jauh di atas makhluk kecil seperti iblis.

Tragedi yang diciptakan oleh bidak penting mereka kala itu sangat merugikan pihak iblis, terutama para bangsawan iblis yang dianggap sebagai bidak hitam penting, mereka habisi satu per satu, hanya menyisakan ster dan pion sebagai benteng pertahanan raja. Tragedi ini juga yang menelan korban sahabat terbaik Eliza kala itu, Shion Malebolgia.

Namun, di tengah kekalahan iblis yang hampir telah dipastikan, tanpa mereka sadari ada satu pion hitam yang berhasil sampai ke baris terakhir bidak mereka.

Dalam permainan catur,  pion yang mencapai baris akhir bidak lawan akan berubah menjadi bidak  yang telah mati. Pihak surga mungkin mengira bahwa pion tersebut akan berubah menjadi benteng, kuda, atau gajah yang tidak akan memiliki pengaruh besar terhadap dunia iblis.

Padahal, tanpa mereka duga, pion itu justru berubah menjadi ster yang lebih agresif dari sebelumnya: Eliza. Kebangkitannya memberikan sedikit perlawanan, dan sebagai ster, Eliza berhasil mengawal pion-pion lain untuk berubah menjadi bidak di atasnya, seperti IV Annienta sebagai benteng.

Dunia iblis yang kehilangan banyak bidak pentingnya mendapatkan kembali kekuatan luar biasa berkat satu pion yang berhasil berevolusi. Hal ini menciptakan bidak baru sebagai pasukan perlawanan bidak hitam.

Setelah sekian lama permainan ini berlangsung, pada akhirnya pihak iblis memberikan skak untuk pertama kalinya terhadap makhluk surga, yaitu saat kemenangan Eliza kemarin.

Memang, dapat memberikan skak untuk pertama kalinya adalah sebuah kemajuan yang luar biasa. Namun, perlu diingat kembali jika kemenangan kemarin hanya sekedar skak yang diberikan Eliza, bukan skakmat (checkmate).

Bagi Diablo, skak bukanlah akhir, melainkan awal dari permainan baru. Pemain arogan yang mendapatkan skak untuk pertama kalinya akan merasa terkejut, dan memiliki kemungkinan tinggi untuk melanjutkan permainan secara serius.

Dalam metafora catur, dunia iblis hanyalah bidak catur yang bergerak dengan sendirinya, tanpa pemain yang menggerakkan mereka. Sebagai bidak, sangat sulit memberikan  skakmat pada lawan yang memiliki pemain di baliknya.

Setelah Diablo menjelaskan dengan penuh  keyakinan, seluruh rekan sesama pilar iblisnya merasa tertegun terhadap  cara pandang Diablo.

Di saat-saat sebagian besar iblis berpuas diri  dengan kemenangan kemarin, pria tampan yang selalu tampil percaya diri ini justru menggunakan permainan catur sebagai metaforanya. Baginya, apa yang terjadi kemarin bukan hanya sekedar kemenangan, melainkan sebuah ancaman untuk tahap selanjutnya.

Namun, bukan berarti ia tidak merasa bangga  terhadap sejarah baru yang berhasil mereka ukir di dunia iblis.

Sekali lagi, pengetahuan suci tidak dapat dipahami secara rasional, secara garis besar Diablo mengisyaratkan bahwa apa pun bisa saja akan terjadi tanpa mereka ketahui seperti apa dan bagaimana caranya. Baginya, terlena pada satu keberhasilan yang fana adalah suatu kecerobohan yang akan berakibat fatal.

Karena itu, dia merasa alangkah baiknya mereka tetap waspada, serta menghindari sikap berpuas diri terhadap sebuah pencapaian ini.

Sementara yang lain masih tertegun dengan tatapan kagum, Lustia tertawa anggun memecah suasana. Raut wajahnya mencerminkan sebuah kepuasan terhadap sudut pandang Diablo.

"Sesuai yang diharapkan dari sosok jenius sepertimu. Diablo, pemikiranmu itu selalu membuatku kagum," puji Lustia sambil tepuk tangan.

Saat dia mendapat pujian, Diablo menanggapi dengan penuh rendah hati dan kelembutan, "Ah, tidak, Nona Lustia. Saya belum cukup pantas untuk menerima pujian itu. Masih banyak hal yang perlu saya perbaiki dan  kembangkan."

Itu adalah jawaban biasa dari sosok Diablo yang memiliki sifat merendah. Diablo dikenal iblis jenius yang seringkali mendalangi segala kehancuran dari balik layar. Kekuatan utamanya bukan dalam sihir atau fisik, melainkan ketajaman otaknya.

Kecerdasannya dalam menganalisa serta memiliki insting tajam di luar kemampuan  makhluk biasa, terkadang Diablo menjadi tempat Lustia untuk bertukar pikiran demi kepentingan dunia iblis, terutama untuk meraih ambisi Eliza.

"Tapi, apa kamu yakin bahwa tidak ada pemain yang menggerakan bidak hitam dalam metafora caturmu?" tanya Lustia sambil menatap Diablo dalam-dalam.

Diablo menatap papan catur secara seksama. Berbeda dengan tiga rekannya yang hanya memandang satu sama lain karena kebingungan, Diablo tampak berpikir keras menghubungkan semua akar yang terjadi selama konflik berlangsung. Baik itu saat kekalahan iblis, maupun kemajuan iblis dalam memberikan perlawanan, pikirannya bekerja lebih cepat untuk memberikan jawaban pada Lustia.

Hingga beberapa saat kemudian, Diablo tak kunjung menemukan jawaban pasti. Lantas ia menggelengkan kepala secara tak yakin.

"Lalu, bagaimana dengan kemenangan Eliza kemarin? Apa menurutmu itu bukan suatu kebetulan?" sambung Lustia seolah menciptakan teka-teki baru.

Diablo kembali berpikir, ketiga rekannya masih bereaksi tak mengerti dengan ucapan Lustia. Selama ini yang mereka tau, kekuatan Eliza jauh sangat kuat hingga melampui makhluk fana lainnya. Berspekulasi bahwa itu adalah hasil dari kekuatan sejatinya memang hal wajar. Namun, sepertinya Lustia tidak berpikir demikian.

Sementara yang lain masih merasa bingung, Lustia kembali memberikan petunjuk lain.

"Memang benar, Eliza memiliki kekuatan di luar akal sehat. Mana yang ia miliki jauh dari kata wajar. Tapi, apa mungkin makhluk kecil sepertinya dapat melakukan sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh makhluk kosmik? Perbandingan eksistensi kita dengan Mereka pun berbeda sangat jauh, tak bisa dibandingkan dalam segi apa pun."

"Mengira bahwa itu adalah murni kekuatan Eliza tidaklah buruk. Namun, coba kita perhatikan secara logika: Seekor gajah dapat memindahkan batang pohon dengan belalainya, tapi itu mustahil bagi seekor kucing. Sama halnya dengan fenomena kemarin. Sekuat apa pun Eliza, bagiku ... fenomena kemarin sangat bertentangan dengan logika dan batasan."

Sambil menatap bulan purnama, Lustia kembali melanjutkan. "Makhluk kecil seperti kita memiliki batasannya tersendiri, itu adalah hukum yang telah ditetapkan saat penciptaan. Bahkan, ketidaklogisan juga ada batasnya. Jadi, apa kalian mengerti apa maksudku?"

Teka-teki Lustia membuat suasana dalam ruangan hening, hanya terdengar suara Zexia yang sedang menguyah makanan di meja seolah tak peduli dengan perbincangan ini. Keempat pilar iblis memandang satu sama lain dalam kebingungan yang sama.

Jika berbicara mengenai logika, dalam alam semesta ini, adanya konsep sihir justru bertentangan dengan logika. Sihir dapat menciptakan, merusak, mempermudah, dan membunuh dengan mudahnya. Hal-hal yang dapat dilakukan dengan sihir terkadang sangat sulit dijelaskan.

Besar kecilnya sesuatu yang diciptakan oleh sihir, semua itu tergantung seberasa besar kekuatan yang dimiliki sang pengguna. Namun, perlu diingat bahwa segala hal memiliki batasannya tersendiri, termasuk ketidaklogisan atau pun kemampuan yang dimiliki makhluk hidup.

Hal ini berkaitan dengan fenomena yang menjadi akhir dari pertempuran kemarin. Lustia ingin mengisyaratkan jika fenomena dahsyat yang Eliza ciptakan kemarin dalam mengendalikan bulan, baginya sangat melampaui batasan ketidaklogisan.

Makhluk kecil seperti Eliza, meski memiliki kekuatan sihir yang luar biasa, tetap dibatasi oleh hukum alam, yang seharusnya tidak pernah bisa mencapai skala kosmik dalam tingkat yang sangat jauh.

Meskipun Eliza memiliki kemampuan menciptakan hujan meteor, namun fenomena dirinya dapat mengendalikan keberadaan bulan adalah dua hal yang sama sekali jauh berbeda—Mengendalikan bulan melampaui sekadar memanipulasi serpihan-serpihan ruang angkasa yang lebih kecil.

Di alam semesta ini, segala sesuatu mengenai tingkat kosmik, seperti mengendalikan planet dan bintang, hanya dapat dilakukan oleh entitas kosmik atau disebut sebagai dewa. Hanya dewa yang memiliki otoritas dan kemampuan untuk mengendalikan elemen-elemen raksasa di alam semesta, yang berada di luar jangkauan kemampuan makhluk lebih kecil.

Sementara yang lain masih terdiam berpikir, Cally bergumam memecah keheningan dengan suara yang sedikit terdengar ragu, "Kekuatan Nona Eliza setara dengan para dewa?"

"Tidak," sangkal Diablo secara tegas. "Itu mustahil jika melihat batasan yang menjadi hukum alam semesta ini. Aku baru saja menyadarinya. Berarti ... apa Anda sedang berpikir bahwa kemenangan Yang Mulia Eliza kemarin adalah hasil campur tangan dewa?"

Lustia seketika menjetikan jari dengan wajah yang gembira, seperti seorang guru yang mendengar jawaban tepat dari muridnya mengenai pertanyaan yang ia berikan.

Sikapnya itu membuat para pilar iblis seolah tak percaya maksud dari Lustia. Secara serempak mereka menanyakan alasan yang mendasari pandangan Lustia terhadap kejadian kemarin.

Dengan penuh ketenangan, Lustia mulai menjelaskan isi pikirannya, "Lagi dan lagi kita harus berbicara tentang logika. Ya, secara garis besar tidak ada alasan khusus di balik sosok dewa yang membantu Eliza dalam meraih kemenangan kemarin. Hal ini sangat bertentangan dengan keinginan mereka untuk melenyapkan ras iblis spesial seperti kita. Tapi, menurutku ... tidak menutup kemungkinan jika ada salah satu dewa yang berkhianat."

"Maksud Anda, apa itu..." sela Diablo di tengah penjelasan Lustia, seolah ia dapat menebak arah tujuan ucapan Lustia.

"Ya ... Lunatic sang Dewi Bulan." jawab Lustia membenarkan. "Dari kitab suci yang aku pelajari, Lunatic memiliki wujud humanoid yang cantik. Sifatnya begitu periang dan ramah terhadap siapapun. Ia juga dikenal sangat menyayangi makhluk kecil, terutama manusia."

"Awalnya, aku merasa mustahil jika dewi yang baik sepertinya, malah bertindak sebaliknya dengan membantu iblis seperti Eliza yang mereka kejar. Tapi, sesuai apa yang kamu katakan, Diablo, mereka memiliki pengetahuan yang tidak dapat dipahami secara rasional."

Lustia kembali melanjutkan, "Sampai saat ini, aku belum menemukan alasan di balik intervensinya dalam kejadian kemarin. Aku tidak menemukan keuntungan, atau pun tujuan Lunatic yang membantu pergerakan ster untuk menciptakan skak dalam metafora catur Diablo. Memang berat rasanya, tapi harus kita akui bahwa ada peran dewa dalam kemenangan ini. Sebab hanya ini jawaban yang bisa kita sebut masuk akal, walau kita belum menemukan alasan yang pasti."

Secara garis besar, itu hanya sekedar asumsi Lustia mengenai kemenangan Eliza kemarin. Setiap iblis memiliki kebebasan untuk mengikuti asumsi Lustia, atau mengabaikannya.

Memang, asumsi tanpa dasar bagai omong kosong tak berarti. Tapi setidaknya, asumsi tersebut dia ciptakan karena ada suatu kejanggalan yang bertentangan dengan logika.

Sebagai iblis jenius yang menempati kursi penguasa iblis ketika Eliza bepergian, Lustia tidaklah naif tanpa memikirkan banyak hal. Dia selalu menganalisa setiap kejadian, tanpa mengabaikan hal kecil yang sekiranya berpotensi merepotkan dunia iblis di kemudian hari.

Kecerdasan dan kebijaksanaannya selalu berhasil mengarahkan dunia iblis menjadi lebih baik. Dia adalah penasehat Eliza yang sering kali membantu Eliza dalam memecahkan teka-teki.

"Aku tidak terlalu mengerti, tapi bukankah itu hal baik?" sahut Nameless sambil menyentuh dagu. "Ini sama saja memberikan fakta bahwa ada dewa yang berpihak dengan kita."

Tak lama kemudian, Diablo kembali ikut bersuara yang sedikit terdengar adanya keraguan, "Jadi, apa kita bisa menganggap dewi tersebut berada di pihak kita? Saya merasa ragu jika dewi tersebut memainkan bidak hitam ke arah yang buruk."

Pertanyaan beruntun yang diberikan Diablo dan Nameless membuat Lustia tersenyum. Mungkin dia sudah menduga jika mereka akan bertanya seperti itu. Tanpa berpikir panjang, Lustia kembali menjelaskan dengan begitu tenang.

"Aku tidak memaksa kalian untuk mengikuti asumsiku. Tapi, setidaknya kalian bisa mewaspadai hal yang akan terjadi selanjutnya. Apakah takdir akan memberikan jawaban untuk kita? Atau sosok dewi itu hanyalah pencinta suatu drama yang tidak ingin drama konflik ini selesai begitu saja? Tidak ada yang tahu pasti. Tidak ada salahnya kita memiliki banyak asumsi demi memilih suatu jalan."

Sejenak, keempat pilar iblis menatap satu sama lain. Mereka saling mengangguk secara bergantian seolah satu pemahaman. Memang berat rasanya, tapi mereka mencoba untuk mengikuti asumsi Lustia.

"Baiklah, kami mengerti," kata Nameless sambil mengehela nafas.

"Kalau Nona Lustia yang sudah berpikir begitu, sudah pasti itu benar!" Suara Cally terdengar begitu dengan dada dibusungkan.

Sementara Violatte hanya mengangguk dengan wajah polosnya, seolah pura-pura mengerti. Lalu di sisinya, Zexia tengah membersihkan mulutnya dengan tisu dari sisa makanan.

Senyuman manis terukir dari wajah cantik Lustia, bola mata birunya menatap keempat pilar iblis dengan penuh rasa bangga. Dia merasa senang sebab mereka sangat mudah mengerti dengan apa yang dia pikiran, walaupun apa yang dia katakan sebelumnya hanya sebatas asumsi pribadinya.

Tujuan berkumpulnya para pemegang kendali dunia iblis hari ini, Lustia bukan hanya ingin memberikan tugas baru pada mereka, tapi juga ingin mengingatkan pada mereka bahwa sosok yang mereka hadapi bukanlah sebatas makhluk kecil yang setara dengan mereka, melainkan jejeran para makhluk yang melampaui pemahaman akal fana.

Oleh karena itu, Lustia mengisyaratkan pada mereka untuk lebih berhati-hati dengan langkah mereka selanjutnya. Mengingat kemenangan yang diraih Eliza kemarin terdapat sebuah kejanggalan—walaupun ini hanya sebatas asumsi pribadinya—namun, tidak menutup kemungkinan segala hal dapat terjadi tanpa diketahui kapan dan bagaimana bentuknya.

Apalagi, tujuan terbentuknya IV Annienta, Kelompok Pilar Iblis, selain untuk melindungi dunia iblis dari intimidasi ilahi, mereka juga berperan sebagai pengumpul pecahan teka-teki atas kebenaran yang selama ini Eliza cari.

Alih-alih mereka ditugaskan untuk menguasai planet lain, semua itu hanya bagian langkah kecil mereka untuk memenuhi ambisi tuan mereka, Eliza. Berkelana di planet asing sudah menjadi keseharian mereka selama ini.

Jika setiap orang bertanya kebenaran dan petunjuk seperti apa yang mereka cari, hingga menjadi ambisi terbesar Eliza, maka ada satu kalimat yang bisa dijadikan jawaban saat ini: waktu akan menjawab semua pertanyaan asal kamu tetap mengikuti alur takdir ini.