Matahari pagi memancar lemah di atas cakrawala ketika Akarian dan Sifer memulai perjalanan mereka menuju Lembah Duka. Jalan setapak yang mereka ikuti menembus hutan lebat yang semakin terasa tidak bersahabat seiring mereka melangkah lebih jauh ke utara. Angin dingin yang bertiup dari arah pegunungan membawa serta kabut tebal, mengaburkan pandangan dan menambah suasana mencekam yang menyelimuti mereka.
Akarian terus memegang Penumbra dengan erat di pinggangnya. Meskipun ia merasakan kekuatan luar biasa dari pedang itu, ada kekhawatiran yang tidak bisa ia singkirkan—kekuatan itu datang dengan harga yang mahal, dan setiap kali ia menggunakannya, ia merasa seolah kehilangan sebagian dari dirinya sendiri. Namun, ia tahu bahwa pedang itu akan sangat penting dalam perjalanan ini.
"Kau tampak gelisah," kata Sifer, memecah keheningan yang sudah berlangsung lama.
Akarian menatap pria tua itu, matanya penuh dengan kegelisahan. "Aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang akan terjadi jika kita gagal. Jika peta yang kita cari benar-benar menunjukkan jalan untuk menghentikan kegelapan, bagaimana jika kita tidak bisa menemukannya tepat waktu? Bagaimana jika takdir yang kulihat dalam penglihatan itu menjadi kenyataan?"
Sifer menatap lurus ke depan, wajahnya tanpa ekspresi. "Takdir tidak selalu pasti, Akarian. Setiap pilihan yang kita buat, setiap tindakan yang kita ambil, semuanya memengaruhi masa depan. Penglihatanmu hanyalah satu kemungkinan dari banyak yang mungkin terjadi. Tapi ingat, semakin kau terfokus pada ketakutan akan kegagalan, semakin besar kekuatan kegelapan di dalam dirimu."
Akarian terdiam. Kata-kata Sifer masuk akal, tetapi itu tidak membuat rasa takut di dalam dirinya hilang. Setiap kali ia memikirkan kehancuran yang ia lihat dalam penglihatan itu, dadanya terasa sesak, seolah-olah waktu sedang berlari cepat menuju malapetaka. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan ketakutan menguasai dirinya.
"Kita harus terus bergerak," Sifer melanjutkan dengan suara yang lebih rendah. "Lembah Bayangan ada di depan. Itu adalah pintu gerbang menuju Lembah Duka, dan tempat di mana banyak orang hilang selamanya."
Akarian mengangguk, melangkah lebih cepat mengikuti Sifer. Lembah Bayangan terkenal sebagai tempat yang penuh dengan kekuatan gaib, tempat di mana bayangan hidup dan memburu mereka yang berani masuk. Bahkan para pejuang dan penyihir terkuat sering kali menghilang tanpa jejak setelah memasuki lembah itu.
Kabut yang semakin tebal membuat Akarian merasa seolah-olah mereka berjalan di dunia lain. Setiap langkah yang mereka ambil terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang menahan mereka. Suara angin yang sebelumnya terdengar tenang kini berubah menjadi bisikan-bisikan aneh yang seolah-olah berusaha memanggil mereka.
"Kita sudah dekat," kata Sifer dengan nada rendah, matanya memandang lurus ke depan. "Di balik bukit itu, kita akan memasuki Lembah Bayangan."
Mereka mendaki sebuah bukit kecil, dan ketika mereka mencapai puncaknya, pemandangan di depan mereka membuat Akarian terdiam. Di bawah mereka terbentang lembah yang dipenuhi dengan kabut hitam tebal yang bergerak seolah-olah hidup. Pohon-pohon di sekitarnya terlihat seperti bayangan yang melintir, dengan dahan-dahan yang menggantung seperti tangan-tangan hantu. Suasana di lembah itu terasa begitu dingin dan menindas, seolah-olah seluruh tempat itu dipenuhi dengan energi kegelapan yang tidak terlihat.
"Kita harus berhati-hati," Sifer memperingatkan. "Bayangan di tempat ini bukan sekadar ilusi. Mereka akan mencoba untuk menjebak kita, membuat kita tersesat, dan bahkan mungkin menelan kita jika kita terlalu lama di sini."
Akarian mengangguk tanpa berkata apa-apa. Jantungnya berdegup kencang, dan meskipun ia telah menghadapi banyak bahaya sebelumnya, lembah ini membuatnya merasa tidak nyaman. Setiap langkah terasa penuh risiko, dan udara di sekitar mereka semakin terasa dingin dan menindas.
Mereka mulai menuruni bukit, memasuki kabut tebal yang menutupi dasar lembah. Akarian merasa seperti sedang berjalan di dalam mimpi buruk—segala sesuatu di sekelilingnya terasa kabur, seolah-olah batas antara kenyataan dan ilusi mulai kabur. Setiap bayangan yang mereka lewati tampak bergerak di sudut matanya, meskipun ketika ia menoleh, tidak ada apa pun di sana.
Ketika mereka berjalan lebih jauh ke dalam lembah, bisikan-bisikan mulai terdengar lebih jelas di telinga Akarian. Bisikan itu seolah-olah berbicara langsung ke dalam pikirannya, memanggil namanya dengan nada yang memikat namun menakutkan. Dia berusaha mengabaikannya, tetapi semakin ia berusaha, semakin kuat suara-suara itu terdengar.
"Jangan dengarkan mereka," kata Sifer dengan nada tajam. "Itu adalah bayangan yang mencoba memanipulasimu. Jika kau membiarkan mereka masuk ke dalam pikiranmu, mereka akan menguasai kesadaranmu."
Akarian berusaha memusatkan pikirannya, berfokus pada langkah-langkahnya dan suara kaki mereka yang berderap di atas tanah lembab. Namun, setiap langkah terasa semakin berat, dan ia merasakan kekuatan yang aneh menariknya semakin dalam ke dalam kabut.
Tiba-tiba, dari arah samping, muncul sosok bayangan yang bergerak cepat ke arah mereka. Akarian menghunus Penumbra dengan cepat, siap untuk melindungi dirinya dan Sifer. Bayangan itu tampak seperti makhluk besar tanpa bentuk yang pasti, dengan mata merah menyala yang bersinar di tengah kegelapan. Ia menggeram dengan suara rendah yang membuat bulu kuduk Akarian berdiri.
Sifer segera bergerak, tongkatnya berkilauan dengan cahaya magis. "Mundur, makhluk bayangan!" seru Sifer, meluncurkan gelombang energi magis yang langsung menghantam makhluk itu. Bayangan itu terlempar ke belakang, tetapi tidak hancur. Ia kembali mengerang, mencoba mendekat lagi, tetapi Penumbra bersinar dengan cahaya hitam yang tajam, membuat makhluk itu ragu untuk menyerang.
"Bayangan ini tidak akan berhenti," kata Sifer dengan nada tegang. "Kita harus keluar dari lembah ini secepat mungkin."
Akarian mengangguk, dan mereka mulai berlari melewati lembah, menghindari makhluk-makhluk bayangan yang terus bermunculan di sekitar mereka. Setiap kali salah satu dari mereka mendekat, Akarian menggunakan Penumbra untuk menghalau serangan mereka, tetapi ia merasakan kekuatannya semakin terkuras setiap kali ia melakukannya. Pedang itu, meskipun memberinya kekuatan luar biasa, juga mengambil lebih banyak energi darinya.
Mereka terus berlari tanpa henti, melewati kabut yang semakin pekat. Namun, ketika mereka hampir mencapai ujung lembah, sesuatu yang lebih besar muncul di hadapan mereka. Dari dalam kabut tebal, sesosok bayangan raksasa muncul, dengan tubuh yang tampak terbuat dari kegelapan murni. Sosok itu memiliki dua mata besar yang bersinar merah, menatap mereka dengan penuh kebencian.
Akarian merasakan jantungnya berhenti sejenak. Bayangan itu bukan sekadar makhluk biasa—ia adalah manifestasi kegelapan yang jauh lebih kuat daripada apa pun yang pernah ia hadapi. Sifer juga tampak terkejut, meskipun ia berusaha tetap tenang.
"Kita harus melawannya," kata Sifer dengan tegas, mengangkat tongkatnya yang mulai bersinar terang. "Makhluk ini adalah penjaga dari Lembah Bayangan. Jika kita tidak bisa mengalahkannya, kita tidak akan pernah sampai ke Lembah Duka."
Akarian mengangguk, meskipun ia tahu ini akan menjadi pertarungan yang berat. Dengan Penumbra di tangannya, ia melangkah maju, bersiap untuk menghadapi makhluk bayangan itu.
Dan saat bayangan raksasa itu melangkah maju, kegelapan semakin menyelimuti lembah. Pertarungan besar ini akan menentukan apakah mereka dapat melanjutkan perjalanan, atau terjebak selamanya di bawah kekuasaan bayangan.