Setelah berhasil melewati Lembah Bayangan, Akarian dan Sifer melanjutkan perjalanan mereka menuju Lembah Duka. Udara terasa lebih berat, seolah-olah setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke pusat kegelapan. Langit di atas mereka tampak tertutup oleh awan hitam yang menggantung rendah, menambah rasa suram yang menyelimuti perjalanan mereka.
Sifer, yang berjalan di depan, terus memperhatikan jalan setapak yang semakin sempit. "Lembah Duka sudah dekat," katanya dengan suara yang hampir tidak terdengar, seperti bisikan yang disampaikan oleh angin. "Peta takdir yang kita cari ada di dalamnya, tetapi jangan lengah. Tempat ini adalah rumah bagi kekuatan yang sangat tua, lebih tua daripada kerajaan mana pun yang pernah ada di dunia."
Akarian menggenggam Penumbra erat-erat. Meskipun ia tahu bahwa senjata ini bisa membantunya melawan ancaman, ia juga tidak bisa mengabaikan rasa takut yang semakin dalam setiap kali ia menggunakannya. Kekuatan pedang itu semakin besar, tetapi begitu pula risikonya. Setiap kali ia mengayunkannya, Akarian merasakan sesuatu dari dalam dirinya hilang sedikit demi sedikit.
"Kita harus bergerak cepat," lanjut Sifer. "Mereka yang menjaga Lembah Duka akan tahu kita mendekat."
Mereka terus berjalan, dan akhirnya, di depan mereka muncul pemandangan yang membuat Akarian terdiam sejenak. Lembah Duka terhampar di depan mereka, dibatasi oleh dua tebing batu yang tinggi dan gelap. Di tengah kedua tebing itu terdapat sebuah gerbang raksasa yang terbuat dari logam hitam, tertutup rapat dan tampak seperti belum pernah dibuka selama berabad-abad. Gerbang itu dipenuhi dengan ukiran-ukiran kuno yang rumit, dan di tengahnya terdapat lambang yang bersinar samar---lambang yang sama dengan yang tergantung di leher Sifer.
"Gerbang ini hanya bisa dibuka dengan kunci yang kau pegang," kata Akarian, matanya tertuju pada kalung di leher Sifer.
Sifer mengangguk dan mendekati gerbang, tangannya terangkat memegang batu biru yang menggantung di kalungnya. Cahaya dari batu itu semakin terang, dan ukiran-ukiran di gerbang mulai bersinar, merespons energi magis dari kunci tersebut. Perlahan, suara logam tua yang berderit memenuhi udara, dan gerbang itu mulai terbuka.
Saat celah di antara gerbang semakin lebar, aroma dingin yang menyeramkan keluar dari dalam lembah, menyelimuti mereka dengan rasa ketakutan yang menusuk tulang. Di balik gerbang itu tampak jalan gelap yang membentang menuju jantung Lembah Duka---tempat di mana peta takdir tersembunyi.
"Kita harus hati-hati," kata Sifer pelan. "Tempat ini penuh dengan jebakan magis yang bisa membunuh kita dalam sekejap jika kita ceroboh."
Mereka melangkah masuk, dan seketika, suasana di dalam lembah terasa berbeda. Udara di sekeliling mereka begitu dingin dan berat, seolah-olah seluruh tempat itu dipenuhi oleh kegelapan yang hidup. Di atas mereka, awan hitam bergerak lambat, dan tidak ada angin yang berhembus. Setiap suara kecil, bahkan langkah kaki mereka, terdengar menggema di antara tebing-tebing yang tinggi.
Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah dataran luas dengan reruntuhan bangunan kuno yang berserakan di sekelilingnya. Di tengah dataran itu berdiri sebuah altar batu yang tampak sudah sangat tua, di atasnya terletak sebuah gulungan peta yang terbungkus dalam pelindung kaca.
"Itu dia," bisik Akarian, matanya terfokus pada peta yang tampak begitu rapuh tetapi penuh dengan misteri.
Sifer mengangguk. "Itu adalah peta takdir. Tapi ingat, mengambilnya bukanlah hal mudah. Begitu kita menyentuhnya, penjaga lembah ini akan bangkit."
Akarian merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia tahu ini adalah momen penting---peta itu bisa memberikan mereka petunjuk untuk menghentikan kegelapan yang membayangi dunia. Namun, risiko yang menanti mereka tidak bisa diabaikan.
"Kau siap?" tanya Sifer, menatap Akarian.
Akarian menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. Ia berjalan mendekati altar itu, langkah-langkahnya hati-hati. Ketika ia mencapai peta, ia merasakan aura kuat yang memancar dari gulungan itu, seolah-olah peta tersebut memiliki kesadaran sendiri.
Tepat saat ia akan menyentuh peta, suara berat dan dalam menggema di sekeliling mereka. Dari bayang-bayang yang menyelimuti reruntuhan, muncul sosok-sosok besar dengan mata merah menyala. Mereka adalah penjaga lembah---makhluk kuno yang hidup di antara kegelapan dan cahaya, menjaga rahasia yang tersembunyi di tempat ini.
Akarian membeku sejenak, tetapi ia tahu bahwa tidak ada jalan lain. Ia meraih gulungan peta dengan cepat dan menyimpannya di balik jubahnya.
Tiba-tiba, salah satu sosok penjaga itu berbicara dengan suara yang penuh dengan kekuatan, seperti gemuruh gunung yang hendak runtuh.
"Kalian yang berani memasuki Lembah Duka," kata sosok itu. "Apa yang kalian harapkan dengan mengambil peta ini? Apakah kalian berpikir bisa melawan takdir?"
Akarian menghadap penjaga itu, tubuhnya tegang. "Kami tidak datang untuk melawan takdir. Kami datang untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran."
Penjaga itu menatap Akarian dengan mata merahnya yang bersinar tajam. "Takdir tidak bisa diselamatkan, pemuda. Kau memegang peta itu, tetapi peta itu tidak akan menunjukkan apa yang kau inginkan. Peta itu akan menunjukkan kebenaran yang tidak kau duga---kebenaran tentang dirimu."
Akarian merasa darahnya membeku mendengar kata-kata itu. Sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, penjaga itu mendekat, dan suaranya terdengar lebih menakutkan.
"Kau ingin tahu kebenaran?" suara penjaga itu menjadi lebih pelan, tetapi penuh dengan ancaman. "Apa kau siap mendengar bahwa takdirmu bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk menghancurkan?"
Akarian terdiam, tak mampu berkata-kata. Kata-kata penjaga itu menggema di kepalanya, menimbulkan keraguan yang tiba-tiba muncul di dalam hatinya. Ia ingin menyangkalnya, tetapi tidak bisa. Di dalam dirinya, ada kegelapan yang ia rasakan, dan ia tahu bahwa ini bukan sekadar ancaman kosong.
Sifer melangkah maju, memegang tongkatnya erat. "Kau tidak bisa menakut-nakuti kami. Kami akan mengungkap kebenaran dari peta ini, dan takdir akan kami tentukan sendiri."
Penjaga itu tersenyum samar, tetapi senyum itu tidak memberikan rasa tenang. "Jika itu yang kau inginkan… buka peta itu. Tapi ingatlah satu hal sebelum kau melihat apa yang tersembunyi di sana…"
Akarian menahan napas, matanya tak berkedip menatap penjaga itu.
"…Apapun yang kau lihat, Akarian, takdir kegelapan itu sudah lama menunggu kedatanganmu."