Suara bisikan dari dalam diri Akarian masih bergaung di kepalanya. Kata-kata itu mengganggunya, membuatnya meragukan pilihan yang baru saja ia buat. Menerima kegelapan adalah langkah besar, tetapi bisikan itu mengingatkan Akarian bahwa kegelapan tidak akan pernah benar-benar tunduk. Ia tahu bahwa pertempuran terbesar bukan hanya melawan musuh di luar, tetapi juga melawan kekuatan dalam dirinya sendiri.
Sifer melangkah di depan, memimpin mereka keluar dari reruntuhan yang terletak di tengah Lembah Duka. Angin dingin terus berhembus, membawa rasa takut yang tidak terlihat. Suasana di lembah ini berbeda dari tempat mana pun yang pernah mereka lalui sebelumnya. Di sini, seolah-olah kegelapan dan cahaya tidak pernah benar-benar bertempur, tetapi malah hidup berdampingan, menunggu waktu untuk saling menghancurkan.
"Peta ini menunjukkan jalan menuju tempat di mana semuanya dimulai," kata Sifer, sambil membuka peta takdir yang masih bersinar samar di tangannya. "Kita akan menuju ke Titik Awal, tempat di mana kekuatan kegelapan pertama kali bangkit. Di sana, kita bisa menemukan cara untuk menghentikan kebangkitan kegelapan yang baru."
Akarian mendengarkan dengan penuh perhatian, tetapi pikirannya terus kembali ke peringatan yang diberikan oleh penjaga lembah. "Apa maksudnya bahwa kebenaran tentang diriku tersembunyi di sana?" tanya Akarian, suaranya sedikit ragu.
Sifer menghela napas panjang, tetapi tidak menoleh. "Ada hal-hal yang tidak pernah diceritakan, Akarian. Bahkan sejarahmu sendiri. Kau tahu bahwa kau terlahir dari keluarga bangsawan, tetapi asal-usul kekuatan yang ada di dalam dirimu… itu tidak sepenuhnya berasal dari dunia ini."
Akarian merasa dadanya berdebar lebih cepat. "Apa maksudmu? Apakah kekuatanku bukan bagian dari keluargaku?"
Sifer berhenti sejenak dan berbalik, menatap Akarian dengan mata yang penuh rasa duka. "Kekuatanmu, Akarian, berasal dari tempat yang lebih tua dan lebih gelap dari kerajaan mana pun. Kekuatan yang kau miliki adalah warisan dari peradaban yang hancur berabad-abad lalu---peradaban yang tenggelam dalam kegelapan karena kekuatan yang serupa dengan yang kau miliki sekarang."
Akarian membelalak. "Apa? Mengapa kau tidak pernah memberitahuku?"
"Aku tidak bisa," jawab Sifer, suaranya tenang namun terdengar penuh beban. "Selama ini, aku berharap kekuatan itu tidak akan pernah terbangun sepenuhnya. Bahwa kau bisa menjalani hidup normal, jauh dari takdir yang mengerikan. Tetapi sekarang, kegelapan itu telah bangkit, dan kita tidak bisa lagi menghindarinya. Kau adalah pewaris kekuatan kuno, Akarian, dan takdirmu sudah lama ditulis."
"Jadi... aku adalah bagian dari kegelapan yang aku coba lawan?" tanya Akarian dengan suara pelan, matanya menatap tanah.
Sifer berjalan mendekatinya dan meletakkan tangan di pundaknya. "Tidak sesederhana itu. Kegelapan yang ada di dalam dirimu memang kuat, tetapi itu tidak mendefinisikan siapa dirimu. Kau bisa memilih apa yang akan kau lakukan dengan kekuatan itu. Itu adalah pilihan yang selalu ada di tanganmu."
Akarian mengangguk pelan, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia merasa seolah-olah seluruh hidupnya selama ini adalah kebohongan, bahwa ada rahasia besar tentang dirinya yang tidak pernah ia ketahui. Tetapi sekarang, dengan segala hal yang telah terjadi, ia tidak punya pilihan selain menerima kebenaran dan menghadapi apa pun yang datang.
Mereka melanjutkan perjalanan melewati lembah yang semakin gelap. Di depan, tebing-tebing tinggi menjulang seperti dinding hitam yang tak terjangkau. Akarian bisa merasakan ada sesuatu yang menunggu mereka di ujung perjalanan ini, sesuatu yang lebih besar dari sekadar kekuatan gelap yang akan bangkit.
Setelah beberapa jam berjalan dalam kesunyian, mereka tiba di sebuah gua besar di kaki tebing. Di depan pintu masuk gua itu terdapat patung besar berbentuk sosok manusia dengan sayap gelap, matanya terbuat dari batu merah yang berkilauan seperti api. Akarian merasa ada sesuatu yang sangat akrab tentang patung itu, seolah-olah ia pernah melihatnya di mimpi-mimpinya.
"Inilah Titik Awal," kata Sifer dengan nada tegas. "Tempat di mana semuanya dimulai."
Akarian menatap patung itu dengan tatapan kosong. Di dalam hatinya, ada perasaan aneh yang mulai muncul---sebuah perasaan yang memberitahunya bahwa dia sudah lama terhubung dengan tempat ini. Mungkin lebih lama dari yang ia sadari.
"Bagaimana kau tahu tempat ini?" tanya Akarian, matanya masih terpaku pada patung.
Sifer terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab. "Aku telah mencari tempat ini selama bertahun-tahun. Aku tahu bahwa jawabannya ada di sini, di titik awal semua kegelapan yang telah menguasai dunia. Peta ini membawa kita ke sini, dan inilah tempat di mana kau akan menemukan kebenaran tentang kekuatanmu."
Mereka melangkah masuk ke dalam gua, dan seketika, suasana di sekeliling mereka berubah. Udara di dalam gua terasa lebih dingin, dan dinding-dinding batu memancarkan energi yang aneh. Setiap langkah mereka menggema di seluruh ruangan, seolah-olah gua ini hidup dan memperhatikan setiap gerakan mereka.
Di ujung gua, ada altar besar yang terbuat dari batu hitam, di atasnya berdiri sebuah bola kristal yang memancarkan cahaya redup. Di sekeliling altar itu, ukiran-ukiran kuno memenuhi dinding, menggambarkan pertempuran antara kekuatan cahaya dan kegelapan, dan di pusat ukiran itu, ada sosok yang tampak seperti Akarian---meskipun wajahnya jauh lebih tua dan penuh dengan penderitaan.
Akarian berjalan mendekat, hatinya berdebar. "Ini… adalah aku?"
Sifer mengangguk. "Ini adalah gambaran masa depanmu, Akarian. Masa depan yang telah diramalkan berabad-abad lalu. Kau adalah pewaris kegelapan, tetapi kau juga pewaris cahaya. Di sini, kau akan memutuskan takdirmu."
Akarian mendekati altar, tangannya terulur ke bola kristal yang bersinar redup. Namun, saat jari-jarinya hampir menyentuhnya, suara dalam kepalanya kembali terdengar---bisikan kegelapan yang semakin kuat.
"Kau berpikir bisa melawanku, Akarian?" suara itu terdengar lebih jelas kali ini. "Kau tidak bisa menghindar. Pada akhirnya, kegelapan adalah bagian dari dirimu… sama seperti aku."
Akarian berhenti, jantungnya berdetak kencang. Ia tahu bahwa kegelapan itu berbicara kepadanya, mencoba menariknya lebih dalam. Tetapi ia tidak akan menyerah begitu saja. Ia menoleh ke arah Sifer, yang berdiri dengan tenang di belakangnya.
"Aku siap," kata Akarian akhirnya, suaranya mantap meskipun hatinya masih dipenuhi ketakutan.
Sifer mengangguk, tersenyum samar. "Baiklah, mari kita buka jalan menuju kebenaran."
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara lain bergema di dalam gua. Suara yang berat dan mengancam, seperti gemuruh petir yang datang dari kedalaman bumi.
"Kalian datang untuk mengungkap takdir, tetapi apakah kalian siap untuk membayar harganya?"
Suara itu menggema di seluruh gua.