Akarian berdiri di depan penjaga lembah, masih terguncang oleh kata-kata terakhirnya. "Takdir kegelapan itu sudah lama menunggu kedatanganmu." Kalimat itu terngiang di kepalanya, seperti bayangan yang tidak bisa ia hindari. Di belakangnya, Sifer tetap diam, tetapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia juga merasakan ketegangan yang sama.
Peta takdir kini berada dalam genggaman Akarian, terasa berat seolah-olah bukan hanya gulungan biasa, melainkan membawa beban yang lebih besar dari apa pun yang pernah ia bayangkan. Ia tahu bahwa membuka peta ini akan membuka jalan ke masa depan, tetapi setelah kata-kata penjaga lembah, Akarian mulai meragukan apakah ia benar-benar siap untuk mengetahui kebenarannya.
"Kita harus membuka peta itu," kata Sifer akhirnya, memecah keheningan yang semakin menyesakkan. "Tidak ada waktu lagi. Jika kita ingin menghentikan kegelapan yang akan datang, kita harus tahu ke mana harus melangkah."
Akarian menatap peta di tangannya, jantungnya berdebar lebih cepat. Ia mengangguk pelan, meskipun keraguan dan rasa takut menyelimuti pikirannya. Dengan tangan gemetar, ia mulai membuka gulungan peta itu, dan seketika itu juga, cahaya samar mulai memancar dari kertas kuno yang tampak sudah berusia ribuan tahun.
Saat peta terbuka sepenuhnya, simbol-simbol dan tulisan-tulisan kuno yang tidak bisa dipahami mulai bersinar dengan cahaya keemasan. Bentuk-bentuk geometris bergerak seolah-olah hidup, mengalir di sepanjang peta seperti sungai-sungai yang membawa rahasia takdir. Peta itu bukan hanya sekadar panduan, tetapi juga kunci untuk membuka pengetahuan yang tersembunyi selama berabad-abad.
Akarian tertegun, matanya terfokus pada satu titik di tengah peta. Di sana, ada tanda yang tampak berbeda dari yang lainnya---sebuah lingkaran hitam dengan lambang yang sangat ia kenali: lambang kegelapan yang sama dengan yang ia lihat dalam penglihatannya di Tempat Penglihatan.
Sifer menatap peta itu dengan ekspresi serius, mengamati lambang yang sama. "Itu adalah titik pusat dari semua kekuatan kegelapan," katanya pelan. "Tempat di mana kegelapan terlahir. Jika kita bisa mencapai tempat itu, kita bisa menghentikan kekuatan yang mencoba bangkit."
"Tapi bagaimana kita bisa yakin itu tidak jebakan?" tanya Akarian, suaranya penuh dengan keraguan. "Penjaga tadi mengatakan bahwa takdir kegelapan sudah menunggu kedatanganku. Bagaimana jika aku bukan penyelamat, tapi penghancur?"
Sifer menatap Akarian, matanya tajam. "Takdir adalah tentang pilihan, Akarian. Peta ini menunjukkan jalan, tetapi keputusanmu yang akan menentukan bagaimana kau menggunakannya. Kau bisa memilih untuk melawan kegelapan, atau membiarkan dirimu tenggelam di dalamnya."
Akarian terdiam, hatinya dipenuhi dengan konflik. Ia tahu bahwa di dalam dirinya, kegelapan terus tumbuh, semakin besar setiap kali ia menggunakan Penumbra. Kekuatan pedang itu membuatnya merasa kuat, tetapi juga menguras jiwanya perlahan-lahan. Jika ia terus menggunakannya, apakah ia benar-benar bisa tetap menjadi dirinya sendiri? Atau pada akhirnya, ia akan kehilangan kendali sepenuhnya dan menjadi bagian dari kegelapan itu?
Tiba-tiba, suara penjaga lembah kembali menggema di udara, menginterupsi pikirannya. "Kau berdiri di depan jalan menuju kehancuran atau keselamatan, Akarian," kata penjaga itu dengan nada yang dingin. "Tetapi kau tidak akan melangkah sendirian. Kegelapan yang ada di dalam dirimu akan menjadi beban terberatmu, dan hanya mereka yang bisa menerima kegelapan itu yang akan bertahan."
Akarian menoleh ke arah penjaga, hatinya semakin gelisah. "Apa maksudmu dengan menerima kegelapan?" tanyanya.
Penjaga itu bergerak lebih dekat, sosok bayangannya semakin jelas di tengah kegelapan yang menyelimuti lembah. "Kau harus menerima bahwa kegelapan adalah bagian dari dirimu. Bukan sesuatu yang harus kau tolak, tetapi sesuatu yang harus kau kendalikan. Hanya mereka yang bisa menyatukan cahaya dan kegelapan yang dapat menghentikan malapetaka yang akan datang."
Kata-kata penjaga itu membuat Akarian berpikir dalam-dalam. Selama ini, ia selalu berusaha menekan kegelapan di dalam dirinya, mencoba melawannya. Tetapi sekarang, ia mulai menyadari bahwa mungkin itulah kesalahannya. Kegelapan itu ada, dan tidak peduli seberapa keras ia melawannya, kegelapan itu tetap menjadi bagian dari dirinya.
Akarian teringat pada setiap pertempuran yang ia lalui, setiap kali ia menggunakan Penumbra dan merasakan kekuatannya bertambah tetapi juga jiwanya terkuras. Mungkin, untuk menang, ia tidak harus menolak kegelapan itu, tetapi mempelajari cara mengendalikannya.
"Kau harus memilih, Akarian," lanjut penjaga itu. "Jika kau memilih untuk menerima kegelapan, kau akan memiliki kekuatan untuk menghentikan kegelapan besar yang akan datang. Tetapi jika kau menolak, kau akan kehilangan dirimu sendiri, dan dunia ini akan jatuh ke dalam kehancuran."
Akarian memandang ke arah Sifer, mencari kepastian. Namun, Sifer hanya menatapnya kembali dengan ekspresi tegas. "Pilihan ini adalah milikmu, Akarian. Hanya kau yang bisa memutuskan jalan mana yang akan kau ambil."
Akarian menarik napas dalam-dalam. Kegelapan dan cahaya, dua kekuatan yang saling bertolak belakang namun saling melengkapi. Mungkin benar bahwa untuk mengalahkan kegelapan terbesar, ia harus mengendalikan kegelapan yang ada di dalam dirinya. Ia tahu bahwa ini adalah titik balik dalam perjalanannya---titik di mana ia harus memilih takdirnya.
Dengan tangan yang masih gemetar, Akarian mengangkat pandangannya kepada penjaga itu. "Aku akan menerima kegelapan itu," katanya dengan suara mantap. "Tapi aku tidak akan membiarkannya mengendalikan diriku. Aku akan menggunakannya untuk melawan kegelapan yang lebih besar."
Penjaga lembah tersenyum samar, meskipun senyum itu terasa lebih menyeramkan daripada menenangkan. "Sebuah pilihan yang berani, pemuda. Tapi ingat, kegelapan tidak pernah benar-benar tunduk. Kau mungkin bisa mengendalikannya, tetapi itu akan selalu menunggu saat yang tepat untuk mengambil alih."
Akarian tidak gentar. "Aku akan melawan setiap hari, jika itu yang diperlukan."
Penjaga itu mengangguk pelan, matanya masih memancarkan cahaya merah yang menakutkan. "Maka perjalananmu dimulai sekarang. Di hadapanmu terbentang jalan menuju takdirmu, tetapi apa yang akan kau temukan di sana bukan hanya tentang dunia yang akan kau selamatkan. Kau juga akan menemukan kebenaran tentang siapa dirimu sebenarnya."
Sebelum Akarian bisa bertanya lebih jauh, penjaga itu perlahan menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan Akarian dan Sifer sendirian di lembah yang sunyi. Angin dingin kembali berhembus, seolah-olah mengingatkan mereka bahwa waktu terus berjalan.
Sifer menatap Akarian dengan tatapan yang penuh rasa hormat. "Kau telah membuat pilihan yang sulit, Akarian. Tapi ini baru permulaan."
Akarian hanya mengangguk. Ia tahu bahwa jalannya tidak akan mudah, tetapi sekarang ia lebih yakin daripada sebelumnya. Dengan peta takdir di tangannya dan Penumbra di pinggangnya, ia merasa siap menghadapi apa pun yang ada di depan.
Namun, sebelum mereka melangkah lebih jauh, Akarian mendengar suara pelan di belakangnya. Suara yang tidak asing, tetapi kali ini terdengar lebih jelas---bisikan dari kegelapan yang ada di dalam dirinya.
"Akhirnya kau menerimaku, Akarian. Tapi apakah kau yakin bisa mengendalikanku… selamanya?"