Chereads / Adventuring Until I Die / Chapter 3 - Kebebasan yang Tertunda

Chapter 3 - Kebebasan yang Tertunda

Diluar rumah Masha, Arnak duduk di atas sebuah kotak kayu. Pikirannya berkeliaran kesana-kemari, menolak terikat dengan lingkungan sekitarnya.

Orang-orang berlalu-lalang, terkadang menatapnya dengan cara yang aneh, seakan sedang melihat sesuatu yang seharusnya tidak berada di tempat itu. Namun Arnak tetap melanjutkan renungannya, hingga lamunannya itu dihentikan oleh sebuah sentuhan yang senyap dari belakang pundak Arnak. "Hei, apa yang sedang kamu pikirkan?"

Suara lembut itu menarik wajah Arnak dari lamunannya. Seketika ia terkejut begitu melihat sebuah ekspresi yang sangat jarang dilihatnya, yaitu senyuman. "Kak Masha?" celetuk Arnak, "Ah, bukan apa-apa, kok. Aku hanya merasa sedikit kebingungan, sepertinya memang ada sesuatu yang salah dengan kepalaku."

Masha menatap menyelidik seluruh tubuh anak laki-laki itu, kecurigaan dan kekhawatiran menjadi satu dari bibirnya yang maju. "Heh... Mungkin dugaanku benar, sepertinya kamu mengalami Mara Stres, tapi beruntungnya tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan penyakit itu sampai ditahap yang begitu berbahaya."

"Mara Stres itu apa?!"

Saat mendengar sesuatu yang tidak diketahuinya, Arnak mulai menunjukkan sikap penasaran sekaligus khawatir dengan keselamatannya, karena penyakit yang entah mengapa terdengar menyeramkan. Arnak pun mulai menempel dengan Masha.

Sebal dengan tingkah laku Arnak yang sebelumnya selalu sangat tenang, sekarang menjadi begitu bawel, ia pun segera berjalan untuk mengalihkan tempat pembicaraan, "Huft... Ayo masuk dulu, aku akan jelasin di dalam," Masha tampak lesu saat Arnak terus menerus menempel padanya.

Masha memerintahkan Arnak untuk duduk dengan tenang, sementara Masha sendiri sibuk menyiapkan hidangan yang dimasaknya dari bahan-bahan yang baru ia bawa pulang.

Saat penutup wajan dibuka, asap yang memunculkan bau gosong yang menyengat merusak selera makan siapapun yang menciumnya. Namun hal itu tidak berlaku bagi Masha dan Arnak yang telah mencium bau yang lebih parah semenjak mereka lahir.

Butuh beberapa saat hingga Masha selesai menghidangkan semua makanan dan minuman yang ada, disisi lain, Arnak hanya memberikan tatapan kosong seakan dirinya tidak berada di tempat itu.

Lamunannya mulai kembali, ia terus berpikir tentang kebebasannya yang sepertinya harus berakhir lagi. Pikiran anak laki-laki yang telah mendekam di dalam kegelapan neraka telah buntu dari kreativitas dan hasrat.

Saat pikiran-pikiran itu terus berputar seakan tidak akan pernah berakhir, bibir Arnak yang kering tiba-tiba saja dikejutkan dengan panasnya sup yang baru saja diangkat dari api yang memasaknya.

"Panas!" celetuk Arnak sembari menjauhkan wajahnya.

Masha menatap datar, menyodorkan sendok yang berisi sup panas kearah mulut Arnak, "Apalagi yang kamu pikirkan. Apa kamu tidak mau makan?"

Sekali dua kali Arnak mengedipkan matanya dengan cepat, melirik sup hangat di depan kakinya yang jarang ia lihat, tersaji dengan piring kayu yang dibuat dengan kasar. "Apa aku boleh makan ini?"

Masha masih sibuk menggerakkan mulutnya, menjawab pertanyaan Arnak hanya dengan anggukan dingin yang singkat.

Saat Arnak menyendok sup daging coklat dengan tangannya yang agak gemetar, ia melahap satu suapan—rasanya tidak enak, siapapun yang mencobanya akan berpikir seperti itu. Namun Arnak tidak merasakan makanan itu dengan lidahnya, melainkan kehangatan yang melumuri bagian dalam mulutnya yang terbiasa dengan angin dingin.

Tanpa sadar, Arnak mengucurkan penderitaannya, lalu melahap makanan didepannya dengan penuh suka cita. Masha terdiam melihat momen itu, tidak tega mengganggu perasaan seorang anak kecil yang bahagia.

Sambil terus melanjutkan sesi makan mereka, Masha melanjutkan penjelasannya yang tertunda, "Tentang mara stres, itu merupakan sebutan untuk mereka yang telah terpapar radiasi kosmik dalam jumlah yang banyak dan kurun waktu yang cukup lama."

Arnak memilih untuk tetap diam, membiarkan Masha untuk melanjutkan penjelasannya, "Biasanya, orang-orang yang terkena mara stres adalah kriminal kelas kakap yang dijatuhi hukuman mati yang paling berat, dengan membuangnya ke permukaan. Dalam beberapa kasus, para kriminal itu berubah menjadi pohon ataupun monster yang ganas, namun kebanyakan hanya akan mati dengan cara yang cukup mengerikan."

Mendengar cerita yang begitu mencekik nafasnya, Arnak menelan makanannya dengan perasaan ngeri, berpikir jika ia juga akan mengalami nasib yang sama. "Lalu, kenapa kamu bilang aku belum mengalami tanda-tanda yang berbahaya? Memangnya seperti apa tanda jika aku sudah berada dalam tahap yang berbahaya?"

"Hm, yah, aku hanya berpikir, jika kamu hanya mengalami kesulitan mengingat, seharusnya itu bukan sesuatu yang jarang ditemukan. Lalu, tanda-tanda yang menunjukkan bahwa kamu sudah terkena mara stres tingkat akhir, akan muncul sebuah tanda berwarna putih di punuk kamu."

"Tanda seperti apa?" tanya Arnak mengerutkan keningnya.

"Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari gambar hewan, tumbuhan, bahkan rasi bintang."

Arnak kehabisan kata-kata, penasaran, takut, dan kagum menjadi satu. Belum pernah ia mendengar sesuatu yang terdengar begitu keren namun menakutkan disaat yang bersamaan.

Bagaimana bisa sebuah tanda kematian begitu bervariasi? Apakah karena setiap individu memiliki keunikan mereka masing-masing? Tidak ada yang tahu, namun bagaimanapun, sebuah seni akan terlintas dalam benak banyak orang ketika membayangkan kematian mereka ditandai dengan sesuatu yang begitu spesial, bermakna, yang entah bagaimana juga bisa membuktikan nilai yang mewakili diri mereka.

Dalam kekagumannya itu, Arnak pun menyadari satu hal, "Ah, tapi bagaimana kak Masha bisa tahu tentang semua informasi itu? Padahal kakak hanya orang biasa yang tinggal di daerah kumuh?"

"hmm... Yah, informasi semacam itu sebenarnya sudah cukup umum, sih. Tapi, jika kamu bertanya darimana aku mengetahui semua itu, maka kamu bisa melihatnya disini," Masha menaruh piring kayunya ke lantai, memutar tubuhnya dan menyikap rambut belakangnya ke depan. Di punuk seputih salju yang kotor karena debu, tergambar setangkai bunga mawar yang mekar dengan indah.

Arnak membelalakkan matanya, mencoba menyentuh tanda itu dengan kehati-hatian, namun tangannya itu langsung ditepis oleh Masha. "Jangan lakukan itu, kita masih belum tahu apa yang akan terjadi jika seseorang menyentuh tanda ini."

"Kak, kalau tanda ada padamu, berarti...."

"Ya, aku mantan kriminal yang dijatuhi hukuman mati."

Mulut keduanya terkatup rapat. Tidak bisa membayangkan penderitaan yang telah masing-masing dari mereka lalui. Walau begitu, seorang gadis yang lebih tua tidak hanya diam, ia tersenyum demi menenangkan kekhawatiran seorang anak lelaki yang memiliki mata cerah.

"Jangan menatapku seperti itu, Arnak. Begini-begini dulu aku dijuluki sebagai Ratu Pencuri Pembawa Mawar, makanya aku bisa sampai dihukum dengan cara seperti ini. Selain itu, aku sebenarnya cukup sehat, kok. Karena dokter yang merawat orang-orang sepertiku sudah memberikan obat yang dapat mengontrol keganasan dari mara stres."

"Tapi tetap saja...." sekali lagi Arnak menatap Masha dengan lesu.

"Yah, daripada memikirkanku, sebaiknya kamu mulai memikirkan cara untuk bertahan hidup setelah aku mengajarkan cara untuk bertahan di daerah kumuh ini." Masha memberitahu Arnak dengan nada acuh tak acuh sambil melanjutkan kegiatan makannya yang sempat terhenti.

Sebelum Arnak dapat menjawab pernyataan santai dari Masha, pintu gubuk yang terlihat bisa hancur hanya dengan sebuah tiupan kecil itu ditendang dengan sangat kuat hingga terpental dan menabrak dinding di belakang Arnak.

Dalam momen singkat itu, Masha menoleh dengan cepat, tahu identitas dari orang yang menendang pintu rumahnya, dilain sisi, Arnak melongo dengan cara yang tidak biasa layaknya kartun anak-anak.

Dan seorang pria berbadan bongsor tersenyum dengan giginya yang putih dan tajam terlihat sempurna, berdiri dibawah bingkai pintu, menatap Arnak dan Masha dengan percaya diri dan tulus