Suasana di dalam gubuk terasa begitu aneh, pasalnya, seorang pria bertelanjang dada berdiri dengan senyum mengerikan yang menampakkan gigi-gigi runcing kekuningan pada wajahnya yang terlihat seperti bapak-bapak umur kepala tiga.
"Yo! Gimana kabar anak itu, Masha, Yo!"
Masha melihat pria itu dengan tatapan yang kehilangan harapan, sedangkan Arnak kebingungan dengan identitas pria yang berbicara menggunakan penambahan kata yang terdengar lucu.
"Yo, jangan menatapku seperti aku tidak punya masa depan, yo, bukankah kita ini partner hidup dan mati, yo."
Masha mendengus pelan, "Apa ada sesuatu yang mau kamu bicarakan?"
"Yah, bukan sesuatu yang penting sih, yo. Aku cuma disuruh tua bangka itu untuk memanggil kamu dan anak itu, yo."
Tangan Masha yang sedari tadi melanjutkan kegiatan makannya, terhenti sejenak saat mendengar orang yang memanggilnya. "Nenek Yuni, ya... Baiklah, biarkan kami menyelesaikan makanan ini dulu, kamu tunggulah diluar," Masha melanjutkan kegiatan makannya, namun wajahnya kini tampak sedikit lebih muram.
Setelah beberapa saat, Masha dan Arnak menyelesaikan sesi makan mereka, menaruh peralatan makan di tempatnya, dan segera beranjak menuju pintu keluar. Namun, saat Arnak tinggal selangkah lagi dari pintu keluar, Masha menghentikan langkah mereka, dan menahan pundak Arnak.
Arnak yang heran pun membalikkan badannya, tampak di depannya seorang gadis yang menunjukkan ekspresi rumit, sulit untuk menebak isi pikirannya, matanya seakan melihat kedalam jurang yang tak terlihat ujungnya.
Arnak yang memperhatikan itu menjadi semakin bingung. Apakah Masha seenggan itu untuk bertemu dengan seseorang bernama Nenek Yuni, ataukah dia mengkhawatirkan sesuatu yang lain.
Saat Masha ingin membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu pada Arnak, pria bergigi runcing itu sudah mengintip kedalam gubuk dengan tatapan datar, lalu menyela suasana berat diantara mereka dengan perkataan yang terasa lebih berat lagi, "Kenapa kamu begini lagi, yo, bukankah kita sudah sepakat, kalau anak ini akan dirawat oleh ketua squad,yo. Apa kamu memikirkan sesuatu yang bodoh, Masha, yo."
Masha menghela napas, menggelengkan kepalanya, lalu berjalan tanpa menatap Arnak. Pria itu melirik sekilas kearah Arnak yang juga menyadari tatapannya, ia mengangkat bahunya seakan berkata bahwa ia tidak bersalah.
Arnak sekali lagi merasa bingung. Bukan hanya keinginan untuk hidup bebasnya yang tertunda, tapi juga seluruh situasi yang terjadi disekitarnya seakan arus yang menyeretnya tanpa bisa ia hindari.
Selama mereka berjalan, Arnak yang melihat sekeliling daerah kumuh akhirnya dapat sepenuhnya memahami kehidupan seperti apa yang dijalani kebanyakan orang di dunia ini.
Berbeda dari dunia yang ia tempati sebelumnya, separah-parahnya keadaan seseorang, hampir jarang sekali melihat ada seorang anak kecil yang memakan tanah yang digaruk di depan rumahnya.
Tentu, Arnak adalah salah satu kasus langka, dimana hidupnya tidak jauh berbeda dengan mereka, meski ia tinggal di sebuah kota yang penuh dengan gemerlap lampu-lampu gedung yang penuh glamor.
Saat Arnak secara refleks melihat keatas, ia menyadari sebuah puncak dari bangunan berwarna gelap, bangunan yang terbuat dari baja. Namun pemandangan miris itu hanya dapat dilihat dari balik tumpukan sampah yang menjulang tinggi layaknya gunung, seakan sampah itulah yang membatasi kehidupan yang memiliki dua sisi berbeda layaknya dua gambar dalam sekeping koin logam.
Sebelum Arnak menyadarinya, ia sudah sampai di depan sebuah bangunan yang tampak jauh lebih baik dibanding semua bangunan yang ada di daerah kumuh.
Orang pertama yang masuk kedalam tidak lain adalah pria yang dengan semangat yang sama seperti sebelumnya, membuka pintu dengan keras, namun pintu itu memiliki lebih banyak ketahanan, sehingga kerusakan tidak memungkinkan.
Karena samar-samar Arnak dapat melihat sesuatu yang tampak seperti sebuah lingkaran bercahaya pada pintu sesaat pria itu menendangnya. Ia pun dengan cepat menyadari bahwa lingkaran itulah yang melindungi kerusakan pada pintu.
Saat pintu terbuka, pada saat itulah Arnak dengan sangat cepat dapat menilik semua barang yang berada di dalam bangunan itu. Di kanan dan kiri terdapat rak yang berisi berbagai macam barang yang asing bagi Arnak, beberapa buku, dan tabung-tabung kaca yang berisi cairan berwarna aneh.
Lantai kayu reot yang tampak hancur di berbagai sisi, ditutupi oleh karpet merah yang dipenuhi debu, dengan pola bunga mawar yang hampir sama dengan yang ada pada Masha.
Tepat di seberang pintu masuk, sebuah meja persegi panjang menutupi sebagian besar tubuh seorang perempuan tua yang memiliki banyak keriput pada wajahnya, namun Arnak dapat melihat pemandangan kontras dari seorang nenek tua dan cerutu coklat yang membuatnya tampak seperti wanita tua kaya yang telah lama pensiun.
Saat wanita tua itu menyadari kedatangan ketiganya, ia dengan cepat menyambut mereka dengan cara yang cukup nyentrik, "Oh, kalian sudah datang? Baguslah, Yuni sudah menunggu kalian berdua di dalam" tunjuk wanita itu pada pintu yang berada di sebelah kirinya, "Valio, kamu tetap disini, bantu aku bersihkan tempat ini." ucap wanita tua itu sembari menunjuk dengan cerutu yang digenggamnya.
"Eh, kenapa aku harus melakukan itu, yo! Bukannya ini jadwal Tania untuk bebersih, yo!"
"Akh, berisik! Simpan kata-katamu itu, dan kerjakan saja apa yang aku suruh, atau kau lebih suka gajimu dipotong 50 persen!?"
Dengan terpaksa, Valio membersihkan ruangan itu, membiarkan Masha dan Arnak memasuki ruangan lain yang berada di belakang sang wanita tua.
Baru saja pintu dibuka, Arnak langsung mencium aroma yang sangat dikenalnya, aroma itu tidak lain adalah, kematian.
Di dalam ruangan yang pencahayaan remang, Arnak melihat seorang wanita yang terlihat berumur tiga puluhan, tubuhnya masih kencang, namun sorot matanya mati.
Saat melihatnya, Arnak seakan berkaca pada dirinya sendiri. Melihat tatapan yang sama, bahkan merasakan atmosfer yang yang sama dengan dirinya sebelum mengalami kematian yang sesungguhnya.
Ia tertidur namun tetap sadar, ia bersuara lirih namun hening. Saat matanya melirik kearah Arnak, rasa takut yang menyelimuti seluruh bulu kuduknya berdiri tegak seakan sedang bersiap untuk menghadapi bencana.
Bangkit dari kursi goyangnya, makhluk itu dengan satu kedipan mata tiba di depan Arnak, memotong jarak lima meter jauhnya dalam sekejap.
Sebagai akibatnya Arnak terjatuh, pupilnya bergetar, mulutnya sedikit ternganga, tangan yang kini menopang tubuhnya pun menjadi lemas tak berdaya dihadapan makhluk yang mengambil wujud manusia itu.
Makhluk itu menatap Arnak lamat-lamat, lalu tersenyum saat ia merasakan ketertarikan padanya, "Hoh~ apa kamu sadar kalau aku sudah bukan manusia lagi, nak?"
Arnak tak menjawab, alih-alih menunggu, makhluk itu justru memperkenalkan dirinya sembari terkekeh singkat, "Namaku Yuni Shara, ketua squad eksplorasi. Yah, seharusnya kamu sudah bisa menebak tempat yang kami eksplorasi, kan?"
Pada saat itu, Arnak hanya bisa termenung, duduk diatas lantai kayu, melihat dua perempuan yang menatapnya dari atas, tanpa menyadari takdir yang akan membawanya pada sebuah kejayaan abadi yang akan selalu disenandungkan oleh semua makhluk yang ada di seluruh alam semesta.