Yuni memalingkan wajahnya dari Arnak, berjalan dengan perlahan, hanya untuk duduk kembali diatas kursi goyangnya. Matanya yang sebelumnya terlihat seperti akan menerkam Arnak kapan saja, berubah menjadi lebih tenang sekaligus lembut layaknya nenek-nenek pada umumnya.
"Ketua squad, tolong jangan takut-takuti anak ini. Selain itu, aku mengubah pikiranku, mulai sekarang aku yang akan mengurusnya, jadi anda tidak perlu khawatir," jelas Masha.
Yuni tertawa kecil, matanya memandang Arnak seakan ia sedang mengejeknya, "Hah?! Khawatir? Itu kata yang lucu. Kenapa aku harus khawatir pada seseorang yang bisa bertahan di permukaan selama beberapa hari tanpa mengalami perubahan apapun pada tubuhnya?" Yuni menghela napas sebentar sebelum melanjutkan perkataannya, "Malahan, harusnya aku waspada terhadap variabel yang tidak bisa dimengerti sepertinya, bukan?"
"Huft... Itulah kenapa aku bilang kamu tidak perlu khawatir. Karena mulai sekarang aku yang akan mengurus hal itu."
"Apa kamu yakin dengan pernyataanmu?"
Yuni menatap Masha dengan intens, Masha yang menyadari tatapan dari seorang wanita tua berparas cantik itu pun meneguk ludahnya, mengepalkan tangannya, berusaha menahan napas agar tidak mengeluarkan reaksi yang tidak diperlukan.
Setelah beberapa saat, Yuni tersenyum kecil sebelum memasang wajah datarnya kembali. "Baiklah, aku akan membiarkanmu untuk saat ini, untuk sekarang, pergilah ke dokter Filuk, anak itu harus di-cek secara menyeluruh sebelum bisa benar-benar tinggal disini."
"Baik, terimakasih ketua squad. Lalu, soal para petinggi...."
"Serahkan saja para pria bau tanah itu padaku. Lagipula mereka tidak punya waktu untuk mengurus hal-hal kecil disaat-saat penting seperti ini." Yuni melambaikan tangannya, menyuruh Masha untuk segera pergi.
Masha pun membungkukkan badannya, menatap Arnak dan mengajaknya pergi, "Ayo", meninggalkan Yuni di dalam ruangan remang itu dengan ekspresinya yang saat ini menjadi lebih rumit saat pupil matanya memantulkan bayangan punggung Arnak yang berjalan meninggalkannya.
Sepanjang perjalanan, Masha tidak mengatakan sepatah katapun semenjak mereka meninggalkan ruangan Yuni. Menciptakan sebuah keraguan pada hati Arnak, tidak dapat mengikuti alur yang saat ini terus ia ikuti tanpa komplain.
Namun, layaknya anak-anak seumurannya, Arnak yang mengalami situasi itu, pada akhirnya akan mencoba untuk mencari tahu hal-hal yang sangat membuatnya penasaran. "Kak Masha, apa yang sebenarnya kalian lakukan saat berada di permukaan? Apakah itu ada hubungannya dengan tanda yang ada padamu?"
Sempat terkesiap, Masha mempercepat langkahnya, mencoba menghindar dari pertanyaan yang Arnak ajukan. Namun, semakin cepat ia berjalan, semakin dekat pula Arnak dengan dirinya. Sampai pada akhirnya, Arnak yang sudah tidak tahan, menghalangi jalur Masha, berdiri di depannya dengan tatapan yang terlihat sangat kuat.
"Tolong jawab aku, mungkin saja aku bisa mengetahui sesuatu dari jawaban yang kamu berikan."
Masha menatap mata Arnak sekali lagi. Pupil mata berwarna hitam yang sangat langka di dunia itu, dengan kuat menggoyahkan pendirian Masha berkali-kali. "Jika aku memberitahumu, apa kamu mau jujur soal asalmu?" celetuk Masha yang secara sadar mengetahui jika tidak mungkin ada seseorang yang dapat baik-baik saja saat berada di permukaan selama beberapa hari.
Arnak menundukkan kepalanya dalam-dalam, pada saat itu, keduanya pun tersadar bahwa memang ada hal-hal yang seseorang mau sembunyikan bahkan diantara anggota keluarga.
Gadis itu dengan kecewa menghela napas, lalu berjalan melewati Arnak yang masih terdiam sendirian di tengah jalan daerah kumuh yang begitu sepi.
Ditinggal begitu saja, Arnak pun hanya diam ditempat, enggan mengikuti Masha yang tidak mau memberitahukan informasi yang sangat dibutuhkan agar ia dapat merasakan kebebasan lagi. Namun, disaat yang bersamaan, ia pun menyadari keegoisan yang telah menyakiti hati gadis itu.
Pada akhirnya, kearoganan membuat Arnak menolak untuk mengikutinya, menolak untuk meminta maaf, menolak untuk mengakui kegelapan di dalam dirinya.
Anak laki-laki itu sempat melihat kebelakang, namun ia tidak lagi melihat Masha, pandangnya pun beralih pada langit-langit kota bawah tanah yang begitu gelap.
Tidak adanya cahaya membuatnya takut, kesunyian yang berada di daerah kumuh pun membuatnya takut, tapi hal yang paling membuatnya takut, adalah rasa kesepian dan kekangan yang membuatnya merasa kembali seperti saat sebelum ia merasakan kematian.
Berkali-kali pemandangan dimana semua kegelapan menyatu padanya membuatnya gila. Pemuda berumur empat belas tahun itu bahkan belum pernah merasakan manisnya gula, ataupun asinnya garam. Belum pernah melihat luasnya lautan, belum pernah kencangnya deru angin diatas langit.
Keinginannya untuk memeluk bintang setiap malam memberikannya kenangan indah sekaligus menyakitkan.
Arnak berdiri diam selama beberapa jam. Tidak bergerak, tidak bersuara, seakan ia adalah boneka yang sedari awal tidak memiliki jiwa. Tatapannya kosong, selama waktu itu, ia terus saja membayangkan kehidupannya sebelum kematian.
Semua itu terus berlanjut sebelum akhirnya Arnak dipanggil oleh seseorang yang sama sekali belum pernah ia lihat.
Seorang pria tua yang memiliki uban di rambut dan janggutnya yang panjang. Ia menggunakan topi hitam yang menjulang tinggi keatas, dengan pita merah marun yang mengelilinginya. Sebuah jas lab putih menjadi kekhasan pria itu ditengah daerah kumuh yang penuh dengan warna-warna keruh.
"Hey, nak. Sedang apa kamu disini? Tidakkah nenek Yuni menyuruhmu untuk datang ke tempatku? Ah, atau kamu tidak tahu jalannya? Benar juga, ya. Hah... Dasar wanita tua itu, dia bahkan tidak menyuruh anggotanya untuk mengantar anak ini." pria tua itu berbicara pada Arnak, namun semua pertanyaannya dijawab oleh dirinya sendiri, berekspresi begitu bebas dengan sendirinya.
Melihat wajah pria tua yang kaya akan ekspresi, membuat Arnak kebingungan, namun disaat yang bersamaan, ia dengan tulus mengagumi sikapnya yang terasa begitu santai dan tampak tak memiliki tekanan batin.
Dengan senyum lebar, pria itu mengajak Arnak untuk datang ke tempat tinggalnya, "Hei nak, aku tahu siapa kamu, tapi aku masih belum tahu namamu. Meski begitu maukah kamu datang ke tempat pria tua ini?"
Secara tidak sadar, Arnak yang untuk pertama kalinya bertemu orang dewasa yang bertingkah layaknya seseorang yang telah dewasa, menjawab tawaran itu dengan cara yang paling sopan yang ia tahu, "Sebelumnya, boleh saya tahu nama anda, tuan?"
"Haha, tuan apanya. Namaku Filuk, tidak ada nama belakang, bahkan jika ada, itu tidak diperlukan. Sekarang, boleh aku tahu namamu, tuan muda?" ujarnya sembari mengedipkan matanya yang tersenyum.
"Na-namaku... Arnak, hanya Arnak, tidak ada nama belakang. Namun, aku harap, suatu hari, aku dapat menggunakan nama belakang." jawab Arnak dengan nada yang agak gugup.
"Begitu, ya. Arnak, itu nama yang bagus. Siapapun yang memberikan nama itu padamu, pasti dia orang yang peduli pada orang lain."
Arnak tertegun saat mendengar pernyataan Filuk yang dirasanya sangat tidak cocok, namun hal itulah yang membuatnya semakin penasaran, "Memang, apa arti dari nama itu?"
"Hm? Ah, arti dari nama itu? Kalau tidak salah, jika diambil dari bahasa bangsa bintang kuno, artinya adalah bahagia,"