Melanjutkan apa yang diminta dokter Filuk, Arnak pun mengangguk setuju. Ia duduk di atas kursi yang berada tepat di seberang meja dokter Filuk. Matanya yang agak sembab setelah menangis, menatap dokter Filuk dengan perasaan khawatir.
Menyadari kekhawatiran Arnak, dokter Filuk pun segera menenangkannya dengan berkata, "Tenang saja, ini hanya pemeriksaan medis biasa. Aku hanya ingin tahu sampai sejauh mana infeksi radiasi kosmik memengaruhi tubuhmu."
Arnak yang mendengarnya pun hanya mengangguk ragu. Meski begitu, dokter Filuk mewajarkan keraguannya, dan tersenyum pada Arnak. "Pertama, aku akan menanyakan beberapa hal dulu, jika kamu tidak merasa seperti itu, gelengkan saja kepalamu, tapi jika kamu merasakan hal yang sama dengan pertanyaanku, maka jelaskan dengan detail, paham?" ujar dokter Filuk dengan lembut.
"Baik, dokter."
"Oke! Sekarang, untuk pertanyaan pertama, apakah kamu merasa pusing dan mual selama berada di permukaan?"
Arnak menggelengkan kepalanya.
"Hm... Selanjutnya, apa ada rasa panas di salah satu bagian tubuhmu, misal, di punuk, punggung, perut, atau pipi?"
Sekali lagi Arnak menggelengkan kepalanya.
"Okey... Kalau begitu, pertanyaan terakhir, apa kamu merasa bahagia saat berada di permukaan?"
Arnak terdiam sejenak, berpikir, lalu membuka mulutnya dengan ragu, "Kalau maksud dokter bahagia itu tersenyum dan tertawa, maka jawabannya... Ya, aku bahagia saat itu."
Mendengar hal itu, dokter Filuk mulai mencatat semua yang ia dengar dengan sangat cepat diatas kertas yang dialasi papan kayu yang sama lebarnya dengan kertas itu.
"Baiklah, sesi tanya-jawab sudah selesai. Kalau begitu, ayo kita lanjutkan ke-sesi pengecekan fisik." dokter Filuk berdiri dari tempatnya, berjalan kearah salah satu mesin yang terlihat seperti kapsul raksasa, menyentuhnya dengan senyuman alami. "Nah, Arnak, sekarang kamu masuk ke dalam sini, aku akan mengecek beberapa hal yang mungkin bisa mengganggu keseharianmu jika dibiarkan."
Arnak pun mengangguk setuju, ia berdiri dari tempatnya, berjalan dengan santai kearah kapsul. Saat tinggal hanya beberapa meter, dokter Filuk membuka kapsul raksasa tersebut, mempersilahkan Arnak untuk masuk kedalamnya.
Arnak berada dalam posisi tidur telentang, kaca yang menjadi penutup kapsul perlahan turun, menutup kapsul tanpa menyisakan sedikit pun udara, meski begitu, makhluk hidup masih bisa bernafas di dalamnya, hanya saja, makhluk itu akan langsung kehilangan kesadaran, dan masuk kedalam kondisi vegetatif.
Dengan beberapa prosedur rumit yang dokter Filuk lakukan pada kapsul, ia dengan cepat mengetahui berbagai informasi yang ada pada tubuh Arnak.
Sebuah layar-layar mengambang muncul tepat di depan muka dokter Filuk, disana tertulis berbagai informasi yang ditulis dalam bahasa yang asing, belum pernah dilihat dimana pun di bumi.
Namun, jika harus diterjemahkan, maka akan ada tulisan seperti ini.
Detak jantung 60 per menit, tidak ada kerusakan pada semua organ dan tulang, otot mata, perut, tenggorokan, dan yang lainnya normal, jumlah bakteri 41 triliun di seluruh bagian tubuh, dan berbagai informasi detail lainnya. Kesimpulan, normal.
"Hm... Ini aneh, biasanya orang yang berada di permukaan akan mengalami kelainan pada tubuhnya walau hanya sebentar, tapi anak ini berkeliaran di atas permukaan tanpa mengalami apa-apa?" gumam dokter Filuk yang kebingungan sekaligus penasaran dengan kondisi yang terjadi pada Arnak.
Masha yang memperhatikan sedari tadi mau tak mau merasa khawatir. "Dokter Filuk, apa Arnak akan baik-baik saja?"
Dokter Filuk menoleh, tersenyum dan berkata, "tentu," sebelum akhirnya kembali fokus dengan pengecekan fisik yang sedang ia lakukan pada Arnak.
Setelah beberapa saat mengamati mesin kapsul, dokter Filuk pun menyadari adanya sesuatu yang janggal, namun ia tak berkutik, bukan karena ia tak paham dengan situasi yang sedang dilihatnya, melainkan lebih kearah ketidakpercayaan saat melihat situasi yang selalu diimpikannya dapat ia lihat di depan matanya.
Pupil mata dokter Filuk melebar, berbinar bahagia, bahkan hampir meneteskan air mata. Namun ia sadar bahwa dirinya harus menahan kebahagiaan itu sampai semuanya menjadi jelas.
Setelah dokter Filuk kembali mengutak-atik kapsul, pintu kaca pun terbuka, membuat Arnak dapat kembali membuka matanya. Ia melihat langit-langit klinik, merasa seperti baru saja menaruh badannya di dalam kapsul, meski sebenarnya waktu sudah berlalu selama beberapa menit.
Dari bagian kanan, Arnak dapat melihat dokter Filuk yang tersenyum cerah padanya, dan di depan, ia bisa melihat ekspresi senyuman khawatir dari seorang gadis bernama Masha.
Sembari menggaruk bagian belakang kepalanya, Arnak dibantu dokter Filuk untuk keluar dari kapsul. Pintu kaca kapsul pun segera tertutup saat Arnak berada diluar sepenuhnya.
Merasa dirinya baru berada sebentar saja di dalam kapsul, Arnak yang masih kebingungan sekaligus penasaran hendak menanyakan hasil dari pengecekan tubuhnya, namun sebelum satu patah kata berhasil terucap dari mulutnya, dokter Filuk segera merangkul leher Arnak.
Menyeretnya secara halus mendekati pintu keluar, sembari berkata, "Ah, aku akan menjelaskan soal itu nanti. Aku masih perlu melakukan beberapa pencocokan terlebih dahulu, untuk sekarang kamu dan Masha pergilah keluar untuk berjalan-jalan, dan mengobrol perihal masalah kalian sebelumnya.
Sebelum mereka bisa berkata-kata, mereka sudah berdiri di luar klinik, bingung dengan kejadian yang terjadi begitu tiba-tiba. Keduanya pun menoleh, melihat wajah satu sama lain, lalu segera membuang muka, pipi mereka merona karena malu.
Mengingat kejadian yang membuat keduanya bertengkar karena alasan yang mereka sendiri tidak yakin kenapa mereka marah. Keduanya pun hanya terdiam, namun setuju untuk berjalan dalam senyap.
Kembali ke dalam klinik, dokter Filuk duduk di belakang meja kayunya, mendongakkan kepalanya kearah langit-langit klinik. Mulutnya terbuka lebar seakan tak percaya dengan hasil yang dilihatnya.
Pada saat yang seakan tidak boleh diintervensi, sesok makhluk kecil tiba-tiba saja muncul entah darimana, ia terbang dengan kepakan sayap secepat burung Kolibri, pakaiannya terlihat seperti jubah putih yang menutupi ujung kepala hingga ujung kakinya.
Pada bagian matanya, tertutup oleh sesuatu yang mirip dengan helm, atau penutup mata yang tampaknya terbuat dari besi atau perak. "Hei Filuk, ada apa dengan wajahmu itu? Apa kau habis mabuk atau semacamnya?"
"Hah?" dokter Filuk membuka matanya, menurunkan kepalanya, di depannya, ia melihat seorang teman lama, seorang peri. "Oh, Fins, sejak kapan kamu kembali ke dunia bawah?" ujar dokter Filuk acuh tak acuh.
"Seperti yang bisa kamu lihat, baru saja. Tapi, sekarang bukan itu yang penting, kan? Tidakkah kamu ingin memberitahuku kegundahan bodohmu itu, kawan?" Fins tersenyum, seakan tahu bahwa dokter Filuk akan menceritakan kisah yang menarik.
Dokter Filuk menatap Fins sekilas dalam hening, matanya menunjukkan perasaan skeptis, namun pada akhirnya ia tahu bahwa informasi yang telah di dapatkannya tidak bisa ia emban seorang diri.
"Huft... Sejujurnya, aku masih kurang yakin, tapi, jika kamu melihat anak laki-laki yang baru saja keluar klinik, sebenarnya, aku melihat semacam lambang yang biasanya ada pada para orang terinfeksi."
"Hooh... Tapi, bukankah itu tidak begitu langka? Jadi, kenapa kamu terlihat sangat terkejut?"
"Memang, itu tidak langka. Tapi, bagaimana jika lambang itu terukir di jantung?"
"Apa..? Bukan di dada, tapi di jantung...?" suara Fins bergetar, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Benar, di jantung. Belum pernah ada orang yang memiliki lambang di bagian dalam tubuhnya. Karena lambang itu terbentuk dari infeksi radiasi kosmik, atau itulah yang sekiranya kita tahu. Tapi, semua itu terbantahkan saat ada orang yang memiliki lambang di dalam tubuhnya."
Fins terlihat mengerutkan mulutnya, dan mulai berspekulasi, "Antara radiasi kosmik tidak hanya mempengaruhi tubuh bagian luar, atau kita sudah salah paham mengenai lambang dan radiasi kosmik selama ini."
"Benar. Semua orang yang mempunyai lambang, pasti memiliki kelainan atau perubahan pada organ tubuh bagian dalamnya, maka dari itu mereka memerlukan obat secara teratur. Tapi, anak itu, Arnak, justru memiliki lambang di dalam tubuhnya, dan tidak mempunyai satupun masalah pada tubuhnya." Jelas dokter Filuk mengerutkan keningnya.
Fins meneguk ludah, merasa enggan mengucapkan isi pikirannya, namun tanpa disadari, ia tetap mengatakannya, "itu artinya, radiasi kosmik dan lambang, merupakan dua hal yang berbeda, dan memiliki sumbernya masing-masing...!?"
Keduanya pun menghela napas panjang. Spekulasi liar yang belum jelas membuat kepala mereka terasa terbakar. Pada akhirnya, dokter Filuk dan Fins sepakat untuk membicarakan hal ini lebih lanjut dengan orang-orang yang memiliki lebih banyak sumber informasi.