Chereads / Adventuring Until I Die / Chapter 8 - Keluarga Sejati

Chapter 8 - Keluarga Sejati

Di tengah jalan daerah kumuh, Arnak dan Masha berjalan beriringan, keduanya menjadi perhatian dari banyak orang, bukan karena penampilan maupun status mereka, melainkan karena mereka baru saja keluar dari klinik dokter Filuk.

Dokter Filuk adalah satu-satunya dokter yang berada di daerah kumuh, meski ia dokter, pekerjaannya yang sebenarnya tidak lain adalah mengawasi orang-orang di daerah kumuh agar tidak membuat keributan, dan merawat para penjelajah permukaan, seperti Masha.

Maka dari itu, setiap ada seseorang yang keluar dari klinik dokter Filuk, pasti akan selalu ada seseorang seperti ini.

"Tolong! Tolong anak saya! Dia sedang sakit keras di rumah!" ujar seorang wanita paruh baya yang menahan kaki Masha dengan memeluk menggunakan seluruh tubuhnya.

Masha menyatukan kedua alisnya ke tengah, berusaha mengabaikan sang wanita paruh baya, dengan sekuat tenaga mengangkat kakinya yang juga sudah ditambah oleh berat wanita di bawah kakinya.

Tanpa bisa melawan, wanita itu tersungkur ke tanah tanpa daya. Seakan-akan harapannya pupus, wanita itu menatap tanah lamat-lamat.

Arnak meyaksikan itu, bagi banyak orang, pemandangan itu amat menyayat hati, namun berbeda bagi anak itu. Bukan karena ia tidak memiliki hati nurani untuk berempati, melainkan ketidakhuannya terhadap hal baik dan buruk, layaknya bayi yang baru lahir, kosong.

Namun, satu hal yang pasti, ada rasa janggal pada jurang tanpa akhir yang bersarang pada hati Arnak, karena melihat keheningan yang sangat berbeda dari teriakan dan pukulan.

"Apa kamu tahu kenapa aku melakukan itu, Arnak?" tanya Masha yang berjalan di depan Arnak.

Arnak pun menjawab singkat, "Tidak," sembari berjalan maju untuk menatap wajah Masha yang berubah suram.

"Aku melakukan itu agar tidak lebih banyak orang yang berharap. Karena harapan yang terlalu besar di daerah kumuh, hanya akan berakhir dengan keputusasaan yang lebih besar pula." Masha mencengkram dua kepalan tangannya dengan sangat kuat, saat ia sekilas teringat dengan masa lalunya.

"Wanita itu bilang, anaknya sakit, kan?" tanya Arnak dengan wajah penasaran, ia hening beberapa detik, memilih kata-katanya sebijak yang ia tahu, "Jika aku sakit, apa kak Masha juga akan merelakanku?"

Masha membisu, tidak habis pikir baginya mendengar perkataan itu dari mulut seorang anak kecil berumur empat belas tahun. Kata-kata itu, jelas bukan keluar dari mulut anak polos yang mencoba mencari tahu sesuatu.

"Heh, bocah bodoh!" Masha menyentil jidat Arnak yang lembut sekuat tenaga, membuat anak muda itu terdorong kebelakang, "Aku sudah bilang bukan? Mulai sekarang aku akan mengurusmu, jika kamu sakit, tentu aku akan mencari cara untuk menyembuhkanmu, jika satu cara tak berhasil, maka aku akan melakukan berbagai cara, mengerti?!" ujar Masha yang tampak seperti mengomel, namun tetap menjaga nada bicaranya yang lembut dan imut.

"Karena, itulah yang akan dilakukan keluarga sejati," pipi Masha merah padam, ia mengalihkan pandanganya dari Arnak, seolah sedang mencari seseorang.

Namun Arnak yang mendengar kata diakhir kalimat Masha hampir tidak bisa berkomentar, melainkan hanya mengulanginya sekali lagi menggunakan suara pelan

"Keluarga..."

Suara pintu yang digerakkan dengan sangat kuat memekakkan pendengaran Arnak, sebuah cahaya yang telah lama tak ia lihat muncul dari balik pintu itu.

Tak lama kemudian, cahaya itu ditutupi oleh bayangan besar yang berdiri dengan sempoyongan, tidak memberikan pilihan lain bagi Arnak selain membantunya berjalan, berharap ia akan mendapatkan imbalan berupa makanan yang sudah lama tak ia rasakan.

Harapan hanya akan menjadi harapan, tanpa usaha nyata, Arnak tidak mendapatkan apapun dari usahanya menunggu bayangan itu. Alih-alih mendapat balasan baik, ia justru didorong dengan cukup keras hingga anak kurus itu tersungkur tak berdaya. 

Ingatan yang terasa seperti kemarin, tak kunjung letih mengganggu pikiran Arnak ditengah pembicaraannya dengan Masha. Dalam badai benak yang menerpa, kekuatan yang berasal dari luar menghancurkan pikirannya secara paksa dan brutal. Pendengaran anak itu dipekakkan oleh suara ledakan yang berasal dari balik gunung sampah yang menjunjung langit-langit.

Sebelum Arnak sempat bereaksi, tanpa sadar ia sudah berada tepat di depan pintu klinik dokter Filuk, sekali lagi, Masha meninggalkannya sendirian. Pemandangan dari kekacauan yang ia lihat pun terasa begitu asing dan membuatnya merinding.

Suara ledakan membuat orang-orang daerah kumuh yang pendiam berubah menjadi sekelompok semut yang barisannya diputus. Berlari kesana kemari, disertai suara riuh yang menambah kepanikan. Tentu, hal itu pun menarik perhatian dokter Filuk selaku pengawas yang ditugaskan untuk mencegah keributan yang terjadi di daerah kumuh.

Sesaat dokter Filuk menujukkan batang hidungnya, pada saat itu pula beberapa orang dengan cepat menerjang pria tua itu, sedangkan Arnak hanya bisa melihat dari pinggir. Orang tua itu jatuh tak berdaya, atau mungkin itulah hal normal yang akan terjadi jika seorang pria tua diterjang oleh sepuluh orang, namun, situasi yang Arnak pada saat itu benar-benar tak terpikirkan oleh orang normal.

Kenyataannya, pria tua itu, sang pengawas yang memiliki penilaian tajam terhadap banyak hal, berdiri tegap, tidak goyah, malahan, ia sempat-sempatnya membenarkan posisi jas putih panjangnya seakan ia sedang syuting film aksi. Berkebalikan dengan kondisi para penyerang yang langsung tersungkur pingsan tanpa bisa mengetahui penyebab dari kondisi mereka. 

Arnak meneguk ludahnya, tubuhnya merinding melihat sebuah kejadian yang tak bisa dilihatnya. Pandangannya yang getir menatap salah seorang yang pingsan lamat-lamat. Penampilannya tidak asing, benar saja, seorang perempuan yang baru saja memohon-mohon pada Masha merupakan salah seorang penyerang.

Secara tiba-tiba, dokter Filuk menyela benak Arnak yang melayang entah kemana, "kamu mengenal wanita ini?" tanyanya dengan nada bicara dan ekspresi yang berbeda 180 derajat dari sebelumnya.

Mendengar pertanyaan dari seorang pria tua berekspresi menyeramkan, tidak lebih dari sekadar sebuah situasi horor, cukup untuk membuat seorang remaja 14 tahun mengeluarkan keringat dingin dan mencoba untuk menyakangkalnya. Namun sebelum Arnak sempat menyangkalnya dengan gelengan kepala, dokter Filuk yang seakan dapat membaca pikiran sekali lagi menyela, "Haha, tidak perlu panik begitu Arnak, aku hanya menanyakan itu karena kamu sepertinya fokus sekali mengamati wanita itu."

Untuk sekejap, Arnak berhasil menghela napas lega, sebelum ia mendengar suara ledakan kedua yang lebih besar, bahkan gelombang ledakannya itu sampai membuat tanah bergetar dan menerbangkan debu yang berasal dari langit-langit. Pada saat yang sama, cahaya merah mawar tersebar sekejap mata sebelum memudar.

Rasa takut mengalahkan Arnak, membuatnya meringkuk seperti orang bodoh yang telah kehilangan harapannya. Sebaliknya, dokter Filuk menatap Arnak dengan mata yang agak kecewa.

Filuk berpikir bahwa mungkin saja Arnak dapat menjadi sebuah variabel baru yang membawa harapan bagi semua makhluk yang ada di dunia. Namun, ia secara sadar juga mengetahui bahwa individu yang berada di hadapannya hanya seorang anak kecil yang bahkan tidak bisa mengingat tempat tinggalnya.

Pada saat itulah, secara tak sadar, harapan dan kenyataan yang dipikul Filuk di alam bawah sadarnya, menepuk pundak Arnak dan berkata, "Jika kamu takut akan sesuatu, maka hadapilah, jangan lari darinya." 

Arnak yang memeluk kedua kakinya erat-erat, perlahan mengangkat kepalanya, dan menatap Filuk dengan mata yang kalut. Tidak sampai disana, Filuk pun melanjutkan kata-kata motivasinya. "Keluarga selalu melindungi satu sama lain, dan Masha, orang yang kamu anggap sebagai keluarga sedang berada dalam bahaya menghadapi penyebab dari ledakan yang kamu takuti. Arnak, apa kamu lebih takut pada ledakan, atau kehilangan kakakmu yang berharga?"

Kalimat Filuk seketika menusuk hati Arnak, jauh di dalam alam bawah sadarnya, Arnak menginginkan seseorang untuk memberikan kehangatan padanya. Lalu, satu-satunya orang yang benar-benar pernah memberikan hal itu, adalah Masha.

Sebelum Arnak dapat memikirkan alasan apapun, kakinya bergerak lebih cepat dari pikiran maupun rasa takutnya.

Fins, peri yang sedari tadi melihat keduanya dalam diam, keluar dari mode tersembunyinya, dan mengungkapkan kekhawatirannya pada temannya itu, "Filuk, apa kamu yakin mengirim anak itu untuk menemui peruwujudan kekacauan kosmik?"

"Hahh... Aku sendiri juga terkejut karena melakukan ini. Tapi, aku juga penasaran dengan harapan tipis yang saat ini ingin aku pastikan."

"Dasar gila," sahut Fins.

"Banyak yang bilang begitu," secara lembut, Filuk menghela napas dan melanjutkan. "Namun, aku cukup yakin dia bisa selamat dari itu, bahkan, dia mungkin akan menyelesaikan masalah disana."

"Darimana kepercayaan itu berasal?" 

"Aku sebelumnya baru akan menjelaskan padamu tentang simbol yang dimiliki anak itu, kan? Sekarang, aku akan memberitahumu, anak itu memilik simbol naga berbadan panjang yang memakan ekornya sendiri."

"Apa..!? Lalu kamu mengirimkan seseorang seperti itu tanpa persiapan, apa kamu gila?!"

"Justru sebaliknya. Apa kamu tahu bahwa selalu ada kalimat kecil dari bahasa bintang kuno yang akhirnya membentuk sebuah simbol?" Fins hanya diam, ia mengetahuinya, namun ia penasaran, kalimat macam apa yang akan merepresentasikan takdir anak itu.

Filuk tidak bisa menahan senyumannya, ia menatap puncak dari gunung sampah dan berkata, "Pelindung kebebasan, pembawa kebebasan, dan penghancur kebebasan palsu."