"Bahagia"
Satu kata itu meruak ke dalam hati Arnak, membanjiri pembuluh darahnya dengan perasaan yang belum ia ketahui. Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebuah jarum detik, pupil matanya pun membesar seakan dia menjadi sebuah boneka.
Suasana hening yang begitu khidmat, menghentikan keduanya dari bereaksi. Filuk hanya berdiri memperhatikan anak itu dengan senyuman hangat pada wajahnya.
Menyadari ekspresinya itu, Arnak sekali lagi bertanya, "Tuan Filuk, kenapa kamu tersenyum?"
Filuk terkekeh, mencoba menutupi mulutnya dengan tangannya yang sudah keriput, "Kalau begitu, aku akan bertanya balik. Kenapa Arnak, selalu terlihat sedih?"
Arnak sekali lagi terdiam. Dia tidak pernah memikirkannya. Semenjak Arnak lahir, ia selalu melihat dua ekspresi yang sama, "marah" dan "sedih", tidak kurang, tidak lebih.
Setelah mendengar pertanyaan yang bahkan tidak pernah muncul di benaknya, Arnak menjadi semakin memikirkan "rasa" yang selama ini selalu bersarang didalam hatinya.
"Tuan Filuk, bahagia itu apa?"
"Bahagia itu, adalah saat kamu tersenyum, dan sedih itu, adalah saat kamu merasa sakit."
"Sakit... Tapi, aku tidak sakit." Arnak mengepalkan tangannya di depan dadanya.
Filuk berjalan mendekat kearah Arnak, sedikit berlutut, dan menatap wajah Arnak yang tertunduk dari bawah. "Arnak, sakit, tidak selalu terlihat. Sakit, tidak selalu berada pada tubuhmu, kesakitan, bisa berasal dari jiwamu."
"Jiwa?"
Filuk kembali berdiri, tersenyum kecil, lalu membalikkan badannya sembari berkata, "Pelajarilah, apa yang aku maksud dengan jiwa. Arnak, kamu anak yang baik, aku yakin, jiwamu akan merasa sakit saat keluargamu meninggalkanmu."
Pada saat itu, Arnak tersadar, bahkan sebelum ada alasan yang terbesit dari otaknya, Arnak menggerakkan kakinya, semakin cepat, ia berlari, dan sebelum ia menyadarinya, air mata membasahi pipinya.
Filuk yang melihat pemandangan itu, sekali lagi terkekeh sembari berlari mengejar Arnak yang dalam waktu singkat berhasil memperlebar jarak diantara mereka.
Namun, tak butuh waktu lama sampai Filuk dapat mengejar Arnak yang berlari dengan kecepatan penuhnya. "Arnak! Apa kamu tahu dimana Masha berada?!"
"Aku tidak tahu, tapi aku ingin melihatnya sekali lagi." Arnak mengerutkan wajahnya saat kalimat yang rumit keluar dari mulutnya itu.
Filuk mendengus pelan, merasa senang dengan ucapan yang begitu polos dari seorang anak muda yang sudah lama tidak ia lihat di dunia ini, "Ikuti aku, aku akan mempertemukanmu dengan keluargamu."
Setelah berkata begitu, Filuk berlari sedikit lebih cepat untuk menguji kemampuan fisik Arnak yang dapat bertahan di permukaan yang dipenuhi dengan radiasi kosmik.
Sempat terkejut dengan kecepatan Filuk yang tiba-tiba bertambah, Arnak pun mau tidak mau mengeluarkan semua kemampuannya untuk berlari sekuat tenaga.
Kejadian itu tampak layaknya kakek dan cucunya yang sedang bermain kejar-kejaran dengan semua yang mereka miliki seakan tidak ada hari esok.
Hal itu terus berlangsung, sampai keduanya berakhir tersungkur diatas tanah, di depan bangunan bernuansa coklat, dan dihiasi dua lentera merah yang terpasang di depan teras pintu masuk.
Pintu itu tampak seperti pintu tradisional rumah jepang, cara membukanya digeser, dari momen pintu digeser, seseorang menampakkan dirinya dihadapan kedua orang bodoh yang menghabiskan tenaganya hanya untuk berlari.
Seorang gadis tampak keluar dari bangunan itu, memantulkan bayangan seorang remaja dan kakek tua yang tersungkur diatas tanah, tak berdaya karena kehabisan stamina.
"Hah... Apa yang sebenarnya sedang kalian lakukan, sih?" Gadis itu, Masha memasang pose kebingungan saat melihat keduanya.
Saat mendengar suara yang familiar, meski mereka baru bertemu dan mengobrol selama beberapa jam, Arnak merasakan kehangatan pada dadanya.
Arnak mengangkat kepalanya dari tanah, matanya yang berbinar melihat seseorang yang baru saja ia kenal, seseorang yang bahkan bukan berasal dari tempat asalnya.
Meski begitu, suaranya, rupanya, setiap mimik wajahnya, berbeda dari semua orang yang pernah dilihatnya. Sesuatu, yang belum pernah ia rasakan, berbanding terbalik dengan rasa dingin dan kejam yang selama ini selalu ia terima.
"Kehangatan"
Untuk pertama kalinya, Arnak secara tidak sadar mengingat semua momen "hangat" yang ia rasakan dari tempat yang begitu dingin ini.
Makanan hangat pertamanya, orang yang berbicara dengan senyuman pada wajahnya, bahkan nama pertamanya semenjak lahir.
Pada saat itu, Arnak tidak dapat sepenuhnya mengerti, bahwa apa yang berada tepat di depannya, disebut dengan "Kebahagiaan" dan "Kehangatan", sesuatu yang tidak pernah ia cari sebelumnya, sesuatu yang bahkan tak pernah terbesit didalam benaknya.
Dengan suara yang sedikit tertahan oleh rasa gugup, Arnak membuka bibirnya, "Kak Masha, aku...."
Masha yang sudah mengetahui apa yang hendak diucapkan Arnak segera menyela, dan mengusap kepala Arnak. Matanya menghindari kontak dengan Arnak, pipinya merah merona, "M-maafkan aku, Arnak, tidak seharusnya aku bereaksi berlebihan seperti itu. Apa kamu mau memaafkanku?"
Arnak meneguk ludahnya, tidak menyangka permintaan maaf akan datang dari orang lain. Karena dimasa lalu, ialah yang selalu meminta maaf entah itu salahnya ataupun bukan.
Sekali lagi, pengalaman hangat pertama Arnak, ditunjukkan oleh seorang gadis muda yang bahkan belum pernah melihat keluarga kandungnya seumur hidupnya.
Namun hal itu tidak mengubah kenyataan bahwa gadis itu memiliki kebaikan dan kelapangan hati untuk menerima seseorang yang identitasnya belum jelas seperti Arnak untuk menjadikannya sebagai anggota keluarganya.
Meskipun sedikit, pada hari itu, salah satu pintu hati Arnak yang selama ini membeku, meleleh dengan cara yang begitu misterius nan indah disaat yang bersamaan.
Filuk, menggosok bagian bawah hidungnya, merasa bangga dapat melihat momen hangat itu diumurnya yang sudah tidak muda lagi. "Huhu, anak-anak memang sudah seharusnya seperti ini."
"Apa sih yang kamu katakan dokter Filuk, cepat berdiri dari situ, kamu mengotori pakaian kerjamu yang begitu berharga itu, tahu." sela Masha yang langsung menarik Filuk dengan tangan kirinya, sedangkan disebelahnya, Arnak juga ditarik masuk ke dalam bangunan.
Di dalam bangunan itu, penerangan menjadi dua kali lebih terang dibanding semua tempat yang sudah Arnak lihat, kecuali bangunan yang ada di balik gunungan sampah.
Karena hal itu pula, Arnak yang sebelumnya merasa begitu terpuruk, seketika menunjukkan semangat yang belum pernah ditunjukkannya. "Wah! Ada lampu yang menyala terang!"
Cahaya itu memantul kembali dari gelas-gelas kaca yang tampaknya digunakan untuk meramu obat-obatan. Tempat itu juga jelas lebih bersih, tanpa debu, dan tanpa ada kerusakan pada setiap barang.
Satu ruangan 10 x 8 meter itu bisa disebut sebagai klinik melihat ada banyaknya kasur dan peralatan medis yang canggih, bahkan, ada beberapa diantara peralatan itu yang tidak ada dari tempat asal Arnak.
Filuk tersenyum, ia duduk diatas kursi yang terdapat tepat disebelah kanan pintu masuk, di pojok ruangan, dengan mejanya yang dipenuhi buku-buku tebal yang isinya pun tidak akan dimengerti siapapun yang berasal dari daerah kumuh sejak lahir.
"Haha, aku senang kamu bersemangat melihat tempat tinggal ku Arnak, namun sebelum melanjutkannya, maukah kamu menjalani pemeriksaan singkat," ucap Filuk sembari menunjuk kearah kursi diseberang meja kerjanya.