Chereads / Gadis Pembunuh Tanpa Cinta Tanda Sejati / Chapter 15 - Chapter 15 Waktu

Chapter 15 - Chapter 15 Waktu

--

Chapter 15 The Silent

: Waktu Yang Terbuang

Ketika dia telah menyesali apa yang telah dia lakukan dengan tindak yang sangat bodoh di matanya, ada seseorang yang mengetuk pintu ruangannya dan masuk dengan sangat sopan.

"Permisi," begitu dia mengetahui bahwa Silvax telah terbangun duduk, dia langsung berwajah agak senang kemudian berjalan mendekat.

"Apa kau baik-baik saja sekarang, haruskah aku memanggilkan perawat untuk mengantar berapa makanan untukmu..." dia tak lain adalah seorang Dokter yang memakai pakaiannya itu yang sudah terlihat sekali, ia langsung mendekat dan memeriksa detak jantung selepas dengan stetoskop nya.

Diantara kebingungan yang telah menghantui Silvax, dia mencoba memberanikan diri untuk bertanya apa yang terjadi. "Sebenarnya, apa yang terjadi dan di mana aku sekarang dan bagaimana aku berakhir seperti ini? Tolong katakan sesuatu padaku?" tatapannya sangat lemas di mata dokter itu, kemudian dokter itu yang masih terlihat sangat muda menjawab dengan suara yang sangat ramah.

"Jadi kamu ingin tahu kenapa kamu bisa terbangun di tempat seperti ini?" kata dia sambil menarik sebuah kursi untuk duduk di dekat samping ranjang Silvax.

"Ya, aku sangat ingin tahu, tolong beritahu aku..." Silvax menatap sekali lagi, dan dia menginginkan fakta.

"Saat itu aku hanya sedang menjalankan pekerjaanmu ketika aku mendengar sebuah tugas dari seorang pria yang menggendong seorang gadis sepertimu dan meminta dengan sangat memaksa untuk mendahulukan dirimu yang tengah terluka dan hampir mengalami kritis, dia terus memaksaku untuk mengobatimu, sampai pada akhirnya kami meletakkanmu di ruang operasi dan ketika dana yang telah dibayarkan oleh lelaki tersebut membuat kami langsung mengoperasimu dan melihat apa yang telah terjadi padamu, tapi ketika kami selesai mengoperasimu, kami sama sekali tak menemukan walimu, tepatnya orang yang mengantarmu tadi, karena kondisimu ini, kamu sudah tidur selama dua minggu lebih, dan juga pria itu tidak pernah terlihat lagi dan sepertinya meninggalkanmu di sini dan dia juga telah membayarkan semua biaya operasi maupun penginapan rumah sakit untukmu..." kata dokter itu membuat Silvax tampak tak percaya.

"(Sekali saja aku mendengar apa yang dia katakan soal mengatakan pria di dalam ceritanya itu, aku langsung berpikir bahwa itu memanglah si sialan Alfavian, dan ini sekali lagi membuat ku berpikir kenapa dia melakukan itu setelah dia hampir membunuhku, bukankah itu semua tidak masuk akal, dia seharusnya membiarkan ku mati di tengah jalan yang sangat dingin...)"

Ia tampak terdiam, tatapan matanya kosong sejenak, dan mulutnya sedikit terbuka seolah tak mampu mengeluarkan kata-kata. Silvax berusaha menenangkan pikirannya, meresapi setiap detik yang berjalan, namun semua itu terasa seperti awan gelap yang menghalangi pandangannya. Langkah kaki dokter yang masih berdiri di sampingnya terasa begitu jelas di telinganya, namun seperti ada jarak yang memisahkan antara mereka. Ia mencoba memalingkan wajahnya, menarik napas dalam-dalam, seolah ingin mengusir segala kebingungannya, dan untuk sesaat dia menatap kosong keluar jendela, melihat cahaya matahari yang mulai meredup.

Tapi kemudian, kembali ia menatap wajah dokter itu yang masih menunggu dengan sabar, penuh ketenangan yang justru semakin membuatnya merasa tertekan.

"Tapi... apa yang terjadi dengan kakiku?" tanyanya dengan suara yang tergetar, penuh ketidakpercayaan.

Dokter itu menatapnya dengan mata yang penuh simpati, dan kemudian menghela napas pelan. "Kedua kakimu untuk selamanya mungkin akan lumpuh...." Dengan tegas dan langsung, dokter itu menyampaikan kenyataan pahit yang membuat dada Silvax terasa sesak. Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar, membuat seluruh tubuhnya seakan terbalik, merasakan kepedihan yang tak terbayangkan sebelumnya.

Silvax menunduk, wajahnya memerah, dan seketika itu juga amarahnya meledak. Wajahnya menjadi sangat tegang, mulutnya terkatup rapat, dan pipinya memerah karena menahan kemarahan yang tak tertahankan. Dia tahu betul apa artinya jika kedua kakinya lumpuh. Kehidupan yang selama ini ia bayangkan akan sangat berbeda, hilang begitu saja. Dan kini, keputusannya untuk menghadapi kenyataan itu terasa semakin sulit.

"Sial!! Kenapa harus terjadi!!" Suaranya terangkat tinggi, penuh kekesalan yang tak bisa ia tahan lagi. Tangan Silvax mengepal kuat, seolah ingin menghancurkan rasa frustasi yang mengalir begitu dalam dalam dirinya.

Dokter itu tetap diam, tetapi ada tatapan penuh pengertian di matanya. Dengan lembut, dia mencoba untuk menenangkan Silvax. "Kami akan berusaha, kami akan lakukan yang terbaik untukmu. Tapi prosesnya akan lama dan kamu harus sabar." Suara dokter itu menenangkan, meski tak bisa menghapus luka yang tengah membekas. "Nikmatilah waktu-waktu yang ada di rumah sakit ini, kami akan mendampingimu. Jangan ragu untuk menghubungi seseorang jika kamu merasa bosan... Mereka bisa membantumu untuk mengatasi rasa sepi itu."

Dokter itu berdiri dan melangkah pergi, namun sebelum berbalik, ia sempat memberikan senyuman kecil yang penuh penghiburan, meskipun ia tahu itu tak akan menghapuskan rasa sakit yang tengah dirasakan Silvax. Silvax masih terdiam, tak menggerakkan tubuhnya sedikit pun, hanya duduk di sana, merasakan dunia yang terasa begitu sunyi, seolah ia terjebak dalam ruang hampa, di mana tak ada lagi jalan keluar.

"(Kenapa harus terjadi, jadi selama ini aku telah membuang waktuku, aku bahkan tak bisa kembali ke rumah dan malah melewatkan ujian kampus yang begitu penting, sialan!!)" dia tambah bernada sangat putus asa sekali, dan begitulah bagaimana dia berakhir.

Karena sudah berminggu-minggu nama Silvax tidak ada di telinga Ziandru Auriga yang sekarang terlihat berjalan sambil melihat ke ponselnya terus-menerus, dia saat ini ada di samping jalan raya dan akan berjalan ke sebuah mobil, tak lupa dia juga terlihat seperti memakai masker dan kacamata hitam.

Di depannya sudah ada mobil mewah dan muncul seorang pria yang mengemudikan mobil itu dengan keluar untuk membukakan pintu bagi Ziandru Auriga.

"Lewat sini Tuan," kata pria itu membukakan kursi tengah untuk Ziandru Auriga masuk dan duduk di sana, ia juga terus memandangi ponselnya dan saat si sopir masuk mengemudi untuknya dia hanya terus fokus ke ponselnya saja.

"Tuan apa kita akan langsung ke rumah?" tanya sopir tersebut.

Untuk sebentar terdiam Ziandru Auriga langsung membalas singkat. "Ya."

Si sopir kemudian langsung menjalankan mobilnya, diantara jalanan yang ramai dan Ziandru Auriga yang tetap menatap ponselnya menjadi menghela napas yang sangat panjang sambil membuka maskernya.

"(Hari ini sudah berminggu-minggu di mana aku benar-benar sudah mengakui bahwa aku harus menjalankan karirku sekali lagi karena dorongan oleh seseorang gadis yang begitu sangat berbeda dari semuanya, untuk berhari-hari sebelumnya aku memang sudah mendapatkan nomor ponsel miliknya tetapi ketika aku mengirimkannya ponsel, ada tanda-tanda muncul bahwa dia telah mengganti nomor ponselnya, aku benar-benar sangat khawatir dengannya, dan aku juga masih bertanya-tanya soal pekerjaannya, aku juga ingin bertemu dengannya sekali lagi,)" pikirnya dengan sangat khawatir juga sangat putus asa, bagaimanapun juga dia terus memikirkan Silvax yang namanya sudah tidak terdengar lagi, bisa jadi Silvax sudah tinggal di London.

Ziandru Auriga berpikir bahwa Silvax memang masih tinggal di London tapi berbeda dengan pemikiran dosen yang sangat pintar satu ini yakni Delmar yang saat itu terakhir kali mengajari Silvax karena hanya ingin menghabiskan waktu bersama Silvax sendiri.

Dia saat ini dia tengah membaca bukunya di sofa di antara perpustakaannya yang sangat tinggi juga banyak sekali buku di sana, awalnya dia fokus pada apa yang dia baca dalam tulisan buku, tapi lama-kelamaan dia menghentikan tatapannya pada buku tersebut dan langsung menoleh ke jendela, sambil menghela napas panjang dia juga terpikirkan oleh Silvax.

"(Gadis itu benar-benar tidak menepati janjinya, dia bilang dia hanya akan di London selama satu minggu kurang, tapi kenapa ini sudah ada tiga minggu lebih dia tidak ada di sini, bahkan dia sudah meninggalkan kelas juga melewatkan sebuah ujian penting, aku curiga dia meninggalkan kampusnya dan juga kehidupannya di sini, aku juga tak bisa menghubunginya dan pihak kampus terpaksa melakukan tindakan jika dia dalam satu minggu kedepan tidak ada kabar maka pihak kampus akan mengeluarkannya dari kampus, tapi berbeda denganku aku masih memikirkan soal tantangan yang pastinya masih dikerjakan oleh gadis itu, masih ada beberapa minggu untukku menagih cerita tersebut, tapi mau bagaimana lagi aku sudah yakin dia pasti tak bisa menyelesaikannya...)" pikirnya dengan wajah yang ragu kemudian diantara dia melihat jendela yang memperlihatkan suasana luar dan langit yang begitu cerah, dia menjadi menatap kembali ke bukunya dan mulai melanjutkan apa yang dia baca, layaknya dia hanya berpikir sebentar kemudian langsung memfokuskan pandangannya ke apa yang ia fokuskan dari tadi.

Tak hanya ada dia saja yang memikirkan Silvax, tapi masih ingatkah padahal lelaki yang saat itu berkunjung ke pintu apartemen Silvax dan mengenalkan dirinya bahwa dia adalah seorang musisi piano juga menawarkan Silvax untuk bergabung dengannya tapi Silvax langsung menolaknya tanpa ada bagian perkenalan, dia saat ini tengah mengamati pianonya dan sepertinya terlihat bahwa dia akan pindah apartemen, dengan wajah yang ragu dia menatap pintu apartemen Silvax dengan memikirkan bagaimana dia bertemu Silvax dan dia menyadari bahwa itu adalah terakhir kali bertemu Silvax.

"(Sebenarnya aku bertemu dengan gadis itu ketika tak sengaja mendengar suara melodi yang sangat indah di apartemen ini, hal itu membuatku sangat tertarik untuk terus mendengarkannya tanpa harus membuat gadis itu merasa sangat aneh pada lagunya sendiri. Melodi yang begitu sangat indah membuatku tak tahan lagi ingin pindah di dekatnya dan itu berhasil membuatku menciptakan sebuah lagu yang terinspirasi dari pandangan matanya yang begitu indah juga bagaimana gerak-geriknya menjawab pertanyaanku, tapi selama berminggu-minggu ini aku tak bisa mendekatinya karena aku sudah berkali-kali mengetuk pintu apartemennya dan dia sama sekali tak menjawabnya, sepertinya aku tak ada kesempatan untuk menawarkannya kembali bergabung dengan pianoku yang sudah kesepian ini. Aku juga tak tahu dia pergi ke mana...)" pikirnya dengan sangat sedih tapi kemudian ada seseorang yang datang mendekat padanya, dia mengatakan sesuatu soal ke mana lelaki itu akan pergi.

"Tuan… Anda akan pergi ke London dan penerbangan Anda akan sebentar lagi," orang itu membicarakan soal London itu berarti mungkin ada kemungkinan dia bisa bertemu dengan Silvax di antara luas nya London.