Chereads / Gadis Pembunuh Tanpa Cinta Tanda Sejati / Chapter 18 - Chapter 18 Kembali

Chapter 18 - Chapter 18 Kembali

"Tapi percayalah, dia memainkan Biola dengan sangat indah, dan sekarang.... Dimana biola mu, dimana musik yang akan kau mainkan?" lelaki yang bernama Fandiyar itu menatap sekitar dan malah menjadi menatap khawatir pada Silvax.

Lalu Fadgham membantu membalas. "Itu mungkin dulu, karena sekarang, dia lumpuh, dia bahkan tak bisa melihat barang barang nya di rumah," tatapnya seketika Fandiyar menjadi kecewa. "Sayang sekali... Kalau begitu, apakah aku bisa menawari mu kolaborasi musik dengan ku ketika kamu sembuh nanti?" Fandiyar menatap ke Silvax.

Silvax hanya terdiam hingga dia mengatakan sesuatu. "Musik apa yang akan kita mainkan?"

Lalu Fandiyar tersenyum senang dan membalas dengan antusias. "Canon in d.... Itu adalah perpaduan musik piano dan biola yang indah, percayalah..."

Mendengar itu membuat Silvax teringat. "(Aku pernah tahu lagu itu... Tapi, itu adalah musik yang begitu sedih... Kenapa dia memilih musik yang itu..?)" ia tampak terdiam sedih, mengingat dia juga harus bersedih dengan kondisinya.

"Silvax..." Fandiyar menatap khawatir. "Kamu baik-baik saja kan? Setuju kan?"

Silvax tampak kembali berpikir dengan ragu, tapi setelah mendengar kalimat Fadgham. "Percayalah pada dirimu sendiri, adik ku memiliki sikap yang sangat tinggi jika dia ingin melakukan sesuatu, meskipun awal nya aku paksa dia, dia memang membenciku, tapi dia sekarang menjunjung ku," tatapnya.

Lalu Fandiyar menambah dengan tersenyum kecil dan memukul pelan bahu Fadgham. "Itu dulu.... Maaf sudah membencimu... Aku tak suka musik dan kau memaksaku, tapi setelah tahu akhirnya aku menjadi terkenal begini, aku harus mengucapkan terimakasih padamu..."

Lalu Fadgham juga tersenyum menatap ke arahnya. "Aku juga minta maaf, sudah memaksa mu dengan keras,"

"Un..." Fandiyar menggeleng dan tatapan mereka sama sama bahagia tapi di sini Silvax tampak suram. "(Terserah....)" ia membuang wajah.

Tapi Fandiyar menatap ke arahnya. "Jika kamu bisa bermain alat musik sesuai dengan musik yang sangat indah, maka kau akan memiliki hati yang tenang, semuanya bisa merubah mu, apalagi alat musik yang menyentuh, bisa sangat berarti untuk masa lalu dan masa depan..." kata Fandiyar.

Seketika Silvax terdiam mendengar itu, hingga tak lama kemudian dia tersenyum kecil. "(Sepertinya bermain musik sebentar akan membuat ku tenang.) Baiklah, tapi tunggu aku sembuh," kata Silvax membuat Fandiyar senang dan mengangguk cepat. "Jangan khawatir, aku akan menunggu..."

--

Setelah beberapa minggu berlalu, semuanya sudah kembali dengan baik, termasuk Silvax yang sepertinya sudah waktunya untuk sembuh dari penderitaannya karena si sialan Alfavian.

Saat ini, dunia telah diguncangkan oleh sebuah video yang sudah diunggah oleh sosok musisi yang sudah terkenal sangat lama. Di dalam video tersebut ada pasangan yang bermain musik dengan sangat indah. Alat musik yang digunakan antara lain adalah biola dan juga piano yang memainkan musik Canon in D yang sangat menenangkan.

Jika terdengar kata biola, mestinya akan terpikirkan sesuatu soal Silvax, mengingat bahwa dia begitu mahir memainkan musik dari biola dan juga mengingat soal tawaran milik Fandiyar yang sudah terlaksana.

Video yang telah diunggah oleh Fandiyar dengan persetujuan Silvax secara paksa telah diminati banyak orang dan nama dari Fandiyar telah menjulang tinggi.

"Silvax..." panggil Fandiyar yang menyapanya sambil berjalan dari lorong putih rumah sakit.

Di hadapannya ada Silvax dan Fadgham yang tadi mengobrol di depan meja farmasi. Begitu tahu Silvax dipanggil oleh Fandiyar yang datang dari rumah sakit, dia langsung tersenyum kecil dan menyilangkan tangan. Juga sudah terlihat bahwa dia telah berjalan dengan baik, tanpa kursi roda maupun bantuan apapun. Dia telah dibantu oleh Fadgham.

"Silvax, kamu sudah melihat laporan video yang aku unggah, kan?" Fandiyar menatap dengan sangat senang.

"Ya, selamat," Silvax menatap dengan tenang, lalu dia menatap ke Fadgham. "Aku kemari untuk melunasi uang rumah sakit yang selama ini telah menerimaku di sini. Perawatan kaki lumpuh pasti sangat berat untuk pihak rumah sakit, termasuk kau," tatapnya pada Fadgham.

Tapi Fadgham hanya tersenyum tenang. "Jangan khawatir, biaya rumah sakit sudah ditanggung oleh aku dan adikku, sebagai ucapan terima kasih karena kau berkolaborasi dengan adikku. Pasti setelah ini dunia maya sedang dihebohkan untuk mencarimu... Karena mereka kagum padamu, jadi mereka ingin mencari tahu lebih lanjut," kata Fadgham.

Lalu Fandiyar mengangguk sambil cepat. "Itu benar, Silvax. Bekerjalah bersama aku, mari kita menjadi musisi terkenal dan menciptakan musik yang baik sendiri... Dengan begitu kau tak perlu khawatir akan kehidupan dan ekonomi. Pekerjaanmu akan tetap mendukung, dan juga aku," tatapnya, sekali lagi menawari Silvax.

Tapi Silvax hanya tersenyum kecil. "(Cepat atau lambat, Alfavian pasti tahu bahwa aku masih hidup, jadi... Dia mungkin akan kembali padaku melalui video unggahan itu, kemudian dia menghampiriku dan membunuhku lagi... Karena sudah lama tidak menggunakan fisikku, aku hanya akan kembali ke kehidupanku yang sedari dulu aku lakukan...) Tidak, terima kasih," balas Silvax dengan tenang, membuat Fandiyar perlahan kecewa. "Kenapa?"

"Aku akan kembali ke pekerjaan dan kehidupanku sendiri, tak peduli apapun asalkan aku bisa belajar mempercayai orang yang satu persatu akan datang dalam hidupku. Sekali lagi, terima kasih..." Silvax menundukkan wajahnya.

"Jadi kau akan pergi?" Fadgham menatap, lalu Silvax kembali mengangguk.

"Baiklah, mungkin itu memang keputusanmu, ya... Semoga kita masih menjadi teman," tatap Fandiyar.

"Jika kau ingin pergi, tunggulah sebentar. Aku ingin memberikan sesuatu padamu..." tatap Fadgham.

"... Bisakah aku menunggunya di balkon atap rumah sakit?" kata Silvax, lalu Fadgham mengangguk.

"Kalau begitu, aku pergi ya... Silvax, terima kasih banyak," tatapnya dengan sangat senang hingga kemudian dia berjalan pergi untuk kembali meneruskan pekerjaannya.

Tak lama kemudian, terlihat Silvax sedang ada di balkon atap rumah sakit menatap keluar. Tepatnya, dia berdiri di atas rumah sakit dan tengah menatap pemandangan kota dari sana. Tatapannya agak kosong, apalagi mengingat soal apa yang terjadi sekarang. "(Sekarang, memangnya apa yang sedang terjadi? Aku akhirnya menghabiskan waktuku di rumah sakit, di sini... Dan sudah dipastikan, aku keluar dari kampus. Aku sudah lama tidak membuat novel dan menyentuh sniper kesayanganku. Jika tidak membunuh begini, rasanya aneh sekali... Tapi...)" Ia terdiam dan mendadak dia mengepalkan tangan, apalagi ketika mengingat soal Alfavian yang begitu sialan dan berniat membunuhnya.

Silvax masih saja tetap berdiri di balkon, angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya yang masih terlihat lelah setelah sekian lama berada di rumah sakit. Di dalam pikirannya, konflik-konflik masa lalu berputar-putar, membawa kembali kenangan-kenangan yang tidak ingin diingatnya. Ia teringat betapa Alfavian, pria yang pernah ia percayai dan bahkan cintai, telah menghancurkan hidupnya. Pikiran itu membuatnya mengepalkan tangan, tapi ia mencoba menenangkan dirinya sendiri.

"(Dia padahal yang membuat ku menumbuhkan rasa cinta, aku mulai merasakan hal yang bisa di sebut cinta... Dia mengajarkan ku banyak hal juga....)"

Tapi tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang dingin dan keras menekan bagian belakang kepalanya. Hatinya melonjak, dan tanpa perlu berpikir, ia tahu persis siapa yang berdiri di belakangnya. "Alfavian," bisiknya dalam hati, berusaha untuk tetap tenang.

"Jangan bergerak," suara dingin Alfavian terdengar jelas di telinganya. "Aku tidak akan ragu untuk menekan pelatuk ini. Tak kusangka kau bahkan masih hidup."

Silvax memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan ketakutannya. "Alfavian... kenapa kau harus melakukan ini?" Suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang. "Aku tidak pernah berpikir kau akan sampai sejauh ini."

"Aku tidak punya pilihan," jawab Alfavian dingin. "Kau tahu tugas ini lebih besar daripada perasaan atau apapun yang terjadi di antara kita."

"Tugas? Apa itu hanya alasanmu untuk membunuhku?" Silvax bertanya, suaranya terdengar getir. "Apa semua yang terjadi di antara kita hanya sandiwara untuk menyelesaikan tugasmu?"

"Awalnya, ya," jawab Alfavian dengan nada yang tak berperasaan. "Aku mendekatimu karena itu adalah perintah. Kau adalah targetku, Silvax. Aku diperintahkan untuk mendekatimu, membuatmu percaya padaku, dan kemudian menghabisimu. Itu semua bagian dari rencana."

Silvax terdiam. Ia sudah menduga bahwa ada sesuatu yang salah, tetapi mendengar pengakuan itu langsung dari Alfavian tetap membuat hatinya hancur. "Dan bagaimana dengan perasaanmu?" tanyanya dengan suara pelan. "Apakah semua itu juga hanya bagian dari rencana? Apakah benar-benar tidak ada sedikitpun kejujuran dalam apa yang kita jalani?"

Alfavian terdiam beberapa saat. Pistolnya masih tertodong di kepala Silvax, namun ia tidak segera memberikan jawaban. "Silvax...," akhirnya ia berbicara, suaranya sedikit melembut. "Aku... tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Pada awalnya, aku mengikuti perintah. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda."

Silvax membuka matanya dan menatap lurus ke depan, mencoba memahami kata-kata Alfavian. "Lalu kenapa kau masih di sini dengan pistol di kepalaku? Jika kau benar-benar peduli padaku, kenapa kau tidak membiarkanku pergi?"

"Aku tidak bisa," jawab Alfavian, suaranya kembali dingin. "Ini lebih besar dari perasaanku padamu. Mereka tidak akan membiarkanku hidup jika aku gagal dalam misi ini."

"Jadi kau lebih memilih untuk membunuhku daripada mempertaruhkan hidupmu sendiri?" Silvax bertanya, suaranya mulai dipenuhi dengan rasa frustrasi dan kepahitan. "Apa kau begitu takut pada mereka? Atau kau hanya takut mengakui bahwa kau mungkin benar-benar mencintaiku?"

"Diam!" seru Alfavian, menekan pistolnya lebih keras ke kepala Silvax. "Jangan bicara soal cinta padaku. Cinta hanya membuat orang lemah. Itu membuatku lengah, dan aku tidak bisa membiarkan itu terjadi."

Silvax menggigit bibirnya, mencoba untuk menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Alfavian... aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi aku tahu satu hal. Aku tidak pernah berhenti mencintaimu, bahkan setelah aku tahu semua kebohonganmu. Jika kau harus membunuhku, lakukanlah. Tapi ketahuilah ini, kau juga telah membunuh bagian dari dirimu sendiri."

Alfavian terdiam lagi, kali ini lebih lama. Suara angin di sekitar mereka terasa begitu dingin dan sunyi. Ia tidak bergerak, tidak berbicara, dan Silvax bisa merasakan kebingungan yang mulai menguasai pria itu.

"Aku..." suara Alfavian terdengar ragu. "Aku tidak ingin ini berakhir seperti ini. Tapi aku tidak tahu bagaimana lagi harus bertindak."