Chereads / Gadis Pembunuh Tanpa Cinta Tanda Sejati / Chapter 19 - Chapter 19 Pulang

Chapter 19 - Chapter 19 Pulang

"Kau bisa mempercayaiku," Silvax berkata dengan lembut, suaranya hampir hilang ditelan malam yang sunyi. Ia menghadap Alfavian dengan ekspresi penuh harap, mencoba menembus ketegangan yang membekap antara mereka. "Kita bisa melarikan diri bersama. Kita bisa memulai kembali, jauh dari mereka, jauh dari semua ini. Tidak ada yang perlu tahu. Aku hanya ingin kita bisa hidup dengan tenang."

Alfavian hanya berdiri, tangan menggenggam senjata dengan gemetar. Jantungnya berdebar keras, seperti ada beban tak terungkap yang menekan dadanya. "Kau tidak mengerti," bisiknya, suaranya terdengar getir, hampir pecah. "Mereka akan menemukan kita. Tidak peduli sejauh apa kita melarikan diri, mereka tidak akan pernah membiarkan kita hidup damai."

Silvax bisa merasakan ketegangan itu, bisa melihat ragu yang menghantui mata Alfavian. Ia berbalik sedikit, mencoba mencari cara untuk membuat pria itu melihat secercah harapan. "Tapi kita bisa mencoba," ujarnya, matanya penuh tekad. "Aku bersedia mengambil risiko itu. Asalkan aku bersamamu."

Alfavian menatap Silvax dengan pandangan yang tajam, namun seiring berjalannya detik, pandangannya mulai melemah, mencerminkan pergolakan hati yang begitu mendalam. Tangan yang menggenggam pistol itu mulai gemetar, seolah ada magnet yang menariknya menjauh dari keputusan yang sudah ia buat. Perlahan, ia menarik kembali senjatanya, membiarkan hawa dingin malam mengisi ruang kosong yang tertinggal.

"Kenapa?" Silvax bertanya dengan suara bergetar, rasa penasaran tercampur ketakutan. "Kenapa kau menarik senjatamu?"

Alfavian menatapnya lama, seolah sedang mencari jawaban yang tak ada. Akhirnya, ia menghela napas dalam-dalam, seolah beban dunia ada di pundaknya. "Aku... Aku tidak bisa melakukannya. Tidak lagi. Aku... terlalu mencintaimu untuk membunuhmu, Silvax."

Silvax terdiam, tak tahu harus berkata apa. Air mata yang telah lama ditahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya. Ia berbalik menghadap Alfavian, tatapannya dipenuhi rasa sakit dan cinta yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. "Alfavian, kita bisa melarikan diri sekarang. Kita bisa meninggalkan semua ini di belakang kita. Tolong, jangan kembali ke dunia itu."

Kata-kata Silvax bergema dalam hati Alfavian, menyentuh sisi lembut yang selama ini terkubur dalam dirinya. Namun, saat itu juga, suara langkah kaki terdengar mendekat, memecah keheningan malam yang semula tenang. Alfavian, dengan cepat, menarik Silvax ke sisinya dan bersembunyi di balik sudut balkon. Wajahnya tegang, penuh kecemasan, menyadari bahwa waktu mereka hampir habis.

Dari tempat persembunyian mereka, Alfavian bisa melihat beberapa pria berpakaian hitam berjalan mendekat, dengan senjata di tangan. Mereka adalah rekan-rekannya, orang-orang yang dikirim untuk memastikan bahwa Alfavian menyelesaikan tugasnya. Masing-masing dari mereka melangkah dengan penuh keyakinan, tidak mengetahui bahwa mereka sudah tertipu oleh keraguan di dalam hati Alfavian.

"Mereka sudah di sini," bisik Alfavian dengan nada putus asa, melihat bagaimana bayangan-bayangan pria itu semakin jelas dalam kegelapan. "Kita tidak punya banyak waktu."

--

Setelah beberapa kali mencoba berpikir jernih, Silvax akhirnya bisa menghela napas panjang. Ia menatap Alfavian yang terlihat semakin gelisah, pria itu tampak terperangkap dalam kecemasan yang membayangi setiap geraknya. Dengan sedikit gerakan, Silvax menggeser tubuhnya, memberi ruang lebih bagi mereka untuk bersembunyi.

"Hei, dengar..." Silvax menatap mata Alfavian, memaksa pria itu untuk menatapnya kembali. Pandangan mereka saling bertemu dalam keheningan yang penuh makna.

"Lempar aku ke bawah... Anggap saja kamu kehilangan aku..." Silvax berkata dengan ketenangan yang tampaknya hanya dimiliki oleh seseorang yang telah memutuskan untuk mengorbankan segalanya demi kebebasan.

"Apa kau gila... Tidak mungkin aku melakukan itu... Tidak, aku tidak akan melakukannya... Kau bisa mati jika jatuh..." Alfavian menjawab, suaranya penuh kekhawatiran. Matanya tampak terbuka lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja didengar.

"Kenapa kau menjadi takut? Bukankah kau ingin aku mati... Atau kau terpaksa menjalankan tugasmu?" Silvax menatapnya tajam, seolah-olah bisa melihat kebingungan yang ada dalam diri Alfavian.

Ekspresi Alfavian berubah seketika. Kecewa, terluka, dan bahkan sedikit bersalah. Ia menunduk, tampak seolah sedang mempertimbangkan sesuatu yang dalam. Hatinya berperang, seakan-akan segala keputusan yang telah ia buat selama ini mulai runtuh. "Aku... Aku belum pernah merasa senang berada di sekitar seorang gadis..." ujar Alfavian dengan nada yang penuh kejujuran. "Aku juga tidak pernah berbicara dengan baik... Aku senang berada di dekatmu, tapi, aku tahu kau juga sama-sama berbahaya..."

"Kau mengerti itu..." Silvax membelai pipinya dengan lembut, mencoba menyampaikan perasaan yang bahkan ia sendiri tak mampu ungkapkan. Namun, sebelum Alfavian sempat melanjutkan kata-katanya, sebuah pukulan keras terdengar, membuat tubuh Alfavian terlempar keluar dari tempat persembunyian mereka.

"Akh?" Alfavian terperanjat, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Semua orang yang menunggu mereka di luar terkejut, menatapnya dengan ekspresi terkejut.

"Alfavian?!" Mereka semua serentak menyebutkan nama itu, masih belum percaya dengan kenyataan yang baru terjadi. Tapi, Silvax yang sudah siap, muncul dengan kecepatan luar biasa, melompat melewati mereka tanpa terdeteksi. Dalam sekejap, ia sudah melompati balkon dan terjun ke bawah, menghilang dalam kegelapan malam yang pekat.

"Silvax!!!!" Teriak Alfavian dengan penuh rasa takut dan panik, matanya tak percaya saat ia melihat Silvax menghilang begitu saja. Tanpa berpikir panjang, ia segera berlari ke tepi balkon untuk melihat ke bawah, namun yang ia temui hanya kegelapan dan keheningan yang mencekam. Tidak ada Silvax di sana.

Sementara itu, pria-pria yang sebelumnya menunggu di bawah menatapnya dengan tatapan tajam. "Alfavian.... Kau gagal..." kata salah satu dari mereka, suaranya dipenuhi dengan ancaman.

Alfavian terdiam, matanya kosong, namun akhirnya ia tertawa kecil, seperti menyadari betapa konyolnya situasi yang ia hadapi. "Ha.... Hahaha... Aku melakukan hal yang bodoh sekali di sini..." Ia tertawa, meski hatinya hancur, ia mencoba menerima kenyataan bahwa segala sesuatu sudah terlambat.

"(Dia membuatku mati sekarang....)" pikirnya, matanya menatap kosong ke depan.

"Alfavian, sesuai perjanjian. Jika kau gagal, maka nyawamu menjadi gantinya.... Kita anggap gadis itu mati dan pembunuh sebenarnya akan kita bunuh..." Ucap salah satu pria dengan suara yang dingin dan tegas.

Meskipun ada ancaman yang jelas di depan matanya, Alfavian hanya bisa tersenyum pahit, tak mampu lagi menahan perasaan yang mengganjal di dalam hati. "Ini baik-baik saja... Aku hanya ingin tahu bahwa aku pernah merasa lebih baik di samping seorang gadis..." gumamnya pelan, seakan-akan ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa segala hal yang terjadi memiliki makna.

Sementara itu, Silvax terus berlari, tubuhnya melesat seperti bayangan, menjauh dari masa lalu yang kelam. Ia berhenti sejenak di gang kecil, menghela napas lega. "(Aku berhasil pergi.... Mereka tidak mengejar. Ketika aku lompat, aku menahan tubuhku memegang pagar lantai lain dan turun dengan cepat... Sekarang aku hanya harus kembali ke Korea....)" pikirnya dengan lega.

--

Setelah beberapa hari berlalu, terlihat Silvax turun dari taksi yang mengantarnya ke sebuah tempat yang sunyi. Tidak ada suara kendaraan, hanya gemerisik dedaunan yang tertiup angin. Tempat itu sangat terpencil, jauh dari hiruk-pikuk kota, dikelilingi oleh hutan yang lebat. Hanya ada sebuah rumah kecil di depannya, terbuat dari kayu yang warnanya sudah memudar, seakan menyatu dengan alam sekitar. Halamannya luas, dipenuhi rerumputan liar yang bergoyang lembut diterpa angin, sementara bayangan pepohonan yang tinggi menjulang menutupi sebagian besar cahaya matahari.

Seorang pria paruh baya yang menjadi sopir taksi itu sibuk menurunkan koper-koper besar milik Silvax, terlihat sedikit kesal dengan jumlah barang yang harus ia keluarkan. Di sebelah taksi, terlihat beberapa kardus yang tampaknya cukup berat, ditumpuk dengan sembarangan di atas tanah.

"Astaga, lelah, Nona... Kau membawa barang sebanyak ini hanya untuk pindah ke tempat kecil ini... Dasar, kau seperti tidak punya kerjaan," keluh pria itu sambil menatap Silvax dengan mata yang sedikit memicing, jelas-jelas kelelahan.

Namun, Silvax hanya berdiri di sana, diam tanpa ekspresi, tatapannya kosong, seolah tidak peduli dengan komentar pria itu. Saat taksi itu pergi dan debu jalanan berangsur mengendap, ia menghela napas panjang, terdengar berat dan penuh dengan rasa putus asa.

"(Aku telah kembali ke Korea...)" pikirnya sambil memandang sekeliling, matanya mengamati rumah kayu itu dengan seksama. "(...Tapi aku membeli kawasan ini untuk aku tinggali sendiri, tanpa ada apa pun... Siapa yang menyangka ketika aku sudah di sini, aku bahkan mendapatkan kabar bahwa aku dikeluarkan dari kampus karena tidak masuk selama beberapa minggu... Karena identitas asliku hampir terungkap, aku harus bisa berpikir lebih jauh untuk melindungi identitasku...)"

Dia berdiri diam sejenak, membiarkan pikirannya berkecamuk. Namun, alih-alih berusaha menenangkan diri, pikirannya justru disesaki oleh bayangan Alfavian. Wajah pria itu tiba-tiba muncul dalam benaknya, membuatnya mendengus kesal dan memalingkan wajah.

"Aku tidak peduli dia mati atau tidak, dia lah yang membuat semua ini memburuk..." gumamnya dengan suara pelan, namun penuh emosi.

Tanpa banyak bicara, ia berlutut di depan salah satu kardus yang tergeletak di sana dan mulai membukanya. Bau kayu dan logam bercampur menyeruak begitu kardus itu terbuka. Di dalamnya, tersimpan sebuah senjata shotgun, senjata yang terlihat terawat dengan baik. Ia menyentuhnya dengan hati-hati, merasakan dinginnya logam itu di tangannya. Senjata itu memiliki kekuatan mematikan, sekali tembak mampu menembus banyak sasaran, dan jika digunakan dari jarak dekat, korbannya akan langsung hancur tanpa ampun.

Di antara ranting pohon yang bergoyang di dekat rumah itu, seekor burung kecil tampak hinggap, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, seolah penasaran dengan kehadiran Silvax. Burung itu hanyalah burung biasa, tidak berbahaya, namun menjadi sasaran berikutnya dari senjata mematikan itu. Silvax mengangkat senapannya, membidik dengan tenang. Tidak ada keraguan di matanya, hanya tatapan dingin tanpa emosi.

Tiba-tiba, suara ledakan keras memecah kesunyian. Suara tembakan pertama terdengar menggema di tengah hutan yang sepi, disusul oleh burung kecil yang jatuh dari pohon dengan tubuh hampir hancur. Darahnya mengotori rumput di bawah pohon, menciptakan pemandangan yang kontras dengan ketenangan tempat itu.

Silvax menurunkan senjatanya perlahan, ekspresinya tetap sama—datar dan tanpa penyesalan. Ia memeriksa senjatanya sejenak sebelum menyimpannya kembali ke dalam kardus. "(Masih terlihat bagus... Tapi aku akan sering mengecek kondisinya pada pria militer itu...)" pikirnya sambil menutup kardus itu dengan hati-hati.