Chereads / Gadis Pembunuh Tanpa Cinta Tanda Sejati / Chapter 23 - Chapter 23 Orang Tua

Chapter 23 - Chapter 23 Orang Tua

"Apa... maksudmu...?" Silvax masih menatap tidak percaya.

Namun, K mengatakan sesuatu, sesuatu yang sebenarnya. "Aku dulu memiliki seorang putri... Dia sangat manis ketika kecil. Tapi sayangnya, sikapnya seperti kuda liar. Dia tidak mau diam dan terus mengacau. Seharusnya seorang gadis bisa menjaga sikapnya. Dia yang masih berumur 10 tahun saja sudah melakukan banyak hal. Aku salah membesarkannya di tempat ini... Dia bahkan sering mengonsumsi alkohol, obat-obatan, dan apa pun yang lainnya, bahkan di saat usianya masih 10 tahun. Tapi sayangnya, dia mati tidak lama setelah tertabrak truk yang sedang melaju di kota. Aku tak sempat menolong nyawanya, dan dia sudah pergi tanpa mengatakan apa pun... Meskipun sikapnya begitu kasar, tapi dia tetaplah putriku... Aku sebagai seorang ayah selalu merasa kehilangan, apalagi istriku juga sudah tiada..." tatapnya dengan kekecewaan penuh. Silvax yang mendengar itu menghela napas panjang dalam hatinya. "(Aku pikir dia memang ayahku... Ternyata bukan, aku hanya sebatas mirip dengan putrinya...)"

Lalu K mengeluarkan sesuatu untuk diulurkan pada Silvax. Itu adalah kertas foto kecil bergambar seorang gadis manis, tidak ada senyum sama sekali. Justru dia sengaja tidak menghadap kamera dan malah melirik ke arah kamera dengan tatapan tajamnya.

Silvax terkejut karena wajah dari gadis itu hampir mirip dengannya. "Kau tidak bercanda? Dia sangat mirip denganku," tatapnya.

"Karena itulah aku terus mengatakan padamu bahwa kau mirip dengannya... Sebenarnya ketika aku bercerita hal ini pada Yosef dan menunjukkan foto yang sama, dia langsung bilang bahwa dia pernah melihat gadis yang memiliki wajah mirip. Dia tahu informasi itu dari kakaknya yang bercerita padanya. Jadi, dia memutuskan untuk ke kota, mendaftarkan diri di kampus yang kau hadiri hingga saat ini. Entah kenapa dia sangat lama membawamu kemari. Apa ada sesuatu? Kalian menikmati sesuatu di kota sampai-sampai Yosef membawamu lama kemari?" tanya K.

"(Jadi pria tadi itu telah menungguku sangat lama dan rela menunggu di bangku kampus...) Tidak, kami tidak melakukan apa pun... Hanya saja aku pergi untuk waktu yang lama kemudian kembali lagi ke kampus," jawab Silvax dengan jujur.

"Begitu ya... Kalau begitu, apa pendapatmu tentang tempat ini?" tatap K.

"Biasa saja, tempat yang sepi... Bisa aku berjalan-jalan untuk melihat-lihat?" tanya Silvax.

"... Kau ingin aku menemanimu? Di luar sana banyak gangster yang tidak memandang orang, dan mereka akan melakukan sesuatu padamu..." tatapnya.

"Aku bisa mengatasinya jika itu terjadi." Silvax berbalik dan berjalan pergi meninggalkannya.

Sementara K terdiam menatapnya, lalu menghela napas panjang dengan tenang. "(Aku ingin bertemu dengan putriku, tapi dia mati... Aku selalu berpikir ingin dipanggil 'ayah' olehnya... Dan aku sangat berharap hal itu terjadi... pada gadis tadi...)" Ia tampak khawatir dan menginginkan sesuatu.

Sementara itu, di dalam ruangan yang gelap namun dipenuhi lampu-lampu kecil berwarna kuning redup, suasana terasa tegang namun penuh antusiasme. Meja-meja pingpong yang tertata rapi menjadi pusat perhatian, sementara suara bola pingpong yang memantul terus-menerus menggema di udara. Orang-orang di sekitar tampak serius, dengan mata mereka fokus pada permainan, tetapi begitu Yosef melangkah masuk dengan rokok di bibirnya, perhatian mereka langsung teralih.

"Yo, kau kembali lagi, big bro," salah seorang dari mereka menyambut dengan tatapan tajam. Suaranya memecah keheningan sesaat. Rupanya, mereka adalah anggota geng yang sebelumnya pernah tunduk pada kehebatan Yosef.

Yosef tersenyum kecil, seolah menganggap remeh semua itu. "Yeah, aku ingin melawan kalian," jawabnya dengan nada percaya diri, suaranya tegas namun tenang.

"Ho, benarkah? Kupikir tangan kekar itu akan terluka," ejek salah satu dari mereka sambil menyeringai sinis. Rekan-rekannya tertawa kecil, meski di dalam hati mereka tampaknya ada sedikit ketegangan.

"Tidak akan," balas Yosef dengan santai. Ia melepas bajunya perlahan, memperlihatkan lengan kokohnya yang penuh dengan urat-urat yang tegang bahkan tato yang sangat mengerikan di punggung dan lengan kirinya. Langkahnya tenang saat berjalan ke meja pingpong, menatap lurus ke arah pria pertama yang sudah bersiap di sisi lain meja.

Bola pertama dilemparkan dengan cepat oleh pria itu, dan Yosef langsung menerimanya dengan gerakan tangan yang gesit. Suara pantulan bola yang keras terdengar, menggema di ruangan itu.

Mereka bertanding dengan intensitas tinggi. Gerakan mereka begitu cepat hingga sulit diikuti mata. Setiap pukulan penuh tenaga, dan meski demikian Yosef terlihat tetap tenang. Keringat mulai membasahi pelipis kedua pemain, namun Yosef tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan sedikit pun.

"Ayo, aku bisa melawan satu lagi," kata Yosef dengan suara lantang, penuh tantangan. Matanya bersinar dengan rasa percaya diri yang mengintimidasi.

Seorang pria lain berdiri di samping lawan pertamanya. Ia meraih bola pingpong, melemparnya dengan kecepatan tinggi. Seketika Yosef mulai bermain melawan dua orang sekaligus. Suara pantulan bola semakin ramai, memecah keheningan penonton yang kini mulai berkumpul lebih dekat untuk menyaksikan.

Yosef tetap bermain dengan mudah dan penuh kekuatan. Sebaliknya, kedua pria itu mulai kewalahan. Keringat mengalir deras dari wajah mereka, dan napas mereka terdengar berat.

Lalu satu pria lagi muncul dari kerumunan, mengambil tempat di meja pingpong. Kini Yosef melawan tiga pria dengan tiga bola sekaligus. Penonton semakin terdiam, hanya terdengar suara bola yang memantul, tawa kecil beberapa orang, dan napas berat para pemain.

"Kenapa dia bisa?" bisik salah seorang penonton dengan nada tak percaya. Wajah mereka menunjukkan kebingungan, bahkan kekaguman.

Ketika salah satu bola pingpong hampir mencapai salah satu pria, Yosef memukul bola itu dengan kekuatan luar biasa. Bola itu meluncur cepat, seperti proyektil yang terbakar, menuju wajah pria tersebut. Namun sebelum bola itu mengenai sasarannya, salah satu pria lain dengan cekatan menggunakan pisau untuk membelah bola tersebut menjadi dua.

Dua bola lainnya masih tersisa, tetapi Yosef dengan pukulan presisi mengarahkan keduanya ke perut lawannya. Kedua pria itu terhuyung ke belakang, memegangi perut mereka dengan ekspresi kesakitan. Yosef lalu meletakkan pemukul pingpongnya dengan santai di atas meja dan meregangkan tangannya seolah tidak terjadi apa-apa.

"Sudah kubilang bahwa aku bisa mengalahkan kalian dalam satu ronde. Ini benar-benar mudah bagiku. Aku juga suka pingpong ilegal seperti ini, haha!" katanya sambil tertawa, nadanya riang namun penuh keangkuhan.

"Huff, baiklah, aku pergi dulu," katanya seraya mengenakan kembali baju nya. Tatapannya masih penuh percaya diri, sementara langkahnya perlahan menuju pintu. Semua orang di sana hanya terdiam, tak seorang pun berani berkata-kata.

Lalu Yosef menyalakan rokoknya kembali, kepulan asap tipis segera membubung di udara yang dingin dan pengap. Langkah kakinya terdengar pelan namun tenang saat ia berjalan keluar dari tempat itu, sebuah ruangan suram yang tersembunyi di balik gang kecil yang gelap dan sepi. Dinding gang itu kusam dan penuh coretan liar, dengan genangan air yang memantulkan redupnya cahaya lampu jalan di kejauhan.

Ketika Yosef melangkah melewati pintu kayu yang berderit, ia mendapati dirinya di lorong sempit dengan bau lembap yang khas. Tak sengaja, dari kejauhan, Silvax muncul dari arah lain. Langkahnya pelan, seolah tidak terburu-buru, sambil sesekali menoleh ke sekitar dengan ekspresi tenang namun waspada. Silvax tidak menyadari keberadaan Yosef yang berdiri di dalam bayang-bayang gelap pintu gang itu.

Seketika, senyum kecil muncul di sudut bibir Yosef. Ia menyelipkan rokok di antara jari-jarinya, membiarkan abu yang hampir jatuh tertiup angin malam. Dengan tenang, Yosef melangkah keluar dari lorong itu, matanya terus mengamati ke mana Silvax akan pergi, seperti seekor predator yang memperhatikan mangsanya.

Silvax berjalan dengan langkah yang teratur, hampir terlalu tenang untuk seseorang yang sedang dikejar masa lalu kelam. Namun, di tengah jalan, ia mulai merasakan sesuatu. Suara langkah kaki yang samar dan lembut terdengar di belakangnya, cukup pelan untuk hampir tak terdengar, namun cukup nyata untuk membangkitkan kecurigaan. Silvax tahu ia sedang diikuti.

Tanpa membiarkan rasa was-was terlihat, ia meraih sesuatu di balik bajunya, tepat di pinggangnya. Sebuah gerakan yang terlatih dan penuh kehati-hatian. Hingga akhirnya, dengan gerakan tiba-tiba, ia berbalik dengan tatapan tajam.

Namun, alih-alih menghadapi ancaman serius, ia hanya mendapati Yosef yang berdiri di sana dengan santai. Tatapan Yosef yang penuh percaya diri dan sikapnya yang acuh tak acuh membuat Silvax mendengus pelan.

"Hei, kenapa? Mau menyerangku?" tanya Yosef dengan nada yang santai, hampir mengejek.

Silvax menatapnya tajam, namun tidak berkata apa-apa. Setelah beberapa detik, ia kembali berbalik dan melangkah pergi. Namun, Yosef, dengan langkah santai yang khas, tetap mengikutinya dari belakang.

"Jadi, kau sudah tahu kenapa aku membawamu kemari dan bertemu dengan K, bukan?" Yosef akhirnya memecah keheningan. Nada suaranya datar, tapi matanya tetap tajam memperhatikan setiap reaksi dari Silvax.

Silvax berhenti berjalan. Udara di sana yang dingin terasa semakin menusuk kulit saat ia menghela napas panjang. Suaranya terdengar berat saat ia berbicara, "Kupikir kau benar-benar akan membawaku ke tempat di mana orang tuaku berada. Tapi apa yang terjadi sekarang? Kau benar-benar menjebakku..." Matanya menyipit, menatap Yosef penuh kekecewaan.

Meskipun raut wajahnya menunjukkan kemarahan, ada sesuatu yang lebih dalam di balik sorot matanya—sebuah rasa cemas yang sulit disembunyikan. Pikiran tentang masa lalunya, tentang siapa dia sebenarnya, kini memenuhi kepalanya, membuatnya tenggelam dalam kebingungan dan keresahan. Yosef, yang mengamati dengan tenang, seolah bisa membaca setiap emosi yang tersirat di wajah Silvax.

Yosef mengisap rokoknya dalam-dalam sebelum perlahan menghembuskan asapnya ke udara. Asap itu melayang di sekitar mereka, seperti bayangan masa lalu yang tak kunjung sirna. "Aku tahu kau ingin mengetahui seperti apa orang tuamu... Tapi, ini sangat minim informasi," Yosef mulai berbicara dengan nada yang lebih serius. "Orang-orang seperti kita, kriminal seperti kita, yang sudah tidak masuk akal lagi berada di jalanan, tidak mungkin bisa menemukan jati diri di masa lalu. Apalagi kita tidak mengingat apa pun... Tapi aku yakin, cepat atau lambat, kau juga akan menemukan informasi soal masa kecilmu."

Kata-kata Yosef menggantung di udara, menciptakan keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara langkah-langkah kecil di kejauhan. Silvax terdiam, menunduk sejenak, dan menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara lagi. "Aku tidak yakin itu. Sebaiknya aku menghentikan rasa penasaranku. Mungkin orang tuaku hanyalah gelandangan. Mereka tidak punya uang dan akhirnya membuangku..." Suaranya terdengar getir, namun ada nada pasrah yang jelas di dalamnya.

Yosef terdiam mendengar itu. Ia bahkan menghentikan langkahnya, membiarkan Silvax melangkah lebih jauh ke depan. Sesaat kemudian, ia berdiri mematung, memandang punggung Silvax yang semakin menjauh.

Di dalam pikirannya, Yosef memutar kembali kata-kata Silvax. "(Apa dia tidak bisa melihat lebih jelas paras tubuhnya...)" pikirnya. "(Dia memiliki wajah yang cantik, sempurna, dan bahkan keturunan yang luar biasa. Mana mungkin jika orang tuanya hanya seorang gelandangan... Dia hanya tidak mengaca...)"