Chapter 25: Korea Organization Agency
Lampu menyala perlahan, mengusir kegelapan yang menyelimuti ruangan. Cahaya dingin dan putih itu menyorot langsung pada sosok Silvax, yang duduk di salah satu bangku dengan tubuh lunglai. Tangan mungilnya terikat ke belakang oleh tali yang kokoh, menekan pergelangan hingga memerah. Namun, yang lebih mencolok dari penampilannya adalah pandangan kosong yang terpancar dari matanya—pandangan seseorang yang telah kehilangan harapan, menyerah pada sesuatu yang jauh di luar kendalinya.
Ruangan itu sendiri memberikan kesan menyesakkan, lebih dari sekadar gelap. Dinding-dindingnya tidak terbuat dari batu bata yang kasar seperti penjara biasa. Sebaliknya, logam dingin yang kokoh membungkus tempat itu, memantulkan pantulan lemah cahaya lampu. Lantainya pun bersih, hampir tidak wajar untuk tempat seperti ini, menambah kesan klinis namun menyeramkan. Tak ada suara selain detak pelan jam di kejauhan, seakan mengingatkan Silvax bahwa waktu terus berjalan—namun tidak untuknya.
"(Aku dibawa ke sini hanya untuk apa? Aku akan dieksekusi di sini?)" pikirnya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, tapi tubuhnya tetap tak mampu bergerak, seolah tubuh dan pikirannya telah menyerah secara bersamaan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di kejauhan. Suara itu bergema, setiap langkah seolah dipantulkan oleh dinding logam ruangan tersebut. Silvax mengangkat kepalanya sedikit, matanya mulai mencari-cari sumber suara. Pintu logam yang besar dan berat terbuka perlahan, menciptakan derit pelan yang menegangkan. Bayangan seorang pria muncul, siluetnya terpampang jelas di bawah sinar lampu di luar ruangan.
Silvax mengerutkan kening. "(Siapa lagi ini? Salah satu agen organisasi itu? Orang lain yang datang untuk menyiksaku?)" pikirnya, hatinya mulai berdegup lebih kencang. Namun, semua pikirannya terhenti saat suara pria itu memecah keheningan.
"Sayang sekali kau terlalu cepat menyerah... Putriku..."
Kata-kata itu seperti petir di siang hari. Mata Silvax melebar, terkejut bukan main. Ia langsung menengadah, menatap pria yang kini masuk sepenuhnya ke dalam ruangan. Sosok itu—bagaimana mungkin?!—berdiri dengan kepercayaan diri yang hampir arogan. Pakaian jas hitamnya terlihat rapi, tanpa cela sedikit pun, menciptakan kontras tajam dengan kondisi Silvax yang berantakan.
"Kau?!" Silvax berteriak, suaranya melengking karena kepanikan. "Kenapa kau ke sini?! Ini berbahaya! Kau sengaja membuat dirimu tertangkap?!" Matanya dipenuhi dengan kekhawatiran, namun juga kebingungan. Bagaimanapun juga, K adalah sosok yang tak tersentuh, seseorang yang memegang kendali penuh atas distrik tempatnya berkuasa.
Namun, K hanya tertawa kecil, sebuah tawa yang terdengar menenangkan namun sekaligus mengintimidasi. Ia berjalan mendekat dengan langkah pelan namun mantap, setiap gerakannya penuh perhitungan. "Hahaha... Kau senang kupanggil begitu? Jangan khawatir..." ucapnya santai. Sebelum mendekati Silvax sepenuhnya, ia menarik sebuah kursi yang ada di dekat dinding. Suara gesekan kursi dengan lantai logam menggema di ruangan yang sunyi itu. Ia duduk tepat di hadapan Silvax, tatapannya dingin namun tajam.
"(Kenapa dia bisa sesantai itu?! Bukankah mereka juga akan menangkapnya jika ketahuan?!)" pikir Silvax, tubuhnya semakin menegang.
K menyilangkan kakinya, lalu memandang lurus ke arah Silvax. "Sebenarnya, pemilik distrik bukan hanya aku," katanya, suaranya rendah namun tegas, memancarkan otoritas yang tak terbantahkan.
Rasa ingin tahu mulai menguasai Silvax, meskipun tubuhnya masih dipenuhi ketegangan. Ia menatap pria itu, mencari jawaban dari setiap kata yang keluar dari mulutnya. K melanjutkan dengan santai, mengambil sebatang rokok dari saku jasnya. Dengan gerakan yang terlatih, ia menyalakan rokok itu, menghisapnya dalam-dalam sebelum menghembuskan asap ke atas. Asap itu menggulung lembut di udara, menambah kesan suram pada ruangan tersebut.
"Yosef pemiliknya..." lanjut K dengan suara rendah, seolah ingin memastikan kata-katanya menusuk langsung ke benak Silvax.
"(Tunggu?! Apa?!)" pikiran Silvax langsung kacau. Ia memandang K dengan tatapan penuh kecurigaan, namun tidak bisa menahan dirinya untuk terus mendengarkan.
"Aku membuat sandiwara... Awalnya aku hanya ingin kau yakin aku adalah pemegang distrik itu agar kau mau bergabung bersama kami di distrik... Lagipula, kau bisa menjadi putriku... Aku sedang dalam masa psikologis di mana aku sangat berharap putriku menatapku, sama seperti kau menatapku... Kau tahu kan, sebagai seorang ayah yang kehilangan putrinya, bahkan keluarganya..." tatapnya dengan sorot mata yang tajam namun penuh dengan emosi yang terpendam. Ucapannya menggantung di udara seperti kabut yang pekat, menciptakan suasana yang menekan di dalam ruangan yang sunyi.
Namun, Silvax tampak tak terpengaruh. Wajahnya memerah karena amarah yang ditahannya. "Kau tidak bisa memanggilku seperti itu... Aku juga ingin tahu di mana orang tuaku sesungguhnya. Jangan membuat drama seolah-olah kau adalah ayahku, kita bahkan tidak memiliki hubungan apa pun!!" suaranya tegas, nyaris menggema di ruangan yang terbuat dari logam dingin.
"Kecuali jika salah satu orang tuamu adalah kakakku..." jawabnya, suaranya rendah dan penuh teka-teki, tatapannya menusuk seperti pisau yang mencoba mengupas lapisan rahasia. Kata-katanya membuat Silvax tertegun, tubuhnya membeku sejenak seperti patung yang terselimuti es.
"Bisa jadi, bukan? Aku memiliki kakak... Wajah kita dan darah kita hampir mirip karena kita saudara, begitu juga jika kita sama-sama memiliki keturunan... Wajahnya hampir sama. Tapi intinya bukan itu. Intinya, aku tahu di mana orang tuamu, karena ayahmu adalah kakakku..." katanya lagi, kali ini suaranya lebih berat, seolah mengukuhkan kenyataan yang tak bisa dihindari.
Silvax menatapnya dengan wajah penuh ketidakpercayaan. Matanya membelalak, dan napasnya mulai memburu. "Aku ingin tahu di mana mereka!!" suaranya mengguncang keheningan, penuh dengan harapan dan ketakutan yang bercampur menjadi satu.
"Kau ingin tahu? Kau seharusnya berpikir dulu. Kenapa aku membahas orang tuamu, padahal Yosef sudah membantumu mengingat. Kunci jawabannya harusnya berada pada Yosef. Dia terus membahas orang tuamu karena dia ingin mengatakan yang sebenarnya, tapi karena kau tidak tertarik, jadi aku yang mengatakannya sendiri padamu..." tambah K, suaranya tenang namun penuh perhitungan, seperti seorang maestro yang memainkan setiap nada dengan sempurna.
"Tapi, bagaimana caramu ke mari?" Silvax masih tidak mengerti. Hatinya bergemuruh, seolah ada badai yang berkecamuk di dalam dirinya.
K tersenyum kecil dan melirik ke samping sejenak. "Aku K, Konrad..." ucapnya singkat, tapi dengan penekanan yang cukup untuk membuat dunia Silvax runtuh.
Seketika, Silvax terkejut. Pikirannya dipenuhi gambaran-gambaran yang saling tumpang tindih. Nama itu, nama Konrad, bukanlah nama yang asing baginya. Pemimpin Korea Organization Agency, sosok yang dikenal dengan ketegasan dan kebijaksanaannya yang sering kali melampaui batas moral. Dia adalah pria yang dapat mengubah dunia hanya dengan satu perintah.
"(K... Konrad?! Tuan K... Dia yang mengirim... Alfavian?!)" pikir Silvax, matanya melebar, menatap tak percaya pada pria di hadapannya.
"Itu benar... Aku tahu isi kepalamu..." tatap K dengan senyum seringai, seolah menikmati kekacauan di pikiran Silvax. Tak lama kemudian, pintu logam itu terbuka perlahan, mengeluarkan suara derit yang memekakkan telinga, dan di sana, di balik pintu itu, berdiri Alfavian. Tatapannya datar, nyaris tanpa emosi, namun sorot matanya menyimpan sesuatu yang tak terungkapkan.
Silvax yang melihat itu merasakan dadanya seperti dihantam palu. Dia bahkan berteriak penuh dengan emosi yang tak terbendung. "Alfavian!!!" Nama itu keluar dari mulutnya seperti seruan yang menuntut jawaban.
"Lama tidak bertemu... Silvax..." jawab Alfavian dengan nada yang begitu tenang, kontras dengan kegelisahan yang menguasai ruangan itu.
"Ba... Bagaimana bisa?! Bukankah kau seharusnya mati?! Kau gagal menangkapku?!" Silvax bertanya dengan suara yang nyaris pecah. Tubuhnya sedikit gemetar, pikirannya penuh dengan kebingungan dan rasa takut.
Tapi K berbicara lagi, suaranya tegas, setiap kata seperti lemparan batu yang menghantam hati Silvax. "Kau diminta seseorang untuk membunuh di London, sedangkan dia akan memberitahumu siapa yang akan kau bunuh nanti. Tapi setelah lama berada di London, dia tidak memberitahumu siapa... Di saat yang bersamaan, aku meminta Alfavian untuk membunuhmu. Itulah rencananya. Kami ingin melihat seberapa licik gadis yang bahkan harus menghadapi masalah sulit, dan ternyata kau bisa melarikan diri dengan menyerahkan Alfavian pada kami. Andai kau menyerahkan dirimu, kami tidak akan membunuhmu. Aku akan melakukan hal yang sama sejak aku ke mari untuk melihatmu membuka mata... Kau mengerti, intinya Alfavian adalah bagian dari kami..." katanya dengan penuh keyakinan.
"Ba... Bagian dari organisasi ini?! Tapi, dia seorang pembunuh..." Silvax bertanya lagi, suaranya terdengar getir.
Namun, Alfavian tersenyum lembut, seolah mencoba menghapus semua keraguan yang meliputi Silvax. Dia bahkan berlutut di hadapannya, menunjukkan rasa hormat yang tak terduga. "Silvax, kita menjadi pembunuh karena kita terpaksa atau karena kita menyukainya. Seseorang berpikir membunuh adalah satu-satunya jalan untuk menikmati hidup... Meskipun aku seorang pembunuh, aku masih punya jiwa yang bisa membedakan mana pekerjaan dan mana kehidupan normal... Aku berada sepenuhnya di bawah organisasi ini. Aku dilatih setelah tertangkap membunuh... Kau tahu, ketika aku belum bergabung, aku juga sama sepertimu, tidak tahu apa-apa dan hanya berpikir akan mati jika tertangkap organisasi ini..." katanya, nadanya penuh kejujuran.
"Tapi ternyata tidak..." K menyela. "Begitu juga kau... Kami memberimu kesempatan karena kau gadis yang luar biasa... Kau kuat, dan kau bukan dari keturunan sembarangan..." tambahnya, membuat Silvax benar-benar tidak percaya dengan apa yang terjadi.
Lalu K berdiri dan berbalik untuk pergi. Tapi sebelum itu, dia mengatakan kalimat terakhir. "Aku serahkan padamu, Alfavian. Jika dia bertanya apa pun, jawab saja dengan jujur..." tatapnya, membuat Alfavian terdiam.
Setelah K pergi, suasana menjadi sunyi. Silvax tampak menunduk, memikirkan semuanya.
Lalu Alfavian memegang bahunya, membuat Silvax menatapnya. Senyum lembut Alfavian masih terukir dengan tulus. "Silvax, aku merindukanmu... Maafkan aku. Aku ingin menjelaskan bahwa semua itu hanya tugas, tapi... Aku tidak akan membuatmu kecewa lagi..." tatapnya.
Namun, Silvax tampak terdiam. Dia kecewa, bahkan menggigit bibirnya sendiri. "Kau bahkan berencana membunuhku... Kau membuat kakiku patah! Aku tak bisa lulus kuliah karena kau!!!" tatapnya dengan kesal, membuat Alfavian terkejut. Tapi ia mencoba menenangkan Silvax. "Maafkan aku, aku tak tahu bagaimana caranya agar kau kembali percaya padaku... Konrad membuat semua sandiwara itu hanya untuk menemukanmu... Kami tahu informasi tentangmu ada di London, dan dia langsung memerintahkanku..." katanya.
"Silvax, maafkan aku... Aku ingin menggambar wajahmu... Aku ingin kau membuat cerita tentang kita..." tatapnya, bahkan ia meletakkan kepalanya di paha Silvax, mencoba membuat Silvax lebih baik. Tapi Silvax membuang wajahnya. "Beri aku waktu..."
"Tentu!!" Alfavian langsung menatap senang. Tapi kemudian, Silvax merasakan tangannya tidak sakit. Ia menarik tangan itu ke depan, dan ternyata tangannya lepas.
"Kenapa... Lepas? Kau melepasnya?" tatapnya tidak percaya. Alfavian tersenyum, menunjukkan tali pengikat yang ia lepas secara diam-diam.
Namun, mendadak Silvax memegang kedua pipinya, membuat Alfavian terkejut dan menengadah menatap wajahnya.
"Berjanjilah... Jangan pernah membuat hubungan apa pun di antara kita... Lagi..." tatap Silvax, membuat pandangan Alfavian benar-benar tidak percaya.