Chereads / Gadis Pembunuh Tanpa Cinta Tanda Sejati / Chapter 26 - Chapter 26 Bergabung

Chapter 26 - Chapter 26 Bergabung

"Ke... Kenapa?" Alfavian masih menatap tidak percaya. Matanya yang biasanya penuh percaya diri kini tampak rapuh, seperti kaca yang retak tapi belum sepenuhnya pecah. Namun, Silvax hanya terdiam. Ia membuang wajahnya, menatap lantai seperti sedang berusaha menghindari kenyataan yang ia lontarkan sendiri.

"Aku bukan gadis cinta... Aku hanya hidup untuk diriku sendiri... Aku telah dibodohi oleh cinta sehingga aku tidak bisa waspada. Jika ke depannya aku memiliki tugas, aku harus fokus pada hal itu, bukan padamu..." ucapnya dengan nada yang terdengar getir, namun tegas.

Kata-kata itu seperti hujan yang membasahi api di hati Alfavian, perlahan membekukan semangatnya. Meski begitu, ia tersenyum—sebuah senyuman getir yang hampir seperti menyerah, namun tetap menunjukkan keteguhan untuk menerima kenyataan.

"Ba... Baiklah, jika... Kau ingin hal itu... Tapi, jika kau membutuhkan cinta... Panggil aku. Aku bisa datang, memelukmu, menciummu, melindungimu, meskipun aku belum pernah melakukannya sebelumnya... Panggil aku jika kau punya masalah, aku bisa mendengarkannya karena hanya aku yang bisa kau ajak bicara dengan baik..." katanya, suaranya sedikit bergetar, namun tetap terdengar tulus. Ia kemudian meraih tangan Silvax dengan hati-hati, seperti memegang sesuatu yang rapuh dan berharga. Sentuhannya hangat, seakan ingin meyakinkan Silvax bahwa ia akan selalu ada, meskipun tidak diinginkan.

Silvax terdiam. Ia masih membuang wajah, menatap dinding yang kosong dengan pandangan yang samar-samar basah. Jauh di lubuk hatinya, ia ingin menarik kembali kata-katanya, namun rasa takut yang mendalam menghalanginya untuk melakukan itu. Perasaan itu seperti duri yang tumbuh di dalam dadanya, menyakitkan tapi sulit dicabut.

Tak lama kemudian, Alfavian, dengan langkah perlahan tapi pasti, membawa Silvax keluar dari ruangan itu. Udara dingin dari lorong panjang menyambut mereka. Langit-langit tinggi yang dipenuhi lampu neon memantulkan bayangan samar mereka di lantai keramik yang mengkilap. Suasana di gedung itu terasa sepi, hanya terdengar gema langkah kaki mereka yang menyatu dengan detak jantung Silvax yang belum sepenuhnya tenang.

"Tempat ini merupakan sebuah gedung tinggi. Kami menggunakan publikasi gedung tinggi karena organisasi kami cukup terkenal di wilayah ini. Seluruh bangunan sudah dilengkapi keamanan yang lengkap, dan anggotanya seperti agen dari organisasi lain. Mereka dilatih di sini. Tapi sisi gelapnya, anggota di sini kebanyakan adalah mantan kriminal. Karena itulah mereka akan terlihat memiliki usia yang beragam. Mereka dilatih untuk mengabdi di gedung ini dan menjalankan tugas masing-masing," kata Alfavian, memecah keheningan. Suaranya bergema di sepanjang lorong, namun tetap terdengar lembut di telinga Silvax.

Silvax berjalan di sampingnya dengan langkah hati-hati. Matanya menyapu sekeliling, memperhatikan ruangan-ruangan kaca di sepanjang lorong. Di dalamnya terlihat orang-orang dengan wajah serius, beberapa di antaranya sibuk di depan layar monitor, sementara yang lain terlihat sedang berdiskusi dengan ekspresi yang sulit diterka. Ia kemudian bertanya, "Kenapa... Kenapa harus ada organisasi ini jika hukum dipegang oleh polisi dan pihak yang lebih tinggi lagi?"

"Kami memang memegang hukum, tapi kami juga membela jiwa kriminalitas... Hukum yang hanya memandang sebelah mata pasti akan langsung menghukum kejahatan, tapi kami melihat pola pikir seorang kriminal. Jika mereka ingin bergabung dengan kami, maka kami akan menerimanya dan mengawasinya untuk menjadikannya setia. Tapi jika mereka tidak mau dari awal, kami tinggal menyerahkannya ke hukum lokal yang akan memberikan hukuman pada mereka, bisa jadi eksekusi, penjara, atau diasingkan," jawab Alfavian dengan tenang. Nada bicaranya terkesan lugas, tapi Silvax bisa merasakan emosi yang tersirat di balik setiap kata yang diucapkannya.

"(Jadi begitu... Mereka mempekerjakan mantan kriminal...) Lalu, apa tugas kalian?" tanya Silvax sambil sedikit menundukkan kepalanya, seolah ingin menyembunyikan rasa penasarannya.

"Tugas kami mudah saja. Misi gedung ini adalah melatih jiwa kriminalitas. Jika mereka sudah dinyatakan memiliki pola pikir yang baik dan tidak terhasut kejahatan, mereka akan dikirim kembali menjadi warga sipil. Tapi jika mereka sepenuhnya ingin bekerja lagi, kami bisa memberikan mereka misi. Tugas yang mereka terima adalah tugas yang melibatkan pengiriman jarak jauh. Mereka akan dikirim ke berbagai tempat untuk mempelajari sistem perkembangan manusia, atau disebut keamanan dunia. Tapi ada juga yang ditugaskan menjadi pembunuh. Namun, tugas baru-baru ini yang sangat sulit dipecahkan adalah mengalahkan banyak mafia kelas atas yang bisa saja mempermainkan hukum seenaknya," jelas Alfavian dengan tatapan serius.

"Mafia?!" Silvax yang mendengar itu menjadi terkejut. Ekspresinya berubah drastis, matanya membelalak, sementara kedua tangannya refleks mencengkeram pinggir kursi yang didudukinya. Napasnya memburu, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar.

"Tidak semua orang bergelar tinggi dapat disebut mafia, kan? Tapi aku lebih suka menyebutnya begitu. Mafia-mafia itu melakukan hal yang sangat mereka sukai. Mereka melakukan korupsi, memakan uang orang-orang susah, bahkan bergabung dalam komunitas ilegal yang berdiri di atas kemewahan...." Alfavian berbicara dengan nada datar, nyaris tanpa emosi, namun matanya yang tajam seolah menembus pikiran Silvax, membuat suasana di ruangan itu semakin terasa tegang.

Silvax menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. Ia memalingkan pandangan ke jendela yang memperlihatkan pemandangan gedung tinggi yang menjulang di kejauhan. Hatinya bergolak, tapi ia berusaha menjaga wibawanya.

"Bu... Bukankah itu normal untuk gedung ini menerima sikap seorang mafia? Toh, gedung ini juga memiliki tugas yang tidak masuk akal jika harus diterima di tempat lokal...."

Alfavian menyilangkan tangan di dadanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi dengan santai. Ia tersenyum kecil, seolah menikmati kebingungan Silvax. "Pernyataanmu bagus juga.... Kau pasti mengambil contoh Yosef. Meskipun dia seorang gangster, dia berhasil masuk ke universitas umum, dan meskipun mereka mengetahui bahwa Yosef adalah gangster, tanggapan mereka biasa-biasa saja. Itu karena Yosef tidak mengganggu dan mengacaukan banyak hal di kampus. Sama seperti kita, kita tidak pernah mengacaukan apa pun di dekat warga lokal...."

"Tapi, apa maksud dari poster kalian!? Kalian meminta maaf jika kalian merusak atau mengganggu kenyamanan warga lokal demi menangkapku?!" Silvax akhirnya meledak, nadanya penuh rasa kesal. Ia menatap Alfavian dengan sorot mata tajam, mencoba mencari jawaban.

"Ah, soal itu, sebenarnya itu hanya jebakan untukmu..." Alfavian menjawab dengan santai, tapi matanya berbinar licik. Perkataannya membuat Silvax terkejut, bahkan langkahnya sedikit mundur.

"Jika kau tahu kami akan menangkapmu di tempat umum atau ramai, kau pasti akan memilih tempat yang sepi seperti di hutan, karena kau sendiri tidak akan berani mengganggu warga lokal dan tidak ingin mereka tahu keberadaanmu, kan?" Nada Alfavian terdengar penuh kemenangan. Ia memiringkan kepalanya sedikit, memperhatikan Silvax yang kini terdiam, mematung di tempatnya. "(Dia... Benar-benar licik... Tidak, bukan dia, tapi seluruh apa pun yang ada di gedung ini....)" pikir Silvax, perasaannya bercampur aduk.

"Kau sudah mengerti, Silvax... Itulah mengapa kau harus bergabung di tempat ini. Kami juga tidak akan segan-segan menghormatimu karena kau putri dari Konrad..." Alfavian menatap Silvax dengan penuh keyakinan, membuat Silvax semakin gelisah.

"Apa?! Tidak, kau salah paham!" Silvax tampak panik, tubuhnya sedikit condong ke depan seolah ingin menyangkal sekuat tenaga. "Aku bukan putrinya!!" Nada suaranya melengking, mencerminkan frustrasinya.

"Haha, iya aku tahu itu.... Tapi kau seharusnya berpikir lebih baik lagi. Dia menginginkanmu menjadi putrinya, karena itulah dia rela turun tangan mengaku bahwa dia pemilik distrik hanya untuk bertemu denganmu.... Memang benar, akhir-akhir ini sebelum dia bertemu denganmu, dia sering merasa tidak enak badan. Itu karena dia memikirkan bagaimana rasanya kehilangan putrinya, apalagi ada yang lebih mirip dengan putrinya di sini...." Alfavian menjelaskan panjang lebar, kali ini nadanya lebih serius, seolah ingin memastikan Silvax memahami setiap kata yang diucapkannya.

Silvax menghela napas dalam, mencoba mencerna informasi itu. Pikirannya berkecamuk. "(Jadi, dia memilih membelaku? Apa aku harus menurutinya saja... Dia bilang dia memiliki kondisi psikologis karena putrinya....) Lalu, apa yang harus kulakukan untuk membuatnya lebih baik...?" Ia memandang kosong ke lantai, hatinya dipenuhi keraguan dan iba.

"Jika aku jadi kau, aku akan mencarinya sekarang, mengobrol dengannya, dan mendengarkan semua isi pikirannya soal bagaimana dia sangat menyayangi putrinya meskipun putrinya sangat nakal..." kata Alfavian dengan nada tenang, seperti memberi saran dari hati.

"Kau berpikir begitu?" Silvax mengangkat pandangannya, menatap Alfavian dengan kebingungan yang jelas di wajahnya.

"Karena dia bilang putrinya seperti kuda liar, aku percaya saja bahwa putrinya itu gadis yang buruk, jadi aku sebut dia nakal..." Alfavian berbicara santai, bahkan tersenyum kecil, tapi tanpa sadar menyisipkan sindiran yang langsung mengenai Silvax. Wajah Silvax memerah, matanya menyipit menahan kesal.

Namun, Alfavian tidak menyadari perubahan ekspresi Silvax dan segera menutup mulutnya dengan tangan. "Ma... Maksudku, bukan kamu... Bukan berarti kamu juga sama nakalnya... Ah, maksudku... Tidak... Maafkan aku...." Ia tergagap, menyadari kesalahannya. Silvax hanya menghela napas panjang, mencoba menahan diri dari amarah yang meluap.

Sementara itu, di sisi K, dia sedang berada di sebuah ruangan seperti kantor. Dia menatap kertas yang ia pegang di meja dengan serius, lalu meletakkannya di meja dan menghela napas panjang.

"(Aku harus mengirim gadis itu dalam minggu ini...)" pikirnya.

Namun, tanpa disangka-sangka, ada yang mengetuk pintu, membuatnya menoleh ke arah pintu besar itu. Dia menunggu lama, tetapi orang yang mengetuk kembali mengetuk pintu, membuat K kebingungan.

"Apa yang kukatakan soal aturan? Masuk saja," katanya, berpikir bahwa itu hanyalah salah satu anggota organisasi. Tapi begitu pintu dibuka oleh orang di luar, dia terkejut karena itu adalah Silvax.

"Kenapa kemari? Kupikir kau salah satu dari mereka. Kau tahu? Aku meminta mereka untuk langsung masuk saja," ujar K, menatap Silvax.

Silvax hanya diam. Dia masuk perlahan sambil melihat sekeliling ruangan. "Soal putrimu..." ucapnya dengan nada ragu, membuat K terkejut dengan topik yang dibicarakan.

"Kenapa? Putriku?" tanya K dengan nada penasaran.

"Aku hanya ingin tahu lebih banyak soal putrimu. Siapa tahu, kita bisa saling melengkapi... untuk sementara," kata Silvax sambil menatap ragu. Wajahnya terlihat tidak nyaman.

Namun, K tersenyum kecil. "Jadi maksudmu, kau putriku dan aku ayahmu?" tanyanya.

"Hanya untuk sementara. Kau boleh memanggilku begitu. Aku sebenarnya tidak ingin melakukannya, tapi aku tahu kondisimu penting di sini sebagai pemimpin..." jawab Silvax dengan ragu, membuat K tersenyum kecil, seolah dia merasa senang.