Chereads / Gadis Pembunuh Tanpa Cinta Tanda Sejati / Chapter 20 - Chapter 20 Mengulang

Chapter 20 - Chapter 20 Mengulang

Setelahnya, dia berjalan masuk ke rumah kayu itu. Udara di dalam terasa lebih sejuk, membawa aroma khas kayu tua yang bercampur dengan wangi tanah basah dari luar. Bagian dalam rumah itu sederhana, namun ada kehangatan yang terpancar dari setiap sudutnya. Lantainya terbuat dari papan kayu yang sedikit memudar warnanya, dan setiap langkahnya menghasilkan bunyi derit pelan, seolah rumah itu ingin menyapa sang pemilik. Sebuah sofa tua yang lapuk oleh waktu terletak di ruang utama, dengan kain pelapisnya sedikit robek di beberapa sudut. Di sampingnya, berdiri sebuah meja kecil dengan lampu baca yang memancarkan cahaya kekuningan, menciptakan suasana temaram yang nyaman.

"(Meskipun sekarang identitasku agak terancam, aku akan mencoba tetap tenang... Aku hanya akan menjalani kesibukanku sebagai penulis buku, dan setelah ini pasti ada klien yang akan mencoba menjebakku lagi. Jadi mungkin, aku akan berhenti...)" pikirnya. Raut wajahnya mencerminkan konflik batin yang mendalam, namun langkah kakinya tetap mantap menuju sebuah ruangan di sudut rumah. Ruangan itu kecil dan sempit, dengan rak-rak kayu yang berderet, menampung berbagai senjata yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama bertahun-tahun. Beberapa senjata tampak tua dengan goresan di permukaannya, sementara lainnya masih terlihat tajam dan mengkilap. Dengan hati-hati, dia memasukkan senjata-senjata itu ke dalam ruangan, seolah-olah ingin mengunci masa lalunya di sana, jauh dari pandangan dan pikirannya.

"Sudah kuputuskan... Aku tidak akan menerima pembunuhan apa pun lagi," gumamnya. Suaranya terdengar pelan, nyaris seperti berbisik kepada dirinya sendiri, namun ada nada tegas di balik keraguannya.

Ia menutup pintu ruangan itu perlahan, mendengar suara klik kunci yang terdengar jelas di tengah keheningan rumah. Setelahnya, dia berjalan kembali ke sofa, langkah kakinya lebih ringan seolah-olah beban besar baru saja terlepas. Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa yang empuk namun sudah tua, mengambil ponselnya yang tergeletak di meja kecil. Matanya menatap layar dengan pandangan kosong, sementara jari-jarinya perlahan menggulir daftar kontak. Ia berhenti di sebuah nama: Delmar, dosennya. Pandangan matanya berubah ragu, seolah ada pergolakan dalam hatinya. "(Haruskah aku menghubunginya? Aku ingin menyelesaikan kuliahku...)"

Tanpa sengaja, ibu jarinya menyentuh tombol panggil. Detik berikutnya, mata Silvax membelalak. "(Oh tidak... Tidak sengaja...)" pikirnya dengan panik.

Namun, sebelum ia sempat memutus panggilan itu, suara dari seberang terdengar.

"Silvax?!" Suara itu terdengar terkejut, dengan nada tinggi yang menunjukkan campuran antara rasa heran dan kekhawatiran.

"Dosen... Lama tidak mendengar suaramu..." kata Silvax. Suaranya bergetar sedikit, namun ia berusaha menenangkan diri.

"Ke mana saja kau, bodoh? Berani sekali kau membohongiku soal bagaimana kau pulang selama seminggu... Bahkan kau meninggalkan wisuda kelulusanmu..."

"Maafkan aku, aku merasa bersalah... Aku ada kendala ketika aku pergi. Bukankah seharusnya kau sebagai dosenku membelaku?" tanya Silvax dengan suara pelan, namun ada nada keyakinan yang ia coba paksakan.

"Silvax, dengar, waktu tidak bisa aku putar ulang... Angkatanmu sudah lulus, dan kau tidak akan bisa kembali kecuali kau mengulangi satu tahun dengan angkatan di bawahmu," jawab Delmar tegas, suaranya tak sedikit pun melunak.

Silvax terdiam. Dia menarik napas panjang, matanya memandang kosong ke arah langit-langit yang dipenuhi dengan bekas noda waktu. *(Meskipun aku pembunuh, aku tetap punya cita-cita seperti banyak orang: lulus kuliah...)* pikirnya.

"Baiklah, aku akan melakukannya... Aku akan masuk ke tingkatan setelah angkatanku... Aku memohon bantuanmu..." katanya, suaranya kini terdengar lebih tulus.

"Baiklah, baiklah... Aku akan mengurusnya untukmu. Kau beruntung ada aku yang mau membantumu," kata Delmar. Suara itu, meski masih tegas, terdengar sedikit melunak sebelum akhirnya panggilan berakhir.

Silvax menurunkan ponselnya, lalu menghela napas panjang. "Kenapa aku harus melakukan hal semacam ini..." gumamnya, tatapannya kosong, menatap langit-langit ruangan yang dipenuhi bayangan temaram dari lampu di meja.

Hingga setelah beberapa minggu berlalu dan Delmar sudah selesai membantu Silvax mengurus masuknya dia di angkatan sebelum lulus. Silvax akan masuk hari ini, tapi meskipun dia belum masuk ke dalam kampus itu, mulai banyak rumor bertegangan di sana. Apalagi yang di bicarakan dua mahasiswi di kelasnya. Di salah satu sudut kelas, dua mahasiswi tampak berbicara pelan, membahas desas-desus yang berkembang.

"Hei, aku dengar-dengar akan ada mahasiswi yang masuk hari ini dan dia baru... Tapi kudengar dia adalah mahasiswi yang gagal lulus karena tidak sengaja keluar dari kampus..."

"Ah, iya, aku juga tahu itu... Dia keluar karena pergi terlalu lama dan tidak bisa mengikuti ujian akhir... Jadi tidak ikut wisuda juga... Tapi menurutmu, apakah dia akan menjadi yang paling paham di materi milik dosen Delmar?"

Percakapan mereka berlangsung dengan suara nyaris berbisik, sementara suasana kelas dipenuhi keributan kecil dari mahasiswa lain yang menunggu dosen datang. Beberapa meja penuh coretan, bukti dari generasi sebelumnya yang pernah belajar di ruangan itu.

"Entahlah, kita juga tidak tahu alasan pasti itu... Bisa jadi dia hanya mengambil ijazah saja... Tapi kemampuan berpikirnya lemah..."

"Hei, jangan begitu... Kau tahu kan yang hanya mengambil ijazah di sini siapa..." Mereka saling menatap hingga perlahan menoleh ke belakang. Di meja paling atas, seorang pria tertidur dengan posisi bersandar. Kakinya terangkat di meja, dan napasnya yang berat terdengar pelan. Pria itu tampak jauh lebih tua dibandingkan mahasiswa lainnya, bahkan lebih tua daripada dosen termuda di sana, yakni Delmar.

Dengkuran kecil pria itu menggema di tengah percakapan. "Astaga, Yosef... Dia memang begitu..."

"Haha... Iya, dia selalu malas-malasan... Bahkan dia bisa tertidur di sepanjang pelajaran... Kudengar umurnya bahkan lebih tua..."

"Tentu saja... Dia kan gangster..."

"Oh iya, benar, dia gangster... Bukankah itu hebat, meskipun dia gangster, pihak kampus tidak mempermasalahkan itu?"

"Iya, itu memang tidak masuk akal, tapi jika gangster sepertinya berjanji untuk tidak membuat onar, pihak kampus akan senantiasa menutupi keadaan bahwa ada gangster di kampus terbaik... Apa salahnya seorang gangster juga ingin mengejar cita-citanya, wisuda meskipun waktunya sudah lewat..."

"Kau benar, semua orang pastinya menginginkan gelar yang tidak dapat sembarangan orang punya... Yah, kita hargai saja pria itu ada di sini..."

Namun, siapa yang menyangka, pria bernama Yosef itu sudah berdiri di belakang mereka. Bayangan tubuhnya yang besar memanjang di lantai, sementara ia menatap mereka dengan ekspresi datar.

"Y... Yosef?!" Mereka tersentak ketika menyadari keberadaannya.

"Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanyanya dengan nada rendah, namun tegas. Tatapannya penuh tekanan, meskipun tubuhnya tetap berdiri santai, dengan tangan dimasukkan ke dalam kantung celananya.

"Ka... Kami... (Jangan sampai dia tahu kita tadi membicarakannya...) Kami hanya membicarakan mahasiswi baru yang akan masuk ke dalam kelas kita..." balas salah satu mahasiswi tadi dengan suara gemetar.

Yosef hanya memutar matanya dengan malas, lalu berjalan keluar tanpa berkata apa-apa lagi.

Mereka menghela napas panjang. "Hampir saja... Untungnya dia tidak tahu apa yang kita bicarakan tadi..."

"Sempat mengerikan, tubuhnya yang besar dan tatonya itu..." Mereka masih tampak gemetar meski Yosef sudah tidak ada di sana.

Tapi kemudian dosen Delmar masuk, langkahnya terdengar normal dan berwibawa, membuat suasana kelas yang semula gaduh langsung hening. Semua mahasiswa segera duduk di tempat mereka masing-masing, ada yang tergesa-gesa menarik kursi, ada juga yang berbisik pelan dengan temannya sebelum akhirnya diam. Delmar berjalan ke depan kelas dengan tenang, mengenakan kemeja formal yang rapi, membawa setumpuk dokumen yang digenggamnya erat. Dia melirik seisi kelas dengan tatapan penuh evaluasi, lalu merapikan dokumennya di atas meja.

"Maaf terlambat... Dan, di mana Yosef?" tanyanya, suaranya tegas dan sedikit rendah, membuat semua perhatian tertuju padanya. Matanya menatap langsung ke bangku kosong milik Yosef, memberikan kesan tajam yang membuat beberapa mahasiswa berbisik pelan.

Lalu ada suara yang terdengar dari tengah ruangan. "Ah, dia baru saja keluar," jawab seorang mahasiswa, terdengar ragu namun cukup jelas.

Delmar menghela napas panjang, menarik perhatian semua orang di ruangan itu. "Pria itu, dia pasti merokok di balkon..." gumamnya, namun cukup keras hingga bisa didengar. Dia mengangkat wajahnya sedikit dan menoleh ke pintu. Dengan gerakan tangan, dia mengisyaratkan seseorang untuk masuk. "Kalian sudah tahu, bukan, bahwa hari ini ada tambahan mahasiswi baru..."

Langkah kaki terdengar dari luar pintu, semakin jelas ketika sosok itu muncul. Silvax masuk dengan penuh percaya diri, auranya yang kuat langsung menyita perhatian. Sepatu putih dan hitamnya bersih, nyaris tanpa noda, berpadu dengan celana hitam panjang yang menjuntai sempurna. Kemeja abu-abunya tidak hanya memberi kesan formal, tetapi juga memancarkan gaya sederhana yang elegan. Rambutnya, yang terikat setengah ke belakang, tampak rapi namun tetap natural, membingkai wajahnya yang bersih. Sebuah tas ransel kecil tergantung di punggungnya, terlihat praktis namun tidak mengurangi kesan stylish.

Semua mata di kelas tertuju padanya. Mereka menatapnya dengan rasa penasaran bercampur takjub, beberapa bahkan memasang ekspresi seperti baru menyadari sesuatu.

"Dia Silvax," kata Delmar, suaranya terdengar penuh kepercayaan. "Angkatan sebelumnya yang tidak dapat mengikuti wisuda dan terpaksa harus mengulang di sini. Jika kalian bingung dengan materi yang aku sampaikan, kalian bisa bertanya padanya."

Namun, respons yang muncul tidak langsung penuh kepercayaan. Beberapa mahasiswa saling melirik, ragu-ragu untuk menerima pernyataan tersebut.

Silvax, dengan ekspresi wajah yang tetap datar, menambahkan perkenalannya. "Senang bertemu dengan kalian. Aku sudah menguasai sastra modern dan digital, sastra klasik, dan yang lainnya..." ucapnya, nada bicaranya stabil, penuh keyakinan. Meski begitu, tidak ada senyuman di wajahnya. Tatapannya tetap dingin, memancarkan aura yang sulit didekati, membuat suasana terasa semakin tegang.

"Itu bagus, Silvax. Aku harap kau bisa mengikuti tahun ini dengan baik. Dan duduklah di mana saja," kata Delmar sambil menatapnya. Silvax mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa, lalu berjalan naik ke tangga, langkahnya tenang dan teratur. Dia terus menaiki tangga hingga tiba di bagian belakang kelas, di mana suasana sedikit lebih sepi. Dia memilih duduk di bangku kosong, menyadari bahwa di sebelahnya ada kursi lain yang juga kosong.

"(Mungkin itu tempat seseorang...)" pikirnya sambil melirik kursi tersebut.