"Baiklah, aku akan melanjutkan materi yang kemarin," kata Delmar, suaranya memecah keheningan. Dia bersiap untuk memulai materi, namun langkah kaki lain terdengar, menginterupsi suasana. Semua orang menoleh ke arah pintu, dan Delmar menghentikan kegiatannya. Sosok yang masuk adalah Yosef, dengan senyuman santai di wajahnya.
Delmar langsung menghela napas panjang, ekspresinya mencerminkan rasa frustrasi. "Yosef, kau merokok lagi?" tanyanya, nada suaranya penuh penekanan.
Yosef, tanpa menunjukkan rasa bersalah, hanya tersenyum kecil. Dengan langkah santai, dia berjalan menuju tempatnya sambil menjawab, "Tidak masalah jika di balkon, kan?"
Sementara itu, Silvax memperhatikan pria itu dengan saksama. Yosef berjalan menaiki tangga, langkahnya tenang namun penuh keyakinan. Hingga akhirnya, dia memilih duduk di samping Silvax. Kehadirannya membuat Silvax terdiam sejenak, ekspresi wajahnya berubah sedikit.
"(Sepertinya aku duduk di tempat yang salah...)" pikir Silvax, merasa tidak nyaman.
Namun, ketidaknyamanan itu semakin terasa ketika Yosef mulai menatapnya. Tubuh Yosef yang tinggi membuatnya bisa melihat kepala Silvax dengan mudah, bahkan buku yang ada di depannya. Tatapannya intens, membuat suasana di antara mereka menjadi aneh.
"(Kenapa aku seperti mengenalnya... Tapi di mana?)" pikir Silvax, alisnya berkerut, berusaha mengingat sesuatu. Saat itulah Yosef berbicara dengan suara pelan, namun cukup jelas untuk didengar. "Kau, gadis pembunuh...."
Seketika, Silvax terkejut. Ujung bukunya ia remas dengan erat, tatapannya berubah tegang. "(Kenapa... Dia tahu?!)" pikirnya panik. Dia menoleh tajam ke arah Yosef, mata mereka bertemu. Tatapan Silvax penuh keseriusan, tidak ada sedikit pun rasa takut. Sebaliknya, Yosef menatapnya dengan santai, seolah-olah sedang mengamati sesuatu yang menarik.
"Kau pikir aku ke sini karena apa? Aku sudah lama ingin melihatmu, dan rupanya kau ada di sini..." kata Yosef, suaranya terdengar tenang namun penuh arti. Ia menyangga dagunya dengan tangan, terus menatap Silvax tanpa mengalihkan pandangannya.
"Aku tidak mengenalmu," balas Silvax, suaranya dingin, namun tetap penuh dengan kewaspadaan. Tatapannya semakin tajam.
"Aku adik dari pria tua itu, Vaden..." kata Yosef, nadanya berubah sedikit lebih serius, meskipun wajahnya masih terlihat santai dan sedikit menggoda. Suasana di sekitar mereka tiba-tiba terasa lebih tegang.
Seketika Silvax terkejut, tubuhnya sedikit kaku, dan refleks ia mengatakan, "Apa?!" Suaranya hampir seperti terperangkap dalam keheningan yang mendalam. Bahkan semua orang yang berada di sekitar mereka langsung menoleh ke arah Silvax. Delmar, yang berada di sudut ruangan, langsung menatap tajam ke arahnya, matanya seakan bisa menembus ke dalam pikiran Silvax.
"Apa yang kalian berdua lakukan?" tatap Delmar dengan tegas, suaranya menggema dengan otoritas yang sulit dibantah. Keheningan semakin mencengkeram, hanya suara napas yang terdengar, menggantung di udara.
Yosef membalas dengan santai, seakan tidak ada yang berubah. "Hanya terkejut dengan materinya..." katanya sambil melirik ke arah Silvax, namun senyumnya yang licik tak bisa disembunyikan. Meskipun ia terlihat santai, ada ketajaman dalam pandangannya, apalagi ketika matanya beralih kepada Silvax yang masih berwajah tak percaya dan tampak kebingungan.
"(Dia adik dari Vaden?! Tapi, aku memang pernah mendengarnya... Dia bercerita bahwa adiknya merupakan seorang gangster hukum di jalanan. Sesuai namanya, dia bisa mengendalikan hukum dengan mudah. Dia juga memiliki banyak kenalan orang-orang hukum, bahkan polisi tunduk pada kekuasaannya. Dia bekerja di jalanan, tapi pekerjaannya lebih mengerikan dari apa pun. Kenapa dia bisa ada di sini? Kenapa dia bisa ada di kampus ini, dan apakah dia sengaja melakukannya... untuk menemui aku?)" Pikiran Silvax berputar cepat, mengurai informasi yang baru saja ia dengar. Tubuhnya masih terasa kaku, tak bisa bergerak bebas karena ketegangan yang mengalir begitu deras di dalam dirinya.
Ia kemudian mendengar Yosef berbicara pelan, suara itu hanya untuk dirinya, seperti bisikan yang menghantui setiap pikiran yang ada dalam benaknya. "Aku sudah membaca semua cerita digitalmu..." tatapnya, dan seketika Silvax kembali menatap ke arahnya. Pandangan mereka bertemu, dan ada sesuatu yang lebih dalam di balik tatapan itu. "Kau... membaca semuanya?" Silvax menatapnya dengan rasa tidak percaya yang tak dapat ia sembunyikan. Rasa cemas mulai merayapi dirinya.
"Yah, aku membacanya ketika bosan. Aku tertarik pada novel series yang belum lama kau rilis... Bukankah itu merupakan dokumenter? Kau tidak takut polisi akan menangkapmu karena cerita itu adalah bukti dokumentermu..." kata Yosef dengan nada yang tetap santai, namun dengan kesan bahwa ia tahu lebih banyak dari yang diungkapkan. Silvax bisa merasakan gelombang ketegangan yang muncul begitu saja, seakan setiap kata yang diucapkan Yosef mengguncang setiap sudut pikirannya.
Silvax terdiam, tak tahu harus berkata apa. Ia menatap buku di tangannya, meremas ujungnya hingga kertasnya mulai sedikit kusut, sambil mencoba menenangkan dirinya. "Aku hanya membuatnya sebagai konsep cerita. Jika cerita itu dalam bentuk fiksi tulisan, maka orang lain tidak akan sadar itu dibuat berdasarkan dunia nyata... Lagipula, hanya itu satu-satunya cara aku mendapatkan ide cerita," jawabnya dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha menyembunyikan kecemasan yang melanda.
"Hm... Kau menjadikan kehidupanmu dalam satu cerita. Kau gadis pembunuh tanpa cinta..." kata Yosef sekali lagi dengan nada yang tenang, namun ada semacam tantangan di baliknya. Silvax merasa tatapan itu semakin menusuk, seakan ia tahu lebih banyak tentang dirinya daripada yang ia inginkan.
"Jadi, kau akan membunuh siapa hari ini?" tanya Yosef, sekali lagi dengan postur santai dan suara pelan yang hanya dapat didengar oleh Silvax.
Silvax yang mendengar pertanyaan itu merasa wajahnya menjadi semakin tidak nyaman. Tangan yang memegang buku itu semakin terasa berat, dan ujungnya yang ia remas telah berantakan, seperti bayangan kekhawatiran yang mulai menghantuinya. Ia menundukkan kepala, merasa tidak enak dengan pertanyaan tersebut. "Aku... sudah berhenti..." jawabnya, suara itu hampir seperti bisikan yang terlepas begitu saja, penuh keraguan.
Mendengar itu, seketika membuat Yosef terdiam. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit ditebak, namun ada keraguan yang tersirat di dalamnya. "Mustahil, bukan? Kau tidak punya jalan lain..." katanya dengan nada yang hampir seperti tantangan, seakan menguji keteguhan hati Silvax.
Tapi Silvax hanya terdiam, wajahnya tertunduk, seolah-olah mencoba mencari ketenangan di tengah kebingungannya. Ia sudah hampir terbiasa melupakan pekerjaan tercintanya, namun kini ia merasa terjebak dalam dilema yang semakin mencekam. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dari luar jendela, namun di dalam ruangan itu, ketegangan semakin menggantung di udara. "Tidakkah kau dengar? Aku berhenti..." Sekali lagi dia menatap Yosef, mata yang biasanya tajam kini dipenuhi keletihan yang dalam.
"Kau berhenti untuk apa? Kau ingin menyerahkan dirimu pada hukum? Kau pasti takut karena terakhir kali kau menjalankan tugasmu, kau hampir mati dan terkena serangan balik..." tatap Yosef seketika membuat Silvax menatap dengan mata lebar, seolah-olah perkataan itu memukulnya tepat di jantung. Ruangan itu sunyi sejenak, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar. "Berhenti bicara dan jangan mengaitkan hal itu di sini..." kata Silvax, suaranya bergetar, namun dia berusaha keras menahan amarah yang perlahan mulai menyala.
Tapi Yosef tidak berhenti. "Aku sudah lama menunggu mu, dan ini kesempatan ku untuk berbicara banyak denganmu... Aku sudah sangat bosan di sini..." tatapnya, nada suaranya yang agak lebih lembut kali ini menunjukkan keputusasaannya, meskipun raut wajahnya tetap datar dan tenang.
Tapi detik berikutnya, Delmar memanggil salah satu dari mereka. "Yosef..." panggilnya agak tegas, suaranya menggetarkan kesunyian yang sempat tercipta. Membuat Yosef menatap dengan tatapan santai, seolah tak ada yang perlu dipikirkan lebih dalam. Ruangan itu terasa semakin sesak, dengan lampu yang temaram di sudut-sudutnya.
"Yosef, apa yang disebut Sastra Prosa?" tanyanya, suara Delmar terdengar lebih seperti perintah daripada sebuah pertanyaan biasa. Sepertinya Delmar tahu Yosef berbicara dengan Silvax, jadi dia melempar pertanyaan padanya untuk mengalihkan perhatian. Atmosfer menjadi tegang, dan meskipun semuanya terlihat biasa saja, ada sesuatu yang tak terucapkan di udara.
Silvax terdiam, pikirannya mulai melayang jauh. Ia berpikir Yosef tidak akan bisa menjawabnya. "(Dia pasti tidak bisa menjawabnya....)" pikirnya dalam hati, tetapi matanya tetap terpaku pada sosok Yosef yang tampaknya tak terganggu oleh pertanyaan Delmar yang tiba-tiba.
Tapi siapa yang menyangka, Yosef dapat menyebutnya dengan mudah. "Itu termasuk jenis narasi. Narasi meliputi mitos, legenda, yang ditemukan dalam catatan tertulis," jawabnya dengan santai, seolah-olah dia baru saja menjawab soal ujian dengan percaya diri. Silvax menatap tak percaya, seolah dia baru saja mendengar sesuatu yang sangat mengejutkan, dan sejenak dunia di sekitarnya terasa berhenti berputar.
Tapi Delmar tidak berhenti. "Apa kau tahu sastra nonfiksi modern dan dulu?"
"Tentu saja, dokumenter..." jawab Yosef dengan percaya diri, bahkan dia langsung menatap ke Silvax, menantangnya dengan tatapan yang penuh arti. Silvax yang semula hanya terkejut, kini merasa sedikit tersindir, dan hatinya merasa tercekik oleh kata-kata itu. Suasana semakin panas, meskipun mereka hanya duduk dalam ruang yang gelap, dengan lampu yang menyinari wajah mereka dalam cahaya redup.
"Kau bisa membuat novel dokumenter?" tanya Delmar dengan tajam, suaranya berbisik seperti sebuah ancaman yang tak terucapkan.
"Tidak, tapi pasti sudah ada yang punya..." jawab Yosef kembali memohon pada Silvax, namun kali ini dengan nada yang sedikit lebih rendah. Silvax kembali meremas bukunya, merasa semakin terjepit dalam percakapan yang seolah tak berujung. "(Jangan membuatku seolah-olah aku sengaja mengumbar bahwa aku pelaku pembunuhan selama ini.... Kau terlalu keji di sini...)" Ia tampak kesal, wajahnya memerah, dan tangannya menggenggam buku lebih erat, seolah itu adalah satu-satunya cara untuk menenangkan diri.
"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Yosef. Jika kau tidak bisa membuat dokumenter, maka diamlah dan jangan berbicara dengan Silvax..." Delmar kembali menatap laptopnya, tidak terganggu sedikitpun oleh ketegangan yang tercipta di antara mereka. Dia tampaknya lebih tertarik pada tugasnya, daripada hiruk-pikuk yang terjadi di sekitarnya.
Yosef hanya tersenyum kecil, sedikit sinis, bahkan dia melirik kembali ke Silvax yang tampak gemetar. "Aku hanya memperingatimu... Kau harus menghapus cerita itu... Atau cepat atau lambat, itu juga akan menjadi sebuah dokumenter yang mudah ditemukan..." tatap Yosef, suaranya terasa berat dan penuh makna, meninggalkan bayang-bayang ancaman yang samar namun nyata.
"Kau mau apa?" Silvax menatap tajam, hatinya semakin gelisah. Dia bahkan menatap dengan sangat kesal, tubuhnya bergetar, namun dia berusaha menahan emosi yang mendalam.
"Hanya memperingatimu... Tak lama lagi akan ada hal yang luar biasa datang padamu..." balasnya, kata-katanya penuh misteri yang membuat Silvax benar-benar tidak percaya dan tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Namun, meskipun kebingungan itu menguasai dirinya, ia tahu satu hal pasti: Dia harus waspada. Sesuatu yang tidak biasa sedang menunggu di depan, dan itu bisa merubah segalanya.