Terlihat Neko terbangun di ranjang rumah sakit.
"Oh, kau sudah terbangun," Perawat di sampingnya menatap. Neko benar benar sudah berada di rumah sakit.
Lalu ia menjadi sadar dan terkejut. "Apa yang terjadi?"
". . . Tuan Felix dan kau baik baik saja, mungkin akan sedikit sakit dengan luka di kakimu."
"Tidak, maksudku, bagaimana dengan bayinya!?"
"Oh, dia bayi yang kuat, dia baik baik saja, selama kau tidak merasakan sakit pada perutmu," Perawat itu membalas.
"Di mana dia sekarang?" Neko kembali bertanya
"Tuan Felix? Dia akan datang kemari sebentar lagi, aku permisi dulu," Perawat itu berjalan keluar ruangan nya.
"(Aku benar benar beruntung,)" Neko memegang perutnya sendiri, tak lama kemudian, Felix datang dan mendekat. "Bagaimana perasaanmu?"
". . . Aku baik baik saja."
"Aku benar benar bodoh hampir membuatmu celaka, aku benar benar minta maaf," kata Felix dengan tatapan menyesal.
Seketika Neko terkejut melihat wajah itu tapi dia memilih untuk diam dan melupakan hal itu.
"Aku tidak butuh itu, aku hanya ingin pulang."
"Kakimu belum sembuh."
"Aku ingin istirahat di kamarku saja, disini tidak nyaman," tatap Neko. Lalu Felix menggendong Neko tapi siapa sangka Neko malah langsung menggigit leher Felix hingga berdarah.
". . Sh... Apa kau bilang seperti itu hanya karena ingin menggigitku saat aku mengangkat mu?"
"(Berisik, aku sedang haus,)" Neko menguatkan gigitan nya hingga membuat leher Felix benar benar berdarah.
--
Malam itu, Neko membuka matanya dari ranjang, ia lalu berganti posisi miring ke sebelah, namun siapa sangka ia begitu terkejut karena ia menghadap Felix yang tidurnya menghadap padanya.
"Apa ini?" Neko terdiam tidak nyaman.
Dia terus memandangi wajah Felix hingga ia sadar terlalu lama memandang alhasil ia mendorong wajah Felix. "Hentikan, kau begitu menggangu!" teriak Neko membuat Felix membuka matanya dengan bingung.
"Ada apa denganmu, kau bermimpi aku menjatuhkan mu lagi?" tanya Felix.
"Pergilah ke ranjang sebelah napah? Aku sedang tidak ingin kau disini."
"Aku disini juga untuk menjaga nya," Felix mengelus perut Neko.
"Hentikan, dia belum ada beberapa bulan."
"Aku tahu itu, sebelum ini membesar seharusnya kau merubah sifat mu, kau ingin sesuatu untuk bayimu bukan."
"Kau mengatakan hal yang sama seperti Acheline dulu," kata Neko.
"Mungkin dia akan memberitahumu nanti," Felix menambah.
"Sebaiknya kau kembali tidur," tambah Felix menarik Neko untuk kembali berbaring bersamanya.
Tapi, Neko kembali terbangun duduk dengan Felix yang masih tidur menghadap nya di sampingnya.
Neko menatap jam yang masih jam 10 malam. Ia seperti terlihat khawatir.
Lalu Felix terbangun dan menatapnya. " . . Ada apa?"
" . . . Entahlah, aku ingin sesuatu," kata Neko.
"Katakan saja, bayi kecil itu pasti sudah menginginkan sesuatu," tatap Felix.
"Aku. . . Ingin... Kue apel."
"Kue apel? (Dimana mencarinya?)" Felix terdiam berpikir. Lalu ia kembali menatap warna mata merah Neko.
"Baiklah, tunggulah aku disini, aku akan pergi sebentar," dia membelai rambut Neko lalu berjalan keluar dari kamar. Neko terdiam dan menghela napas panjang. "(Itu tadi apa... Kenapa aku seperti ingin kue apel... Padahal aku sudah lama tidak menyukai itu,)" ia menjadi bingung sendiri.
Sementara itu Felix keluar dari mobilnya yang ia kendarai sendiri di malam itu. Ia ada di toko kue dan sekarang masuk untuk mencari kue apel.
"(Kue apel? Kenapa dia bisa terpikir kan makanan asing itu, apa dia pernah makan sebelum nya. Apa karena pengaruh bayi itu?)" bahkan Felix juga bingung.
Setelah selesai mendapatkan nya, dia kembali dan membuka pintu kamar. Tapi ia terdiam ketika melihat Neko yang ada di bawah ranjang memeluk lututnya dengan wajah yang khawatir.
"Apa yang terjadi padamu?" Felix berjalan mendekat.
"Ku... Kue apel nya mana?" Neko menatap dengan gemetar.
"Aku sudah membawakan nya, apa bayi itu benar benar memaksa mu?" Felix menatap, lalu Neko mengangguk dengan tertekan.
Pagi selanjutnya Felix menghela napas panjang di meja kantornya sambil bersender di kursinya.
Ia memikirkan Neko yang saat itu ada di tempatnya, saat mereka berdua ada di tempat paling bagus.
"(Harus kah aku membawanya ke sana lagi?)" ia terdiam berpikir sambil melihat ke langit langit atas.
Tapi ada yang datang membuka pintu kantornya, yakni Sheo Jin. "Halo Felix....." seperti biasanya, dia menyapa dengan gembira.
Tapi Felix hanya kembali fokus pada pengerjaan di meja nya.
"Aigo Felix, jangan begitu lah... Aku kemari buat ngasih tahu, ini waktunya melamar dia," kata Sheo Jin.
"Apa kau yakin ini benar benar waktunya?" Felix melirik nya.
"Tentu, aku sudah menghitung waktunya, sebaiknya kau cepat cepat nikahi dia," kata Sheo Jin.
"Tidak bisa," Felix langsung menyela membuat Sheo Jin terkejut. "Ke.... Kenapa?!"
". . . Aku tahu dia akan membalas tunggu hingga bayi itu lahir, aku akan menunggu bayi itu lahir."
"Ouh begitu ya, tak apa lah... Ngomong ngomong kau sudah menentukan nama bayinya dan apa jenis kelamin nya?"
"Kau tidak perlu tahu sebanyak itu bukan?"
"Hei aku ini kan teman mu, aku juga bakal jadi bibi dari bayi itu hehe.... Aku akan panggil dia dengan sebutan bagus nantinya, pasti bayi yang dilahirkan nya akan sempurna sama seperti kalian berdua haha," Sheo Jin terlalu senang, lalu ia berjalan pergi.
Tapi Felix hanya memasang tatapan suram itu, ia lalu melihat jam sudah hampir sore.
"(Sebaiknya aku segera pergi,)" ia berdiri memakai mantel nya lalu berjalan pergi.
Felix kembali ke tempatnya dan melihat Neko duduk di sofa kamar nya dengan membaca buku dan aneh nya, dia terlihat memakai kemeja putih yang besar dengan celana miliknya sendiri. Felix terdiam bingung dan berjalan mendekat.
"Apa yang kau pakai?"
Lalu Neko menengadah dan membalas. "Aku meminjam bajumu," balas nya dengan wajah datar.
"Bajuku? Ada apa dengan bajumu?"
"Kenapa kau bertanya?! Terserah aku memakai baju manapun," Neko membalas dengan kesal.
Tapi di sana Felix mengerti sesuatu. Ia langsung membuka baju Neko hingga memperlihatkan perut Neko. "Ah apa yang kau lakukan?!" Neko menjadi terkejut.
"Aku mengerti, kau memakai baju ku karena lebih besar dan itu akan menyamarkan perut mu yang hampir membesar ini bukan?" lirik Felix dengan berlutut di bawah memegang perut Neko.
"Hentikan itu... Jika sudah tahu lepaskan tangan mu!!" Neko menjadi berwajah merah.
"Tidak akan, aku akan membawamu ke suatu tempat lagi.... Tempat yang bagus," kata Felix.
"Tempat yang bagus?" Neko menjadi terdiam.
"Yeah, bagaimana dengan kakimu, apa itu baik baik saja?" Felix memegang kedua kaki Neko dengan lembut.
"I.... Itu baik baik saja, aku sudah bisa berjalan."
". . . Kau benar benar kuat, aku tidak bisa membayangkan seberapa kuat bayi kita nantinya," kata Felix dengan senyum kecilnya membuat Neko terdiam masih merona.
"Baiklah, ayo berangkat," Felix menggendong Neko.
"Apa? Aku bisa jalan sendiri, kau tak perlu membawaku!"
"Kau tidak bisa membantah," balas Felix yang berjalan. Mereka menaiki mobil hanya berdua saja dengan Felix yang mengendarainya.
Tak lama kemudian, Felix menatap ke ponselnya, lalu menoleh ke Neko yang duduk di sampingnya melihat ke kaca mobil. Lalu Felix menghentikan mobilnya, mereka saat ini ada di sebuah dermaga kargo pada sore hari.
"Kenapa kita di sini?" tanya Neko sambil masih melihat ke luar.
"Kau masih ingat saat pertama kali kau kemari bukan," kata Felix sambil membuka pintu Neko, lalu Neko keluar dan melihat banyaknya kapal yang berlabuh di sana. "Saat itu tidak seperti ini."
"Itu karena saat itu malam, sekarang kau sudah bisa melihatnya dengan jelas."
Mendengar itu Neko menjadi terdiam, ia masih memasang wajah khawatir itu.
"(Ini mulai membuatku tidak nyaman, aku tidak tahu ada apa di luar sana yang mungkin saja menungguku,)" dia terdiam menatap matahari yang turun secara perlahan.
"Harus kah aku menunggumu sampai mataharinya benar benar menghilang," tatap Felix sambil merokok di senderan mobil.
"Kenapa kau menjadi orang terakhir untukku?" Neko tiba tiba bertanya begitu.
". . . Aku adalah pemegang ketiga mu dari mereka, jika sudah ada di tanganku, sudah tidak akan ada pemegang ke empat."
"Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku akan pergi dari sini, entah sampai kapan kau akan menahanku seperti ini," kata Neko. Lalu Felix terdiam dan menjatuhkan rokoknya sambil berjalan mendekat ke belakang Neko.
"Itu bukan menahan, ini baru menahan," dia memeluk Neko dengan tangan kanannya dari belakang. Neko hanya terdiam tanpa reaksi apapun.
"Kau perempuan yang tertekan, bukannya mengenalmu sebagai orang yang manis mereka justru menilaimu sebaliknya dan itu semua karena ke egoisanmu sendiri, kau adalah milikku dari awal kau sudah melihatku menghancurkan kehidupanmu, apa kau berpikir bahwa aku membuat lelucon ini hanya untukmu."
"Tidak juga, aku tak terlalu memikirkan itu. (Kehidupan ini benar benar sangat cepat, rasanya aku menjalani kehidupan hanya untuk sesuatu yang tidak ada gunanya untukku, dari senang dan sedih, dari menang dan kecewa dan dari cinta hingga kekecewaan, aku tidak bisa mengatakan bahwa aku saata itu sedang mengejar ejar seseorang, tapi apa yang kulakukan, hatiku benar benar sangat sakit jika mengingatnya kembali,)" Neko menekan dada miliknya sendiri sambil berwajah sakit.
Felix yang melihat itu dari atas juga memegang tangan Neko yang menyentuh dadanya tadi.
"Kau tidak perlu mengingat itu semua lagi, cukup pikirkan aku dan kembali melangkahlah menemui jurang yang baru," kata Felix sambil mencium wajah Neko.
"(Aku tak berpikir jurang yang baru, mungkin jurang yang sama, aku sudah tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan.... Apakah ini memang akhir dan aku masih bertanya tanya kenapa aku menerima pria seperti dia.... Kenapa, apa karena aku tak bisa menolak nya?)"
"Kau sudah lelah berdiri, kita bisa beristirahat di sekitar sini," Felix melihat sekitar lalu berjalan memegang tangan Neko.
Neko terdiam kaku ketika tangan miliknya di tarik Felix dengan lembut, mereka seperti pasangan kekasih yang berjalan di antara laut yang bergerak.