Elara, dengan perasaan lega dan semangat yang baru, melangkah menuju teka-teki kedua. Sebuah gulungan perkamen yang diikat pita sutra merah tua tergeletak di atas meja batu, memancarkan aura misterius yang mengundang rasa ingin tahu. Ia bisa merasakan energi magis yang kuat berdenyut dari gulungan itu, seolah-olah berisi rahasia kuno yang menunggu untuk diungkap. Perkamen itu sendiri tampak rapuh dan menguning karena usia, namun pita sutra merah yang melilitnya masih mempertahankan kilau dan kelembutannya, seperti darah kehidupan yang mengalir di antara lembaran-lembaran pengetahuan yang terlupakan.Elara mengaktifkan Mata Dewa, dan gulungan itu tampak berubah di matanya. Tulisan-tulisan kuno yang sebelumnya terlihat samar kini menjadi lebih jelas, karakter-karakternya yang rumit dan anggun tampak menari-nari di atas perkamen. Status gulungan itu muncul di hadapannya, memberikan petunjuk tentang tantangan yang akan ia hadapi:
Gulungan Teka-Teki Logika Level: 35 HP: 250/250 Status: Tersegel, Membutuhkan Pemecahan Teka-Teki
Elara menyadari bahwa gulungan itu tidak bisa dibuka begitu saja. Ia harus memecahkan teka-teki yang terkandung di dalamnya untuk membuka segelnya dan mengakses pengetahuan yang tersembunyi. Ia merasakan jantungnya berdebar lebih cepat, adrenalin mengalir di nadinya. Ini adalah tantangan yang ia nantikan, kesempatan untuk membuktikan bahwa ia tidak hanya seorang penyihir yang kuat, tetapi juga seorang pemikir yang cerdas dan bijaksana."Teka-teki kedua," suara Pendeta Agung terdengar dari balik pintu, setiap kata bergema di ruangan yang sunyi, "adalah teka-teki logika. Gulungan itu berisi serangkaian pertanyaan dan pernyataan yang tampaknya kontradiktif. Kamu harus menggunakan logika dan penalaranmu untuk menemukan kebenaran yang tersembunyi di baliknya. Ingat, Elara, logika adalah tentang mencari konsistensi dan koherensi, tentang menghubungkan fakta-fakta yang terpisah menjadi sebuah kesimpulan yang masuk akal."Elara mengangguk, lalu dengan hati-hati membuka gulungan perkamen itu. Tulisan-tulisan kuno itu tampak seperti tarian tinta di atas kertas, membentuk kata-kata dan kalimat yang penuh teka-teki. Ia membaca teka-teki pertama dengan suara lantang, membiarkan kata-kata itu bergema di ruangan:"Aku selalu datang, tapi tidak pernah tiba. Aku selalu ada, tapi tidak pernah terlihat. Aku selalu berbicara, tapi tidak pernah terdengar. Siapakah aku?"Elara mengerutkan kening, mencoba memahami makna dari teka-teki itu. Ia merasa seperti sedang berjalan di labirin pikiran, mencari jalan keluar dari kebuntuan. Ia memikirkan berbagai kemungkinan, mencoba menghubungkan kata-kata itu dengan konsep-konsep yang ia ketahui. Pikirannya berkelana, menjelajahi lautan pengetahuan yang ia peroleh dari buku-buku kuno yang ia baca di perpustakaan neneknya, dari percakapan-percakapan panjang dengan para tetua desa yang bijaksana, dan dari pengalaman-pengalaman hidupnya sendiri.Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya seperti kilatan cahaya di tengah kegelapan. Ia mengingat pelajaran tentang waktu yang pernah ia pelajari dari neneknya. Waktu selalu datang, tetapi tidak pernah tiba karena ia selalu bergerak maju. Waktu selalu ada, tetapi tidak pernah terlihat karena ia adalah konsep abstrak. Waktu selalu berbicara melalui perubahan dan pergerakan, tetapi tidak pernah terdengar karena ia tidak memiliki suara."Jawabannya adalah waktu," kata Elara dengan yakin, suaranya bergema di ruangan yang sunyi.Gulungan perkamen itu bergetar sejenak, seolah-olah mengakui kebenaran jawaban Elara. Tinta di atas perkamen itu tampak bercahaya sesaat, lalu teka-teki kedua muncul:"Aku memiliki kota, tapi tidak ada rumah. Aku memiliki gunung, tapi tidak ada pohon. Aku memiliki air, tapi tidak ada ikan. Siapakah aku?"Elara kembali mengerutkan kening. Teka-teki ini lebih sulit dari yang sebelumnya. Ia memikirkan berbagai kemungkinan, mencoba mencari objek atau tempat yang sesuai dengan deskripsi itu. Ia membayangkan kota-kota yang megah, gunung-gunung yang menjulang tinggi, dan lautan yang luas, tetapi tidak ada yang cocok dengan deskripsi teka-teki itu.Kemudian, ia teringat akan pelajaran geografi yang pernah ia pelajari. Ada satu tempat yang memiliki kota, gunung, dan air, tetapi tidak memiliki rumah, pohon, atau ikan: peta. Peta adalah representasi visual dari dunia, sebuah jendela ke tempat-tempat yang jauh dan belum dijelajahi."Jawabannya adalah peta," kata Elara dengan percaya diri, suaranya sedikit bergetar karena kegembiraan.Gulungan perkamen itu bergetar lagi, dan teka-teki terakhir muncul:"Aku memiliki mata, tapi tidak bisa melihat. Aku memiliki telinga, tapi tidak bisa mendengar. Aku memiliki mulut, tapi tidak bisa berbicara. Siapakah aku?"Elara tersenyum. Teka-teki ini lebih mudah dari yang ia duga. Ia langsung tahu jawabannya, sebuah jawaban yang sederhana namun mendalam:"Jawabannya adalah patung," kata Elara dengan senyum lebar, matanya bersinar dengan kebanggaan.Gulungan perkamen itu bergetar hebat, lalu segelnya terbuka dengan suara letupan yang keras. Gulungan itu terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan tulisan-tulisan kuno yang berisi informasi tentang Mata Dewa dan ramalan tentang kegelapan yang akan datang. Elara membaca tulisan-tulisan itu dengan penuh perhatian, menyerap setiap detail dan informasi yang tersembunyi di dalamnya.Pendeta Agung muncul dari balik pintu, senyum puas terpancar di wajahnya. "Selamat, Elara," katanya dengan suara yang hangat dan penuh kekaguman. "Kamu telah lulus ujian logika dengan gemilang. Kamu telah menunjukkan bahwa kamu memiliki pikiran yang tajam, kemampuan berpikir kritis yang kuat, dan pemahaman yang mendalam tentang logika dan penalaran. Kamu telah membuktikan bahwa kamu adalah seorang penyihir yang tidak hanya kuat dalam sihir, tetapi juga bijaksana dalam pemikiran."