Chereads / Hantu Tongkah / Chapter 6 - Chapter 6 - Hilangnya Jihan

Chapter 6 - Chapter 6 - Hilangnya Jihan

"Kalau kalian ingin membongkar rahasia mereka sebaiknya waspada penuh Nak, ini bukan main-main. Sebenarnya yang kalian lakukan nekat sekali, tapi apa daya bapak tak bisa mencegahnya. Rasanya itu saja nasehat untuk kalian soalnya kita telah sampai juga." Papar seorang Kakek tua sembari melabuhkan pompongnya di bibir pantai.

"Ya ampun Kek! Kirain apalah sebab sampai singkat nasehatnya. Ya sudah kami pergi dulu ya Kek!" Pamit Ropi seraya menyalami tangan kakek itu, begitu jua yang lainnya.

Mereka yang berjiwa aksi langsung menghampiri sebuah pondok yang terdampar di bibir pantai Saresah Bidari itu.

"Apakah yakin tidak apa jika kita semalaman disini, Ayi?" Tanya Lisa sambil melirak-lirik pondok dan sekitarnya.

"Sebaiknya pikirkan matang-matang, seram banget disini kalau malem." Jihan menyarankan dengan perasaan ngeri.

"Menurutku tidak apa-apa, guys. Malam disini mungkn juga banyak kapal terol yang berlabuh. Satu-satunya cara tepat kita untuk menangkap basah mereka ya dengan cara seperti ini, tapi menurutku berbahaya jika sempat berhadapan langsung. Jadi, membongkar kedok mereka siapa saja sudah cukup." Terang Ayi. "Bawa santai saja teman-teman, karena ini akan menjadi kisah yang menarik."

Terlihat raut wajah Lisa dan Jihan hambar bak roti tanpa bumbu, tapi mau tidak mau mereka tetap menghargai kebijakan temannya yang entah kenapa seperti itu.

Rembulan telah muncul yang cukup memberi terang pada pantai. Meskipun demikian keadaan tetap sunyi mencekam, suara ombak malam silih bergemuruh, dan disertai suara binatang-binatang malam yang membuat merinding telinga. Di pondok itulah mereka bernaung.

"Sungguh begini-gini jika melihat lautan suasananya membawa kenangan, ya, Jihan?" Ucap Lisa sembari menatap ombak malam, mereka berdua duduk menyanggah di atas pagar pondok. "Teringat ketika kami berkemah. Saat malam kami memandang Bulan bersama Ayah dan Ibu, tapi kini ... hanyalah sebuah kenangan."

"Itulah takdir, Lisa." Balas Jihan ikut merasakan perasaan Lisa yang mulai terhanyut. "Aku tahu apa yang kamu rasakan dan sulit untuk menerimanya tapi kamu tak boleh membiasakan seperti ini. Percayalah, mereka selalu mengawasi kalian berdua di setiap langkah."

"Kamu benar, seharusnya aku tidak keseringan seperti ini tapi entah kenapa saat aku melihat kesunyian kerap kali perasaan ini ..." Unggkap Lisa.

"Sebenarnya sekali-kali tidak apa-apa, tapi sebagai teman dekatmu tidak jarang aku melihatmu seperti ini." Kritik Jihan lembut.

Lisa dan Ropi berstatus anak yatim piatu yang tak lama ini ditinggalkan kedua orangtuanya sebab kecelakaan na'as di jalan raya.

"Eh, teman-teman, siapa mereka? Cobalah lihat ke belakang." Ucap Ropi tiba-tiba dengan mata aktif melihat sesuatu di belakang Lisa dan Jihan, tentunya membuat dua wanita itu kaget dan bereaksi.

"Kok ada yang menongkah malam-malam begini?" Ucap Ropi terterap.

Hal itu membuat suasana tenang berubah drastis ke sebaliknya.

"Oh itu, aku lupa bilang ke kalian. Manongkah di malam hari juga berlaku disini, saat air laut surut kerang banyak terdampar. Kebetulan saat ini juga musimnya mereka berlimpah makanya penongkah tidak bisa diam saja di rumah." Papar Jihan.

"Oh, gitu toh!" Ucap Ayi merasa reda.

"Jihan hebat, tahu banyak tentang disini." Puji Lisa sambil mencubit-cubit pipi Si Jihan.

"Omong-omong, sebenarnya aku kebelet pipis dari tadi. Lisa, temani aku dong." Pinta Jihan seketika itu.

Tentu rasa gerogi muncul ketika harus berjalan ke tempat yang sunyi. Walaupun di sekitar pantai banyak penongkah tapi mereka menuju tepi hutan. Gelap membawa kemerindingan di tempat itu.

"Lisa, kamu merasa ada yang beda nggak disini? Bulu leherku tegak semua loh." Kata Jihan dengan panik, seketika keringat dingin berkucur di wajahnya.

"Kurasa kamu benar, Jihan, aku juga merasa tidak nyaman berdiri disini." Balas Lisa ikut merasakan hal yang sama, dia melirak-lirik di setiap sisinya.

Untuk sejenak tidak ada masalah, tapi saat dia mencoba mengalihkan pandangannya ke para penongkah dari kejauhan.

SRREEETH!

Terdengar suara mistis dari arah Jihan.

"Aaaa! Lisa, kakiku!" Jeritan Jihan menyahut pula, Lisa berpaling cepat dan kaget melihat temannya meronta-ronta. Sulit melihat apa yang terjadi disitu sebab gelap mengelabui pandangan.

"Jihan, apa yang terjadi?!" Tanya Lisa panik. "Cepat lari dari situ!"

Mencoba untuk menyentak kakinya untuk berlepaskan dari sesuatu yang mengikat tetapi tampak sulit. Lisa turut menarik lengan temannya tapi sebaliknya yang terjadi, posisi si Jihan semakin terserat mendekati hutan.

"Tidak bisa, keras sekali benda yang mengikat kakiku ini. Lisa, lakukan sesuatu, cepat!" Jeritan dan kepanikan Jihan menggebu-gebu, dia mencoba memutuskan seutas seperti akar itu dengan kedua tangannya.

"Tolong! Tolong kami, Ayi! Ropi! Siapapun tolong kami!" Spontan Lisa menjerit minta pertolongan tepat di depan hutan itu, entah mendengar atau tidak para penongkah ataupun saudara dan temannya yang berada cukup jauh dari mereka.

Para penongkah mungkin saja mendengarnya tapi dua pria yang dalam pondok itu hanya kemungkinan kecil saja.

****

"Ropi, mereka berdua lama sekali buang air kecilnya. Kok perasaanku nggak enak nih, jemput yuk." Ucap Ayi mulai cemas seakan-akan tidak enak perasaan seperti yang dia katakan.

"Apaan sih kamu, sini aku ajarin ya. Yang namanya buang air itu ada dua, BAK dan BAB. Mungkin mereka BAB, kalau kita jemput gak sopan dan malu-maluin namanya." Ropi berujar tersaji unsur humoris. Ironisnya, Ayi melongo menanggapi hal itu.

"Tidak masalah Ropi, kita cuma memastikan keadaan. Mereka wanita loh dan saat ini malam hari." Ayi memaksa.

"Kamu selalu saja bersikap bos dan tololnya aku pun menuruti, dasar!" Gerutu Ropi. "Ya sudah, ayo!"

Ketika dua pemuda itu tiba ditempat Lisa dan Jihan, mereka kebingungan melihat ramainya tempat itu. Lisa yang sedang menangis terisak-isak dan disekitarnya ada banyak sekali penongkah yang sibuk.

"Ada apa ini, kenapa kamu menangis Lisa?" Tanya si Adik langsung merangkul bahu Kakaknya. "Dan, dimana Jihan?"

Di tempat itu keberadaan Jihan tak terlihat sehingga menjadi tanda tanya besar bagi mereka berdua sebab posisi dan waktu mereka disana tidak lah wajar.

Lisa berdiri di tempat tidak bisa lagi berkata-kata, akhirnya salah satu penongkah yang menceritakan sekilas kejadian.

"Begini Nak, kami sedang menongkah juga tidak tahu mengapa dia berteriak meminta tolong. Saat kami datang menghampiri dia sudah menangis-nangis dan mengatakan bahwa ada yang menarik temannya ke dalam hutan ini. Kami juga bimbang jadinya."

"Apa?!" Kaget Ayi dan Ropi serentak, terbelakak mata mereka dan menjadi serius mendengar hal itu.

Mereka berdua langsung menyimpulkan bahwa si korban tak lain dan tak bukan ialah … Jihan.

"Benarkah itu Lisa? Ya ampun bagaimana ini bisa terjadi?" Ucap Ropi spontan panik besar, bermacam-macam pertanyaan dilontarkannya.

"Apa yang harus kita lakukan?" Ropi berucap sekali lagi.

"Tenanglah Ropi, kita pasti bisa menemukan Jihan." Sahut Ayi mencoba menenangkan.

"Tapi yang anehnya kenapa kalian pemuda-pemudi sampai berada disini, hal ini sangat tidak biasa alias sangat jarang sekali sampai turis disini, di malam begini lagi."

Entah mengapa mendengar itu mata si Ropi tiba-tiba tajam menatapi Ayi, dengan amarah kacau dia langsung menjambak kedua kerah baju Ayi dengan keras secara spontan. Ayi kaget, begitu pun para penongkah yang ada disana.

"Ini semua gara-gara kamu, Manusia egois!" Ujar keras Ropi tepat di depan muka Ayi. "Kalau saja kita tidak disini kita pasti tidak kehilangan Jihan secara seram seperti ini! Keinginan bodohmu itu selalu saja harus kami ikuti.

"Ayi langsung merundukkan kepalanya, dia memilih tidak merespon daripada masalah bertambah besar.

"Tenanglah Nak, jangan bertengkar." Sahut Pak penongkah itu sambil memegang pundak Ropi seraya menenangkan amarah pemuda yang satu itu. "Ini adalah musibah, kita tidak bisa menangkalnya. Harus mencari jalan keluar untuk masalah ini, bukannya ..."

"Tidak bisa! Dia harus diberi pelajaran!" Ropi membangkang. Refleks tangan yang mengepal mencoba mengarah ke Ayi.

"Ropi, Hentikan!" Cegah Lisa tiba-tiba bersuara, tampak dia mulai reda. "Bapak itu benar. Tenangkan dirimu."Mendengar cegahan saudarinya yang mati rasa Ropi langsung menolak Ayi hingga terpental di hamparan kulit kerang yang tajam sambil mengujar. "Dasar egois kau!"

"Kami semua sebagai rakyat Duanu tahu di pantai ini memang ada penunggunya, Nak, tapi paling terkejutnya kami kenapa kalian bisa berada disini di malam hari?" Tanya bapak itu dan mempertegas keberadaan mereka sekali lagi.

"Ya karena dia, Pak!" Ucap Ropi dengan nada emosi.

"Panjang ceritanya, Pak, tapi penunggu apa yang bapak maksudkan?" Tanya Lisa kembali dengan suaranya tersendat itu.

"Hantu Tongkah sebutan mereka. Dahulu ada tujuh orang bersaudara yang kompak dan lihai menongkah kerang, tiga putera dan empat puteri yang dihidupkan oleh si ibu janda. Berkat kerja keras hidup merekalah yang paling senang di desa kami, awalnya hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari lalu seiring waktu mereka menjadi senang. Entah kenapa si tujuh bersaudara menghilang tanpa kabar dan jejak. Sang ibu yang lansia jadi ikut meninggalkan desa ini dan entah kemana beliau pergi, yang pastinya mungkin untuk menenangkan pikirannya. Baru-baru ini saja banyak penongkah yang melihat mereka menongkah bersama saat malam hari disini, kami tidak percaya bahwa mereka berstatus makhluk hidup melainkan sebaliknya. Bahkan bapak sendiri pernah melihat wajah salah satu dari mereka secara langsung. Pipinya hancur dengan mata yang berlumuran darah. Saat kejadian itu demam panjang melanda bapak sendiri. Mungkin banyaknya orang yang hilang disini disebabkan oleh mereka, jadi kesimpulannya Hantu Tongkah ini gentayangan dan ingin balas dendam." Jelas lelaki yang tidak terlalu lansia itu dengan detail.

"Karena tidak dapat membalas dendam kepada orang yang membunuh mereka, maka orang lain jadi korbannya?" Lisa mencoba menambah, dan para penongkah pun terangguk-angguk seraya membenarkan hal itu. "Tapi anehnya, sudah tahu seperti itu ceritanya kok bapak-bapak masih saja menongkah di malam hari?"

"Mau bagaimana lagi, Nak, prospek kerja yang menjanjikan bagi kami di kampung kami ini hanyalah manongkah atau melaut, kebetulan ini musimnya kerang yang berlimbah di pantai ini." Balas bapak itu.

"Dan Mungkinkah mereka yang juara lomba menongkah tapi tidak ada mengambil hadiahnya?" Sahut Ayi yang mencoba bangun, ternyata telapak tangannya berdarah oleh kulit-kulit kerang yang tajam karena ditolak Ropi tadi, sementara Ropi sinis memandangnya.

"Emangnya kalian melihat mereka di lomba kemarin?" Bapak itu bertanya.

"Saya berpapar langsung dengan salah satu dari mereka, ciri-cirinya seperti Bapak sebutkan tadi." Ucap Ayi dengan tenang.

"Sudah, fokus saja dengan penyelesaian masalah ini, jangan berneko-neko." Ketus Ropi tegas.

"Berarti … sampai si pelaku belum terbalaskan selama itu juga kita bakal diteror, Ya Allah!" Lisa berkata keluh.

"Tepat sekali, Nak!" Jawab Bapak penongkah itu.

Yang jelas dan yang berarti para korban disembunyikan di suatu tempat, entah di hutan, wilayah lain, dan bisa jadi di dunia lain. Seban umumnya seperti itulah makhluk astral atau makhluk ghaib berupa hantu atau lainnya menyembunyikan manusia.

Tidak lama para penongkah meninggalkan pantai dan pulang ke rumah dengan pompong dan hasil buruan mereka. Lagi-lagi malam ini termasuk malam mistis juga, dan wajar para penongkah memilih tidak mengambil pusing dan resiko yang besar, kecuali Bapak penongkah yang satu tadi. Dia memilih tinggal dengan tiga pemuda itu.

"Kita harus mencari Jihan sekarang juga." Entah apa yang pemuda asal Malaysia itu lakukan dengan membuka semak-semak dan spontan masuk ke dalamnya.

Si Kembar dan Bapak itu rada keanehan, tapi mereka mau tidak mau harus ikut juga, selain solusi yang tidak salah juga untuk keamanan pemuda itu sendiri.

"Ngomong-ngomong nama bapak siapa?" Lisa bertanya sambil ditunda saudaranya yang sedari tadi bermasam muka.

"Panggil saja Pak Haris." Jawab Bapak itu.

Perdana mereka temukan sebuah ruangan berupa gua yang berbentuk persegi di dalam serumpunan semak liar. Sangking seriusnya mereka tidak peduli akan hal itu dan memilih untuk masuk lagi ke dalam semak hutan berikut.

Mereka meraungi hutan liar dengan senter hp masing-masing. Jika dipandu oleh orang Dewasa Ayi, Lisa, dan Ropi tidak begitu takut sebab pak Haris tampak leluasa dengan hutan pantai itu. Selain itu mereka juga bukan anak kecil lagi yang harus takut degan sesuatu yang menakutkan.

Setiap seluk beluk dan celah hutan mereka sinari tanpa memandang pantang, terkadang kalelawar terkadang burung hantu yang terpampang hingga terpaksa menelan ludah.

Sesambilan itu sepanjang hutan mereka juga meneriaki nama Jihan sekeras-kerasnya.

Awalnya sinyal-sinyal aneh tidak begitu terasa, namun tanpa sadari ketika telah berada di leher hutan mereka merasa ada yang berbeda.

"Apakah kita sudah keterlaluan masuk ke dalam hutan ini?" Ucap Ropi dengan perasaan ngeri.

HOARRR!!!

Tiba-tiba nyaris terdengar desiran sesuatu melintas dari belakang mereka, pastinya mereka terkagetkan.

"Siapa disana?" Tanya Ropi dengan nada kaku, fokus teralihkan namun kemudian mereka refleks melupakan hal kecil itu dan kembali melanjuti pencarian.

Beruntungnya hutan tidak lagi terlalu gelap. Selain cahaya senter masing-masing, cahaya Sang Rembulan turut menembusi lebatnya dedaunan hutan.

"Bisa kita istirahat sebentar?" Pak Haris tiba-tiba meminta istirahat.

Dia terlihat terperogoh-ogoh setelah berjalan di atas tanah yang kadang keras dan kadang berlumpur, belum lagi melangkah ranting-ranting menyebalkan dan menepis rumbai-rumbainya pepohonan.

"Oh, tentu saja bisa, Pak, kaki ku juga terasa sakit. Ayo kita beristirahat dulu." Sahut Ropi dengan lekas.

Belum sempat Pak Haris duduk, dia sudah terduduk duluan di atas sebuah pohon tumbang yang terlentang itu.

Tidak terasa jam sudah menunjukan pukul satu lewat dua tiga. Sempat atau tidak sempat menemukan Jihan hanya Tuhanlah yang tahu. Sambil beristirahat mereka penuh doa dan harap untuk keselamatan teman mereka.

Seorang Ayi yang juga merasa bersalah akan masalah ini, dia meratapi masalah tersebut. Ayi terlentang baring di atas pohon tua yang tumbang satu lagi, termenung memikirkan solusinya.

Bersamaan itu pula dia membuka Karangan kedamaian-nya dan mencoba menuliskan keadaan yang mereka alami sekarang.

Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan ini merupakan sebuah penyesalan, jika takdir berkata lain maka terjadilah. Karena dalam tekadku yang sebenarnya, ya inilah dia. Tidak kusangka ketika terjun langsung membuat repot diriku dan teman-temanku yang luar biasa. Tapi tak kenapa, karena yang namanya keinginan tak semanis permen lolipop, yang begitu mudah kau menghisap madunya. Jika telah terseret dalam sebuah klimaks maka salah satu jalan keluarnya adalah dengan solusi yang hebat maka kembali dan selesai pula lah segalanya, aku percaya itu atas keslamatan Jihan. Ya Allah, tolong kami!

30 menit kemudian …

Mereka yang telah usai mengisi ulang energi siap bergerak, tapi saat itu Ayi pula yang tiada di tempat istirahatnya sehingga membuat si Kembar dan pak Haris menjadi pusing kepalang dibuatnya.

"Sial, dimana pula manusia egois itu? Kok tidak ada disini." Ropi bertanya-tanya dengan emosi.

"Ya Tuhan, berilah kami petunjuk bagaimana agar masalah ini selesai. Belum selesai satu lalu bersemi masalah baru. Sungguh ini menyebalkan!" Lisa mengadu pada Yang Maha Kuasa, mereka bertiga ragu mau kemana lagi.

"Jihan, Ayi, dimana kalian?!"