Chereads / Hantu Tongkah / Chapter 11 - Chapter 11 - Dalang dan Kisahnya

Chapter 11 - Chapter 11 - Dalang dan Kisahnya

Tiba di desa tujuan, yaitu Desa Tanjung Pasir, Ayi, Lisa, dan Ropi merasa tidak fit dan lunglai. Kepala mereka pusing akibat terhantam gelombang ombak pasang yang bergejolak.

Sebenarnya nanggung risiko sendiri jika menggunakan pompong kecil untuk menyeberang antar dua desa yang terpisahkan muara sungai yang cukup luas itu. Dengan terpaksa sejenak mereka harus berehat diri di sebuah kursi panjang pelabuhan.

"Kan begini jadinya, pusingnya bukan main." Keluh Ropi dengan jutek.

"Ayi alergi dengan waria-waria yang memakai pakaian serba ungu tadi tau, melihatnya saja aku juga ingin muntah di depan mereka." Lisa menjawab, Ayi terangguk-angguk kegelian.

"Kalau dipikir-pikir iya juga sih, tadi saja masa salah satu dari mereka bertanya ke aku abbang mau ke manah? Dengan sok imutnya. Dasar rempong, dia pikir aku akan menjawab menyeberang dek, gitu?" Ropi mengulas kegeliannya juga, Ayi dan Kakaknya tertawa lepas mendengarnya.

"Hahaha! Benarkah? Yang mana orangnya, aku gak lihat tuh." Lisa bertanya.

"Saat ingin turun dari pelabuhan, yamg disebelah kiriku itu lho. Lips balm-nya indah bukan main dah, bibir yang merah merona tapi gigi tengagnya ompong berkarat." Jawab Ropi seraya berkata.

"Chaaa hahaha! Ya cocok dengan seleramu Ropi, di kelas saha kamu suka godain Rudi Susanti. Masa dengan mereka geli." Bongkar Ayi dengan senangnya.

"Apaan sih." Ropi mencoba menepis itu.

"Apa, benarkah itu Ayi?" Lisa bertanya dan Ayi pun mengangguk.

Apalagi, itu mengocok perut Gadis tomboi itu. Mereka tawa lepas terhadap Ropi. Sepertinya mabuk laut telah lenyap oleh tawa ria, dibuktikan mereka begitu semangat.

"Biasalah, Adikku ini memang kelainan." Lisa berkata.

"Sudah, gak penting!" Ropi mencoba memusnahkan topik itu. "Jadi, kita harus lakukan apa?"

"Emmm ..." Tanggap Ayi.

Di tengah-tengah kekosongan mereka tiba-tiba hadir Pak Haris dengan rapinya, entah kemana beliau ingin tuju hingga berhenti tepat dimana tiga pemuda itu berada.

"Eh, Pak Haris. Syukurlah kita bertemu lagi." Ucap Ropi dengan seutas senyuman. Mereka berjabat salam tangan dengan Bapak itu.

"Kalian mengapa kemari lagi, Nak?" Tanya Pak Haris dengan calm.

Segera Ayi memaparkan latar belakang mereka datang kembali disana. Terjadi perbincangan dua arah dimana respons balik Pak Haris yang menginfokan ada satu orang Penongkah lagi yang ditemukan tewas di tepi pantai dengan tragis. Disimpulkan misteri pantai itu sudah melampaui batas.

Tiga pemuda dengan niat yang ingin menyelesaikan semuanya semakin menggebu-gebu. Pak Haris yang tampak ingin bepergian menjadi berubah haluan. Dia turut berpartisipasi dengan membuka diskusi tepat di pelabuhan kecil dan sederhana itu tentang akar permasalahan yang melanda mereka.

"Mulai dari awal kalian datang kesini, kira-kira apakah ada kalian merasa curiga terhadap seseorang atau sesuatu?" Pak Haris langsung melontarkan sebuah pertanyaan interogasi matang.

Awalnya mereka bungkam seraya berpikir.

"Kalau itu sih, aku tidak mencurigai orang itu tapi merasa aneh saja." Lisa berkata.

"Siapa?" Mereka ingin tahu.

"Kak Alex. Seperti Jihan katakan bahwa perilakunya mencurigakan. Pasalnya, kemaren aku buang air kecil di tepi hutan tempat perkemahan kita dan aku mendengar jeritan seorang wanita minta tolong. Aku masuk sedikit ke dalam hutan mencari asal jeritan itu tapi tak menemukan apa pun. Saat aku berbalik ingin cabut tiba-tiba saja dia mengejutkanku dari belakang, ya aku kaget. Saat aku bertanya dia menjawab dengan canggung." Papar Lisa.

"Sikap dia itu memang aneh, dia sering keluar masuk hutan secara unlimited. Tapi lebih anehnya lagi ada jeritan seorang wanita di dalam hutan itu dan .." Pak Haris mencoba berpikir. "Ini patut diselidiki dan kita harus melakukan sesuatu untuk mengecek kebenarannya. Dia memang aneh, semua orang di desa ini mengetahuinya, namun tidak pula sampai beranggapan bahwa dia yang menjadi patokan atau semacam tuduhan."

"Eh, tapi bagaimana caranya, Pak? Kita bahkan belum punya landasan bukti yang kuat, nggak bisa langsung beraksi." Sanggah Ayi.

"Mari, ikut saja bersama Bapak." Ajak Pak Haris.

Tanpa menjawab si Penongkah itu langsung bergegas pergi dengan menunda tiga pemuda.

"Nanti disana kalian tunggu saja di depan rumahnya sampai Bapak menunjukkan sebuah drama ke kalian."

"Ya ampun Pak, beginian saja sempat saja berkata-kata. Hehehe!" Ropi tertawa.

"Santai saja, jangan terlalu serius." Ucap si Penongkah itu.

Dengan cepat mereka pun telah menginjak teras depan rumah Alex yang kebetulan pintunya merenggang dan tidak biasanya seperti itu. Ketika itu Pak Haris mengucapkan salam namun tidak terdengar signal balasan di telinga. Mau tidak mau terpaksa masuk saja tanpa izin dari Tuan Rumah. Pak Haris tahu bahwa hal itu selalu terjadi saat warga lain mencoba bertamu ke rumah Alex.

Jika diperhatikan secara mendalam suasana tampilan rumah ada yang mengganggu penilaian. Keademan rumah itu benar-benar sulit dirasakan. Entah apa sebabnya.

Tiga puluh menit kemudian...

Menanti di halaman rumah yamg berdiri kumuh membuat Ayi dan Si Kembar itu merasa gloomy. Mondar-mandir di bawah pohon besar layaknya kurang kerjaan, melempar kerikil sana-sini, dan mencubit-cubit rumput

Kreeek!

Terdengar suara gesekan pintu rumah yang kusut. Hal itu membuat mereka terfokuskan.

"Ahhh! Sangat membosankan sekalih! Dasar kau orang asing, kenapa kau mendorongku untuk keluar dari istanakuh, hah?!" Gerutu ngaur terdengar.

Tak lain dan tak bukan ialah Kak Alex. Entah mengapa dia tampak jelas seperti mabuk setelah keluar dari rumahnya dengan tergoncang-goncang, lalu diiikuti Pak Harris dengan keadaannya baik saja.

Melihat itu mereka bertiga bingung dan Ayi lekas bertanya.

"Apa yang terjadi dengannya, Pak? Kok Kak Alex seperti mabuk?"

"Untuk membongkar semuanya dengan cepat, akurat, dan tepat maka Bapak sengaja menjebak dia dengan mengulurkan minuman keras rutinitasnya itu." Jawab Pak Harris dengan relaks.

"Good job, Mr.Harris, your idea is genius!" Ucap Ayi ceria sambil mengercak jempolnya. "Jalan pintas untuk solusi permasalahan ini."

Kak Alex menjadi tenang sejenak, lalu tiba-tiba dia spontan mengangguk -anggukkan kepalanya dengan kencang.

Argh!

Jeritnya mistis.

"Eh, dia ngapain tuh?" Tanya Lisa panik melihat itu. "Entar copot lagi tuh kepala."

"Biasa, orang mabuk memang seperti itu." Ropi seakan-akan tidak asing lagi dengan hal itu.

"Oh iya, teman-temanmu semuanya pada melakukan kayak gini kan? Jadi kamu sudah biasa melihatnya dan jangan-jangan kamu juga salah satunya." Lisa mengujar.

"Nggak ah! Gak pernah tuh, walaupun tampang sangar tapi kami masih memiliki moral sebagai pelajar." Ucap Ropi dengan kecenya.

"Merekah yah, mereka semua adalah saudara­ saudari tiriku." Tiba-tiba Kak Alex menyahut dengan menatap langit-langit teras rumahnya.

Mendengar kata saudara-saudari tiriku, tiga Remaja dan Pak Haris membelalak kaget. Itu menjadi tanda tanya buat mereka.

"Benarkah itu? Bapak baru tahu lho." Ucap Pak Haris serius.

Akhirnya pun Alex mulai menceritakan kisahnya dengan keadaan seperti itu.

"Kami satu ibu beda ayah, ayah kandungku cerai mati dengan ibuku saat aku berumur 12 tahun. Sejak itu aku dipelihara oleh ayah tiriku. Biasalah yang namanya tiri perlahan-lahan aku dibenci dan dikucilkan dalam keluarga, baik dari ayah maupun tujuh saudara-saudari tiriku. Aku menjadi babu mereka, semua pekerjaan besar dan kecil terpaksa jatuh di tanganku. Sangat menyebalkan! Itu semua terjadi tentu saja ketika Ibu tidak ada dirumah, sebab beliaulah tulang punggung keluarga. Ayah tiriku yang tidak sadar diri itu kerjanya hanya makan tidur - makan tidur, mereka seenaknya saja menikmati hasil kerja keras Ibu yang awalnya meraungi desa dan desa tetangga dengan mendorong gerobak berisikan kerang dan ikan untuk dijual."

"Apa? Ba ..." Ropi mau berkata.

"Tidak, Nak." Cegah Pak Haris terhadap Ropi yang mencoba memotong sekaligus berespon. "Biarkan saja dia bercerita sampai selesai, selagi dia fokus."

Ropi pun terhenti.

"Suatu hari Ibu dan Ayah tiriku bertengkar hebat hingga cerai 100%. Ironisnya, aku terseret dan dituduh sebagai dadu penyebab pisahnya mereka. Ketika Ayah tiriku pergi, hidup kami sedikit berkurang bebannya. Aku senang sekali. Tapu saat aku memasuki dewasa, selama itu ternyata saudara-saudari tiriku menyimpan dendam terhadapku. Sampai-sampai mereka sukses membuat aku ditendang dari rumah itu. Lagi-lagi aku super kehilangan dan harus menyendiri." Jelas Alex.

"Kasihan sekali Kak Alex, ternyata dia korban hasil broken home." Ucap Lisa iba, tanpa disadari air matanya mengalir deras. Dia menangis.

"Benar, aku berpikir sedihnya hidup kita sebagai yatim piatu rupanya ada yang lebih menyedihkan lagi. Salah satunya Kak Alex." Ropi turut terhanyut, sedangkan Ayi dan Pak Haris tersenyum duka seolah-olah ikut merasakan kesedihan Orang-orang di hadapan mereka.

"Yah ... begitulah hidup ini, kejam kan?" Sahut Kak Alex dengan keadaan masih setengah sadar. "Tapi aku ini bukan orang baik, Dek. Aku seorang pendendam juga. Yah ... pendendam sekalih. Hahahahahaha!"

Ucapan terakhir dan tawa yang mistis mengangetkan mereka. Lisa yang sedang menangis saja menjadi aktif kembali.

"Momen-momen indah mereka ciptakan. Mereka dijuluki sebagai 7 Penonhkah terbaik di desa ini, cih! Memuakkan sekali. Tentu saja telinga ini panas menggelegar mendengar kabar itu. Mereka yang memiliki hati busuk bisa-bisanya saja baik di mata orang. Kau tahu apa yang Alex ini lakukan, ha? Apa kau tahu?" Dia memandang Ropi dengan mata yamg lantang. Ropi pun menggeleng-gelengkan kepala sebagai respons tidak tahu.

"Pantai yang menjunjung nama mereka itu telah aku jadikan titik bumi terakhir yang mereka pijak." Tangannya mengambang ke atas. "Aku jaminkan mereka telah berselancar ke surga dengan papan-papan tongkag mereka, pasti sangat indah perjalanan mereka. Sampai jumpa saudara-saudariku! Kita akan berjumpa lagi di surga."

Itulah penutup dari Alex ceritakan, lalu tiba-tiba saja dia tergeletak pingsan di atas kursi teras rumahnya.

Tiga pemuda dan Pak Haris telah berhasil menyimpulkan dengan pasti bahwa pelaku dari pembunuhan 7 Penongkah bersaudara ternyata adalah saudara tiri para korban sendiri, yaitu Alex.

Ketika hidup yang rumit telah menimpa seseorang, apa saja bisa terjadi. Dari yang buruk menjadi baik, sebaliknya dari baik pun dapat berubah menjadi buruk seketika yang tergantung dari kapasitas tekanannya.

"Kurasa aku memiliki ide untuk solusi ini." Ucap Ayi menyentuh dagunya.

"Katakan saja." Lisa mempersilakan dan ingin tahu.

"Tujuh Penongkah bersaudara itu takkan pyad jika dendamnya belum terbalaskan. Oleh karenanya, mau tidak mau Ka Alex harus bersedia untuk berkorban dan berpasrah diri agar masalah ini terselesaikan. Dengan cara ..." Ayi memaparkan.

"Membujuknya." Tebak Ropi.

Ayi pun menganggukkan hal itu.

"Tapi bagaimana caranya? Si dia saja habis konselet begitu. Lagian apakah dia mau jika dalam keadaan sadar sekalipun?" Lisa berkata.

"Tidak perlu terburu-buru, kita akan menunggu sampai dia sadarkan diri. Tapi jika dia tidak mau maka kita akan pikirkan tindak lanjutnya nanti." Pak Haris meluruskan.

"Kenapa tidak dihembus dengan air saja, itu mungkin cara cepat untuk menyadarkan oramg mabuk." Saran Ropi yang terkesan konyol.

"Lebih baik jangan, kita tidak tahu kondisi dia seperti apa saat ini." Ucap Ayi.

Jadi, mereka pun siap menunggu sadarnya Alex si Pria Mistis itu sambil merancang rencana selanjutnya ketika dia mengatakan apa pun nantinya saat sadar.