Pemandangan langit-langit sebuah kamar terlihat blur dan berkunang-kunang. Kelopak mata yang baru sadar dari efek mabuk mencoba menormalisasikan pandangan. Mencoba menoleh ke kiri ada dua orang Pemuda yang menatapnya datar, beranjak ke kanan ada seorang Gadis dengan keibaan di bola matanya.
"Apa yang terjadi denganku?" Pria mistis itu mencoba bertanya.
Klap!
Suara katupan pintu terdengar menyahut, ternyata Pak Haris datang menghampiri sambil melontarkan pertanyaannya, sudah sadarkah beliau?
Mereka bertiga mengangguk.
"Bapak tidak tahu harus memulainya kapan, tapi lebih cepat akan lebih bagus." Pak Haris berucap seperti itu.
"Aku juga berpikir begitu, Pak." Dukung Ropi.
"Ada apa sebenarnya? Apanya yang harus dilakukan sekarang? Dan siapa kalian?" Alex resah dan ingin tahu.
Mulut Ayi serasa tidak sabar untuk angkat bicara. Dia memperhatikan Pak Haris dengan maksud minta izin. Sebenarnya Pak Haris juga sama, tapi melihat seraut wajah memohon keras dia pun mempersilahkan Pemuda asal Negeri Jiran itu. Jadi, beliau mengalah.
"Kak Alex, mohon maaf sebelumnya. Kami telah mengetahui masalah yang telah kau hadapi di masa lalu denfan membuat dirimu tidak sadar alias mabuk. Terdengar lancang sih, tapi mau bagaimana lagi. Kami ingin masalah ini cepat terselesaikan. Intinya, kami telah tahu ternyata yang membunuh 7 Penongkah bersaudara adalah ... anda sendiri. Benar begitu kan Kak?" Ayi dengan penjelasannya.
Mendengarnya mata yang sinis terbelakak memandangi pemuda itu, lalu ke si kembar, hingga ke Pak Haris. Tubuh yang terlentang mencoba untuk duduk dan berucap, jadi ... refleks si mata yang cukup seram itu menatap Ayi.
"Selama Kak Alex belum menembus perbuatan yang lampau arwah mereka yang bergentayangan akan meneror warga habis-habisan." Ayi berkata sekali lagi.
"Dan kami harap ... Kakak mengerti akan masalah ini." Tambah Lisa.
Tanpa kata maupun kalimat kepalanya merunduk ke bawah seakan-akan dia telah menyadari apa yang dia perbuat di masa lampau.
Tidak disangka responsnya sama sekali tidak emosional melainkan bentuk kesadaran. Memori ingatannya me-replay masa-masa terpahitnya, dimana dia menciptakan darah saudara-saudari tirinya di tangannya sendiri.
Tidak disangka mengucur air mata seketika, ternyata dia menangis.
Melihat itu tentu saja mereka semua mengerti.
"Bagaimana, Kak?" Ayi mencoba melintaskan pertanyaannya dengan lembut.
Apa reaksinya? Dia mengangguk pasrah.
Alangkah berkat nasib pada saat itu. Jika hal itu disetujui maka ancaman untuk penembusan perbuatan keji Pria itu bukan main-main lagi. Tentunya tiga pemuda dan Bapak Penongkah itu telah merancang semuanya.
"Tapi sebelum itu bisakah aku berbicara empat mata dengan anda?" Dia menunjuk Pak Haris.
Ayi, Lisa, dan Ropi mengerti dan segera meninggalkan kamar itu. Mereka berpikir bahwa Kak Alex ingin menyampaikan pesan-pesan terakhir kepada Pak Haris.
Bayangkan, betapa malangnya ketika orang yang telah mengetahui bahwa nyawanya akan terancam terpaksa menyampaikan sesuatu saat dia nyaris masih hidup.
***
Muara sungai berisikan hutan dan pantai yamg kalem, akan tetapi dibaliknya menabungi misteri. Sebuah pompong telah melabuhkan kakinya di bibir pantai. Bersamaan itu pula keluarlah sepuluh kaki manusia yang kemudian berjalan mendekati pintu hutan.
Driiinggg!
Nada panggilan telepon menyahut seketika di saku celana Lisa.
"Jihan?"
"Benarkah? Angkat saja." Saran Ayi.
Segera Gadis tomboi itu menggeser tombol jawab pada layar smartphone-nya.
Jihan = Halo! Assalamu'alaikum, Lisa!
Lisa = Halo! Wa'alaikum salam, Jihan. Kamu kenapa baru menelpon sih, dari semalam aku tungguin kamu lho. Ada apa?
Jihan = Lupakan masalah aku tidak menelponmu, kamu juga tidak menelpon aku. Aku ingin tahu kabar progres misinya?
Lisa = Tentu saja berjalan lancar. (Nada pelan agar tidak terdengar oleh Alex.) Dan saat ini kita masuk ke penhujung. Tunggu saja next infonya ya.
Jihan = sebenarnya aku penasaran siapa pelakunya, tapi lebih lagi aku tidak mau memperlambat kerja kalian. Well, good luck and see you, guys!
Lisa = Baiklah, see you!
Ternyata Lisa menjaga mulutnya terlebih dahulu alias tidak melontarkan memberi tahu pelakunya adalah Alex, sedangkan Jihan sangat mengenalnya.
"Eh, ke mana mereka?" Ternyata yang lain telah bergerak duluan. "Hei, tunggu aku!"
***
Tepat di pusat hutan dimana tempat Jihan ditemukan mereka tampak melakukan suatu tindakan pada sore tua itu, dimana si Alex tegak menempel pada sebuah pohon besar dengan seluruh tubuhnya terikat tali tebal. Wajah kosongnya tertunduk pasrah. Bahkan saat tiga pemuda dan Pria Penongkah itu berpamitan pergi dia tidak merespons sama sekali.
"Bagaimana kita tahu kalau 7 Penongkah Bersaudara telah melakukan aksinya?" Ropi bertanya seraya mendudukkan dirinya di permukaan lantai pondok.
"Entah mengapa perasaan Bapak kita akan mengetahuinya walaupun kita berada di luar hutan." Jawab Pak Haris dengan yakin.
Ayi, Lisa, dan Ropi bertanggap terima.
Delapan jam kemudian ...
Si merah telah pergi sepenuhnya digantikan malam telah menelahkan sang rembulan yamg meronda. Kegelapan mulai merebak disertai kabut yang menyusup wilayah hutan.
"Santai saja Alex, kau masih bisa bernafas esok hari." Ucap Pria yamg terikat itu dalam kesendirian. "Mana mungkin saudara-saudari tirimu gentayangan dan bahkan sampai mencelakaimu. Mereka telah berselancar di Surga. Jika iya pun aku sungguh tidak takut."
Dia bersiul-siul dan menikmati kekelaman hutan itu. Sengaja dia mengundang kantuknya dengan memanjakan si kelopak mata.
Hei, saudaraku!
Selintas sapaan asing terdengar hingga mengaktifkan mata Alex kembali. Spontan terlihat sesosok yang tampak dia kenal muncul di hadapannya.
"Kau ..."
Apa kabarmu?, datang lagi suara yang menyahut disertai munculnya sesosok dengan identik kening tertancap belati.
"Beni?" Matanya terbelakak
Ternyata dua sosok saudara tirinya nyaris di hadapannya.
Kau telah membuat kepalaku terputus dari tibuhnya, Kak. Suara ketiga lalu terdengar dari bawah kaki.
Sebuah kepala Gadis mungil tergeletak dengan bola mata kiri jebol menatapnya.
Perlahan-lahan keluar tiga sosok lainnya, dua perempuan dan satu laki-laki. Pakaian mereka kusam dan sembrono, seluruh kulit pucat pasi dan rusak pada bagian pipi, dan mata kosong melelehkan darah pasi.
Kami datang ingin menjemputmu dan berselancar ke surga.
Sekali lagi membuat mata Alex terbelakak hebat. Bukan sebab kalimat menjemputmu dan berselancar ke surga, melainkan dia terbayang bahwa suara barusan adalah suara tiri sulung yamg terbunuh paling ekstrim di tangannya. Saat-saat belatinya bertubi-tubi menusuk keras menghantui pikiran Pria bermasalah itu.
Kaku bak robot leher mencoba mendongakkan kepala yang ingin menoleh ke atas, dimana di sanalah asal suara itu.
"Ke, ke, Kelvin, ka, ka, kaukah itu ...?"
***
Walaupun serasa tidak tega di batin ini tapi mau bagaimana lagi, hanya itulah jalan keluar untuk memusnahkan misteri pantai istananya para Penongkah. Kami akan meninggalkan tempat ini dan berharap selesailah sudah dengan berkorbannya Pria Misterius sekaligus malang itu.
Plak!
Ayi menutup Karangan kedamaiannya dan langsung turun dari pondok. Melangkahkan kaki di pantai Saresah Bidari itu hingga terduduk di sebuah pompong.
"Berarti misi kita selesai dong!" Seru Ropi.
"Maybe yes." Lisa separuh yakin. "Bisa saja jika besok kita menjenguk dia masih sehat wal'afiat."
"Bapak sih iya. Soalnya banyak korban menghilang tanpa sebab dan kelengahan sedikit saja, tapi Alex keadaan dan posisinya ... bisa dibilang sengaja dan benar pelakunya, benarkan?" Pak Haris berkata. "Ya sudahlah, kita berdoa saja agar setelah ini 7 Hantu Tongkah itu tidak meneror para Penongkah di pantai ini lagi dan juga kebaikan untuk Alex ketika dia sudah tiada atas insiden ini."
Yang lain pun mengangguk.
"Oh iya, boleh tahu nggak, Pak? Apa yamg diceritakan Kak Alex siang tadi? Penasaran sekali." Pinta Ropi.
"Eh, itukan bersifat pribadi tentu saja nggak boleh. Kebiasaan kamu, ya, dasar idiot!" Ujar Lisa.
"Hehehe, tapi ..."
AAAARRRRGGGGHHHH!!!
Jeritan mistis bergema spontan disertai kalelawar dan burung-burung malam berhamburan di langit dengan riuhnya menghebohkan Pak Haris, Ayi, Lisa, dan Ropi. Tidak salah lagi, itu suara ... ALEX!
"Oh my God, itu suara Kak Alex. Apa yang terjadi dengannya?" Ucap Lisa.
"Tidak salah lagi, yah, akhirnya dendam terbalaskan." Ucap Pak Haris, seorang Penongkah berdarah Duanu itu seraya cangak menatap asal jeritan itu muncul, begitu juga 3 pemuda berjiwa aksi berpetualang itu.
(TAMAT)