"Perhatian! Panggilan untuk Ayi Tusyafirama dan Ropiensyah Putera kelas 12 IPA 2, serta Lisa Nanantri Puteri kelas 12 IPA 1, agar ke ruang Bimbingan Konseling sekarang." Alunan microphone meja piket terdengar merdu saat menyerukan panggilan tanda tanya bagi tiga Remaja itu.
Biasanya yang dipanggil ke ruang BK hanyalah murid yang bermasalah.
"Jangan-jangan …" Ropi menerka.Segera dia meminta izin pada guru yang mengajar saat itu lalu melangkah menuju si ruangan interogasi.
"Aku tidak penasaran, sebab sudah jelas kita dipanggil ke BK karena … tahu sendirilah." Lisa berkata dengan yakin sambil berjalan dengan Ayi dan Ropi, adiknya.
Perlahan enam kaki itu menginjak lantai ruang dalam, tentunya disertai salam.
Setelah terjawab salamnya, mereka dipersilakan untuk duduk di sofa bernuansa formal itu.
"Puas berliburnya?" Tanya si guru berjurusan BK itu spontan seraya seperti menyinggung, dia dan dua rekannya turut duduk tepat berhadapan dengan tiga muridnya yang duduk jua.
Bola mata yang langkak menatap serius. Sebuah senyuman satu sisi saja dilanturkan membuat tiga remaja itu tidak sanggup menatap balik.
Lalu dia menarik nafas lalu mulai bersuara.
"Kalian tahu nggak sebab kalian dipanggil kesini? Tentu tahu dong, iyakan?" Guru BK itu berkata.
Walaupun mereka bisa dikatakan tahu tapi mereka pun berangguk kiri kanan seolah-olah tidak tahu.
"Kejadian kronis terhadap Jihan karena ulah konyol kalian itu lho. Rasanya tidak perlu lagi Ibu jelaskan deh." Ucap Bu guru itu bermaksud memedaskan.
Mendengarnya Ayi dan si Kembar itu terbelakak. Yah! Sudah diduga.
"Kesimpulannya kalian akan disanksi atas tindakan kalian, alpha tiga hari dan membuat teman kalian sakit dan terluka parah. Tapi sebelumnya ibu ingin tahu, untuk apa kalian melakukan semua itu, Nak?" Seraya guru itu meminta keterangan pada mereka bertiga.
Awalnya hening sejenak, mau tidak mau Ayi harus mengangkat jawabannya.
Ayi jelaskan panjang lebar tentang mengapa dan asal mula kejadian mistis menimpa Jihan.
Disitu juga terjadi tanya jawab hebat hingga Ayi harus mengatakan alasan utama Ayi tak lain adalah untuk niatnya berpatisipasi dalam memecahkan masalah serius yang terjadi di pantai misterius itu dan untuk tujuannnya dalam menyusun karangan tulisannya.
"Kalau seperti itu, kamu egois dong. Demi kepentinganmu hingga temanmu ikut menjadi korbannya." Sanggah si Guru. "Dan menurut Ibu niatmu juga tidak logis. Kalian seorang pelajar dan masalah itu bukan tanggung jawab kalian. Lalu?"
Ayi merunduk pasrah, mungkin tidak ada argumen yang mengkokohkan keputusannya lagi dan semua kenyataan memberatkannya.
Sementara Ropi mengernyitkan bibirnya sebelah.
"Ini juga keinginan kami masing-masing, Bu." Sahut Lisa bermaksud membela temannya yang tampak mati kutu, dia mengerti apa yang Ayi rasakan. "Jadi ketika Ayi bersalah dalam hal ini kami juga bersalah."
"Efek kesetia-kawanan?" Ucap guru BK satunya menyahut.
****
Kriiinggg!
Selama tiga jam pelajaran tiga remaja itu di ruangan BK. Mereka kembali ke kelas dengan keharusan memakan sanksi sekolah. Alpha mereka dimaafkan tapi skor mereka dikurangkan dan dikenakan denda-denda lainnya.
Ropi tidak merasa mengapa, dia terlihat santai saja tapi Lisa serasa paling tidak menerima hal itu. Dia kecewa, reputasinya sebagai siswi berprestasi di sekolah ternoda.
"Menurutku kelewatan banget, Lisa." Ucap teman sekaligus saingan Lisa yang bernama Alice, dia berkata dengan nada ceria dan terus melontarkan oceh sindiran di depan Lisa yang baru terduduk di kursi depan kelas.
Hal itu membuat tensi si Gadis tomboi melakukan senam pemanasan.
"Tidak masalah, kami terima dengan lapang dada, kok!" Lisa menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Ternyata dia berhasil mengontrol emosi, karena dia tak mau bermasalah lagi.
"Kalian berempat seperti di film-film, ya, berpetualang di suatu tempat yang ingin memecahkan kemisterian tempat itu. Konyol sih, tapi begitulah jika memiliki jiwa aksi." Kata Aisyah pula seraya menanggapi.
"Aku tidak peduli, sekarang saatnya aku mau menemui Ayi, dadah!" Lisa berpamit liar.
"Dah!" Balas teman-temannya.
Di kejauhan tampak pria berketurunan Timur Tengah itu duduk sendiri tanpa teman-temannya, termasuk Ropi sekalipun. Dia menulis sesuatu di Karangan Kedamaiannya.
Lisa melihatnya pun langsung menghampiri.
Baaak!
"Ya Tuhanku!" Ayi kaget, dia langsung menoleh dan melihat ternyata Lisa yang kengejutkannya.
"Kamu buat aku kaget saja, Lis, tulisanku ikut tercoret juga nih." Ayi berucap.
"Wkwkwk, maaf deh!" Ucap Lisa seraya menjewer telinganya sendiri. "Kamu sih, nulis terus sampai tidak sadar aku dari tadi disini."
"Apa? Dari tadi? Aku benar-benar tidak sadar loh." Ayi ketawa dengan tampannya hingga Lisa langsung mengasak-asak rambutnya dan berkata.
"Begitu rupanya efek menulis dengan serius ya?"
"Mungkin Iya, hahaha." Balas Ayi ceria dan bangga.
"Omong-omong, adikku yang idiot itu mana? Kok tidak bersamamu?" Lisa bertanya.
"Dinginnya belum kelar." Jawab Ayi spontan terus terang.
Tidak lama, Ropi pun tampak bersama teman-temannya. Kata orang panjang umur jikalau orang yang dibicarakan tiba-tiba muncul dihadapan kita, benar gak sih?
"Hei Kamu, sini!" Panggil Lisa.
"Ada apa? Namaku Ropi, bukan Kamu." Jawab Ropi sembari menghampiri.
"Kamu kenapa belum perbaikan dengan Ayi, kan aku sudah bilang semalam kan? Kayak anak kecil tahu nggak." Ujar Lisa.
"Emangnya UH apa? Ada perbaikannya. Orang nggak kayak gitu kok. Iya kan Ayi, iya kan?" Sembari Ayi pun tersenyum tipis.
"Tuh kan, dia saja nggak masalah. Kamu saja yang sewot!" Ketus Ropi membalasnya.
"Ya sudahlah, jadi kamu mau kemana sekarang?" Kembali Lisa bertanya.
"Tadinya mau ke IPA 4 ada urusan sedikit bersama teman-temanku, tapi tidak masalah, aku bersama kalian saja disini." Jawab Ropi sekaligus meminta teman-temannya pergi duluan tanpa dirinya.
"Sampai jumpa, pulang sekolah!" Kata salah satu di gengnya itu.
"Yoi! Insha Allah ya!" Balas Ropi sambil angkat tangan kecenya.
Tiga Pemuda itu telah berkumpul, topik dibicarakan kembali. Mereka menyepakati bahwa saat Jihan telah pulih sehat mereka akan menjenguk sekaligus meminta penjelasan lengkap tentang insiden dia setidaknya.
"Apa kita harus ke rumah Jihan sepulang sekolah?" Tanya Ropi.
"Jangan dulu, suasana hati keluarganya saat ini sensitif. Malah yang ada kita kena sembur lagi." Lisa menjawabnya dengan bijaksana. "Ya sudah nanti saja kita bahasnya lagi, guru yang mengajar di kelas kami udah kelihatan tuh."
"Oke!" Balas Ayi dan Ropi.
****
Tuk! Tuk! Tuk!
Suara ketukan pintu terdengar.
Seorang gadis yang tampaknya terbujur sendiri di sebuah ranjang mencoba keluar untuk membuka pintu rumahnya. Saat berjalan, kepalanya terasa berkunang-kunang dan berat, namun tetap dia terjangkau dan akhirnya membuka pintu rumahnya.
"Jihan!" Sebut seorang gadis dengan berseragam sekolah di depan pintu. Dia langsung menghantarkan pelukan terhadap Jihan.
"Kalian, ya?" Ucap Jihan dengan nada lamban.
"Iya, kami ingin menjenguk kamu." Sahut Ropi tiba-tiba datang dengan Ayi dengan sebuah senyuman tebal. "Apa kabarmu Sobat?"
"Membaik." Jawab singkat Jihan. "Ayo masuk."
Dipersilahkanlah mereka duduk di sebuah sofa sederhana, lalu Jihan beranjak pergi.
"Hei, kamu mau kemana?" Tanya Lisa.
"Dapur." Sekali lagi Jawabannya singkat.
"Aku saja yang menyiapi minumannya, kamu duduk saja disini bersama mereka." Lisa bersaran.
"Bersama-sama saja, ya." Ucap Jihan.
"Ide bagus!" Seraya Lisa merangkul bahu teman yang sedang belum fit itu.
Lisa spontan paham bahwasanya temannya itu sedang sakit sehingga perkataannya singkat sedari tadi.
Ayi dan Ropi berdua memandangi interior rumah. Terlihat sepi seperti tidak ada orang selain Jihan.
"Kok singkat semua ya jawaban Jihan? Jangan-jangan dia marah dengan kita." Sangka Ropi.
"Tidak benar, barangkali itu bawaan traumanya dan ... ya dia sedang sakitlah." Ucap Ayi seraya menepatkan.
10 menit kemudian ...
Jihan dan Lisa datang membawa sesaji minuman dan cemilan.
"Omong-omong kalian kenapa datang mendadak seakan-akan tahu bahwa orangtuaku tidak ada saat ini?" Jihan bertanya dengan suara berbeda dari sebelumnya.
"Oh itu. Begini ceritanya." Lisa memulai ceritanya sambil mendudukkan diri di sofa.
"Sebenarnya kami tidak mau ke rumahmu sekarang ini, karena berpikir orangtuamu masih … tahu sendirilah. Otomatis kita bertiga pasti tidak diterima dong. Tapi sebelum pulang sekolah … 'Hai, Lisa!' Tegur seseorang, aku pun berbalik badan. 'Oh … hai!' Balasku setelah melihatnya. Ternyata tetanggamu yang tertutup serta angkuh itu lho, yang kamu ceritakan kemarin di kantin. Dia bilang ... 'Aku ada info sedikit nih, kemungkinan bisa membantulah.' Dia menawarkan sesuatu 'Apa itu, beritahu.' Mintaku dan dia pun segera berbicara. 'Aku tahu apa yang kalian alami, terutama Jihan, tetangga manisku yang malang. Saat berangkat sekolah aku melihat kedua orangtuanya seperti ingin bepergian. Aku tak habis pikir, padahal anaknya sedang sakit. Jadi, menurutku kalian harus menemaninya, deh. Lagian kalian belum melihat keadaannya sekarang, kan?' Kata dia dan aku menjawab. 'Benarkah itu, Angel? Terima kasih banyak loh. Iya, kami ingin menjenguknya.' Dengan senang mendengar semua itu, pulang sekolah tadi aku langsung mengajak Ayi dan si Idiot ke rumahmu. Walau mereka berdua sempat bertanya-tanya sih." Jelas Lisa panjang. "Jadi karena dia lah kami bisa ke sini. Katamu dia sangat angkuh, tapi dari gayanya bicara sangat ramah kok."
"Kau tidak tahu, sebenarnya keluargaku dengan keluarganya ada masalah sedikit. Sudahlah jangan di bahas!" Ketus Jihan.
"Tapi kenapa orangtuamu pergi meninggalkanmu sendiri?" Lisa bertanya.
"Aku tidak sendiri disini, ada bibiku tapi dia sedang di pasar. Nenekku di Tembilahan meninggal dunia tadi subuh, mau tidak mau kedua orangtuaku harus pergi kesana. Padahal aku ingin melihat wajah terakhir nenek tercintaku, tapi apa daya nasibku malang sekali." Jihan mengeluarkan air matanya.
Dia merebahkan kepala di pundak Lisa dengan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Mereka menjadi terharu dengan ucapan temannya yang malang itu barusan.
"Dalam hal ini kami merasa bersalah sekali, Jihan." Ucap Ayi dengan nada rendah.
"Nggak kok, yang namanya musibah si umat tidak bisa menghindari takdir dari Tuhannya." Lalu dengan cepat Jihan menghapus air matanya, dia menjadi spirit kembali. "Jadi, kalian disini pasti ingin tahu apa yang terjadi dengan diriku di dalam hutan yang membuat aku terguncang hebat itu. Iya kan?"
Tanpa diminta si Gadis berkulit hitam manis itu menawarkan ceritanya. Mereka menatapi Jihan dengan mata aktif.
"Hmm ... kalau kamunya sanggup menceritakan itu, silakan saja. Tentunya kami tertarik, iyakan guys?" Lisa berkata, sedangkan Ropi dan Ayi mengangguk-angguk yang berisi penasaran seraya mereka setuju.
Sebelum itu, Jihan mengangkat segelas air putih dan meneguknya. Lalu dia bernafas lega dan mulai bercerita dengan suara yang segar.
"Waktu aku ditarik oleh sesuatu yang mengikat kakiku ... 'Aaaaaa!!!Lisaaaaaa!!!' Jeritan seperti itulah menyertaiku sepanjang hutan, aku mendengar suara balasan Lisa meneriaki namaku mulai menghilang. Sangat sakit rasanya teman-teman, aku terseret di tanah berlumpur sambil disayati dengan semak-semak liar serta ranting-ranting yang keras dan tajam." Papar Jihan.
"Ya Tuhan! Sadis sekali rasanya, aku sampai tidak tega serta hampir tidak mampu untuk membayangkannya." Ropi berturut arus dengan ekspresi ngeri, sementara Jihan menganggukkan hal itu lalu melanjutkan ceritanya.
"Kemudian entah kenapa aku terlambung dan terdampar di suatu hamparan lumpur yang gelap sementara pandanganku juga buram serta mataku yang juga berlumpur. Diriku separuh sadar dibuatnya dengan pandangan yang kepalang. Aku meraba-raba dan sedikit telihat ada manusia-manusia lunglai juga yang terdampar di sana dengan bau busuk yang luar biasa tajam. Ketakutan luar biasa yang mencekam diriku, menangis dan menangis. Tiba-tiba saja ... 'ARGGGHHH! PEMBUNUUUH KAU AAA!!!' Jeritan amukan itu berupa desiran angin kencang yang memaksa ketakutanku hingga merangkak dan merangkak sejauh mungkin, hingga pada akhirnya masuk ke dalam semak-semak dimana kalian menemukanku. Disitu aku merasakan sedikit lega walau batinku sudah pasrah akan kematian." Jelasnya.
"Owh, temanku yang malang." Ucap Lisa sembari memeluk Jihan yang matanya terus fokus ke arah depan. "Sekarang lupakan saja itu."
"Ternyata berdasarkan kejadianmu itu, mereka tidak ada menyebutkan siapa pelaku yang membunuh mereka." Sahut Ayi. "Kalau begitu seperti biasa sulit untuk diselidiki dan selama itu juga warga akan diteror habis."
"Tapi yang terpenting kita tahu bahwa para korban yang hilang ternyata … telah mati tragis." Tambah Lisa.
"Ya itu benar." Ucap Ropi merendah.
"Tapi satu lagi, teman-teman. Saat di dalam semak itu aku merasa duduk di atas banyaknya kerang-kerang digauli lumpur yang terasa di tangan, paha, dan kakiku. Disitu entah kenapa aku tiba-tiba merasa aman dan terbuai sehingga aku terjongkok sendiri merenungi yang telah terjadi. Aku tiba-tiba langsung menyebut dengan senang hati. "Wahai D an, aku orang Duano. Jangan kalian membuat aku terbunuh. Aku mohon pada kalian."
"Kau berkata seperti itu? Kenapa tidak bawa ngucap dan doa saja pada Tuhan?" Ropi menyahut.
"Aku merasa takut sekali terbunuh seperti mayat-mayat yang terkapar itu." Papar Jihan.
"Kenapa ada kerang disana, lalu apa arti D an, Jihan?" Tanya Ayi setelah menyimak.
Mendengar itu mata Jihan terbelakak, dia ternyata membuka mulut tentang D an yang seharusnya tidak dia sebut. Jihan bergumam. "Ya ampun, gawat! Kenapa tersebut di mulutku tentang D an. Bagaimana ini?!"
"Ah tidak teman-teman, sepertinya aku melantur saja karena masih dalam keadaan sakit mungkin. Yang benarnya D an itu tidak seharusnya kalian tahu selain aku sebagai contoh, Duano." Terang Jihan mengelaskan hal itu.
"Oh begitu rupanya." Ucap Ayi melupakan hal itu, sementara Jihan bergumam ceria dalam hatinya.
"Sekarang kau istirahat penuh saja. Kau masih dalam gejala trauma, jadi jangan banyak pikir." Ayi menasehati.
"Iya, Baik Ayi." Balas Jihan.