Kok … Kok … Kok … Kooooook!
Jeritan ayam jago membangunkan hari selanjutnya, pagi yang kalem menyelimuti desa itu.
Aku sengaja tidak menyinggung masalah niatku untuk kembali ke Desa kecil itu pada mereka, karena memang keadaan saat ini tidak memungkinkan. Jadi aku memilih menunggu saja dan memikirkan rencana yang matang untuk masalah yang belum terselesaikan ini. Entah mengapa sebelum kelopak ini terlelap sebuah malam barusan menciptakan ide yang mengajakku untuk melanjuti misi kami, kemudian disokong sebuah janji yang telah dimusyawarahkan oleh kami sejak kemaren. Baik, sekali ibaratkan janji tetaplah harus ditepati.
Setelah tertulis se-paragraf itu ditutuplah si Karangan kedamaian. Itu diletakkan di sebuah meja asing di kamar yang asing juga. Ternyata tiga pemuda itu menginap di rumah Jihan.
"Ayi! Ropi! Kemarilah cepat, kita sarapan bersama disini!" Panggil Lisa dari arah dapur.
"Iya, bentar!" Jawab Ayi seraya berlenggang meninggalkan Karangan kedamaian-nya.
Sengaja atau tidak sengaja namun di ranjang itu si Kribo masih terbujur nyenyak.
"Ropi, bangun. Hei, Ropi. Ayo kita turun untuk sarapan." Ayi seraya mengguncangkan temannya yang terlelap tidur itu.
"Oaaahhh!" Ropi menguap dan berkata dengan lemas. "Kamu turun saja dulu, aku nyusul."
Dengan itu Ayi pun bergegas keluar kamar, menuruni anak tangga lalu menuju kamar mandi.
Sementara di kamar Ropi turut membangunkan dirinya walau serasa berat, dia melentingkan tangannya ke samping hingga mengenai sebuah buku di atas meja tepat disamping ranjangnya. Dia pun bereakasi.
"Eh, bukankah ini buku karangan Ayi, ya?" Sebutnya terbangun dari tidurnya yang tampak pulas itu. "Dia tak biasanya menaruh bukunya sembarangan, kalau seperti ini … Ya! Kepo dikit ah!"
Ternyata Ropi membaca buku itu tanpa sepengetahuan Ayi. Lancang sih, tapi itu tidak berlaku untuk seorang Ropi. Dia memilih untuk membaca paragraf terakhir.
"Aku hanya penasaran apa yang dia rencanakan setelah kejadian yang menimpa kami semua." Gumam si Pemuda itu seraya mulai membaca.
"Apa?!" Kagetnya Setelah menelaah.
Mata jadi serius sebab dia telah mengetahui niat temannya itu, singkat atau padatnya yang dia dapatkan dari bacaan diary Ayi.
"Apa yang dipikirkan dia, sungguh aku tak mengerti dengan keinginannya." Ucapnya nya seraya bergegas turun.
****
Di meja dapur telah tersusun hidangan pagi yang siap dilahap perut, tersedia nasi goreng, mie goreng, gulai ayam, kue, roti, dan kerupuk. Mereka hanya menunggu si Ropi saja lagi, namun tidak lama dia pun muncul dari kamar mandi.
"Kamu nggak mandi, ya? Jorok amat sih!" Ketus Lisa.
"Yang penting sudah cuci muka dan gosok gigi. Lagian kalau mandi, perut kalian saja udah keroncongan, iya kan?" Seraya dia menarik kursi. "Dan yang terpenting lagi kita besok dua hari nggak sekolah!"
"Yaaa! Tanggal merah cuy!" Seru Ayi turut senang, Jihan tersenyum, sementara Lisa malah cemberut dan berkata. "Aku tidak suka itu." Sambil melahap sesendok bubur ke mulutnya dengan mata pejam.
"Oh iya, ada yang ingin aku ungkapkan pada kalian." Ropi tampak ingin membongkarnya saat itu juga.
"Apa itu?" Ayi penasaran.
"Kau pasti akan tahu, sangat pasti!" Ropi menekankan ucapannya. "Ini tentang … sebuah paragraf terakhir dalam Karangan kedamaian-mu."
"Emangnya mengapa? Tak ada yang tahu selain aku." Respon Ayi.
"Benarkah? Tapi aku tahu." Sekali lagi itu membuat Ayi penasaran dan tegang, dan kali itu dia jadi serius.
"Mungkin kau lupa hingga menaruhnya di meja kamar. Aku penasaran dan terpaksa membacanya. Disitu tertulis bahwa kamu … ingin kembali ke pantai misterius itu untuk melanjuti misi kita yang terhenti."
"Apa?!" Kaget Jihan dan Lisa serentak. "Benarkah?"
"Apa-apaan ini! Ropi?!" Ayi bereaksi, darahnya langsung bergejolak.
"Maaf bro, aku khilaf."
"Lancang sekali!" Ujar Ayi serius.
"Tapi masalahnya kenapa kau berkeinginan seperti itu, apakah kau belum puas dengan semua ini?" Balas Ropi, sementara Jihan dan Lisa mengamati hal itu.
Awalnya Ayi membungkam, tapi kemudian berbicara.
"Berdasarkan paragraf yang telah kau baca janji yang telah dimusyawarahkan oleh kami sejak kemaren. Baik, sekali ibaratkan janji tetaplah harus ditepati. Jelaskan? kasus yang benar-benar kita ingin pecahkan belum tercapai, teman-teman. Misi kita bukan terhenti tapi tertunda." Terang Ayi kepada teman-temannya.
"Tapi Jihan seperti ini karena apa menurutmu? Apa kau tak bisa berpikir lebih dalam?" Ropi mengarahkan telunjuk kanan pada otaknya.
"Malahan masalah Jihan ini merujuk pada bahayanya misteri pantai itu jika tidak diatasi." Sahut Ayi berpendiriannya.
"Oke oke, asumsimu benar. Tapi berapa kali kau harus diberitahu bahwa yang menangani kasus ini adalah polisi saja. Selain itu, belum puas yang terjadi sama kita pada ruang BK? Ha!" Sanggah Ropi dengan paparannya yang tegas.
"Tidak benar!" Ketus Ayi seraya memperpanjang perdebatan. "Semua orang berhak, lagian kita hanya menyelidiki pendalangan teror itu saja."
"Sudah kuduga," Ropi seakan tidak mengalah, dia bersikeras menyanggah dengan kebenaran oleh dia. "Kamu itu egois! Pergi saja sendiri jika kau mau, kau selalu menganggap kepentinganmu yang paling berharga hingga kau tidak memperdulikan dampak buruk yang kami terima!"
"Seterah apa yang kau pikirkan, setahuku aku tidak pernah memaksa kalian untuk ikut denganku. Aku sudah memberi pilihan, tapi kau seenaknya saja menyebutku egois padahal dirimu saja yang berpikir pendek! Naif!"
"Apa kau bilang, ha?! Di luar masuk akal sekali kau menyebut itu!" Bentak Ropi.
Kraakk!
Ropi berdiri dengan kasar dari kursi yang didudukinya, dibalas oleh Ayi juga. Tangan mereka turut menghentak meja.
Tidak disangka dua wanita awalnya hanya mengamati, refleks kaget serius.
"Berhenti!" Teriak Lisa spotan menghentikan dua pemuda yang memanas di antara meja hidangan itu. "Kami bisa saja membiarkan kalian berkelahi di luar sana, tapi aku ingin menyimpulkan hal ini. Jangan berpikir kami berdua menikmati debat kalian ya, karena sesungguhnya kalian berdua emosional!"
Lisa menjadi serius. Dia menekankan.
"Tenangkan diri kalian, ayo duduk!"
Mungkin akan terjadi aksi brutal dua pemuda itu jika tiada si Gadis tomboi yang mencegah. Ropi dan Ayi terpaksa duduk dengan wajah kusut dan emosi yang tak stabil.
Krak!
Lisa menarik kursinya kembali, lalu dia menyambung.
"Untuk kau, Ropi. Jangan membiasakan perbuatan lancang pada kepemilikan orang yang bersifat pribadi apalagi pada teman, sangat tidak baik." Lisa berkata pada adiknya. "Dan Ayi, salah besar jika kau berkata bahwa kau tidak pernah memaksa kami untuk ikut bersamamu. Oke, aku dan Ropi baik saja. Tapi Jihan, bukankah dia sempat memintamu untuk tidak semalaman di pantai itu?"
Itu membuat mereka nyaris terbungkam.
"Jadi seperti ini ya ... Aku juga tidak menganggap bahwa aku benar tapi menurutku seperti ini, Ayi sebenarnya tidak salah juga berencana dan berasumsi bahwa kita harus menyelesaikan kasus misteri ini, kan kita juga telah sepakati hal ini di tenda kemaren. Karena tragedi Jihan misi kita sebenarnya hanya tertunda bukan terhenti, walaupun pihak sekolah telah mensanksi kita. Soalnya aku juga memikirkan hal yang sama dan ingin membahasnya pada kalian. Aku melakukan ini karena hal ini nanggung walaupun belajarku tergangu dengan masalah ini sih." Lisa berjelas seperti itu. Dia turut berdukung pada Ayi pula.
"Itu bagus, Lisa!" Sahut Jihan, ternyata dia mendukung pula.
Mendengar kritik lalu disusul saran yang sangat berbobot dari si gadis tomboi itu dua pria yang tadinya memanas jati rileks kembali, walaupun sempat kaget Ropi mendengar kakaknya mendukung keputusan Ayi.
"Jadi misi itu masih berlaku ya? Kalau seperti itu kita bakal kesana lagi dong." Ucap Jihan dengan nada ingin membangkitkan kecerian.
"Kita? Sadar kuy, keadaanmu saat ini belum normal. Jadi jangan coba-coba mau ikut." Ropi bergeleng-geleng kepala, Jihan pun menggigit bibirnya seakan-akan pasrah.
"Iya, Ropi benar. Kamu jangan ikut ya, Han." Lisa meyakinkan.
"Ya mau bagaimana lagi, aku akan tinggal." Ucap Jihan. "Tapi aku ingin tahu kalian akan melakukan apa nanti disana?"
"Tunggu dan dengar saja ending nya nanti." Ucap Ayi dengan penuh keyakinan.