Hujan hadir menyelimuti pagi, kemudian menciptakan mendung yang cukup parah yang mungkin akan menghujankan berikutnya.
Dalam kegelapan pagi itu seseorang yang berjaket abu-abu berdiri tegak di depan dua tenda yang berpose di sebuah padang rumput.
"Selamat pagi, cleaning service!" Ucap seseorang itu dengan lembut, dari suaranya tampak dia seorang perempuan.
"Oaaahm! cleaning service katanya? Kok pagi buruk beginian ada cleaning service sih dan untuk desa kecil begini, apa ada?" Ropi bertanya-tanya. "Malah dingin begini lagi."
Mata berat di balik tubuh yang tersadarkan dari tidur mencoba membuka kancing tenda, dan saat terbuka …
"Baaak!!!"
"Aaaa!" Ropi terkejut dengan muka seseorang di depan tendanya yang nyaris berjarak satu telapak tangan saja pada mukanya.
"Jihan? Ngapain kamu tiba-tiba datang pagi begini? Pakai ngejutin segala lagi."
Ternyata si gadis yang dimintai Ayi untuk membawakan barang-barang mereka telah tiba.
"Ini sudah pukul sembilan, kenapa kalian belum bangun?" Gadis itu langsung masuk ke dalam tenda. "Dimana Lisa?"
"Tenda sebelah lah." Jawab Ropi. "Masa iya satu tenda dengan kami."
Tiba-tiba kedua tangannya mengekap pinggang lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata. "Aku heran deh, kenapa kalian pilih tinggal disini sih dibanding sekolah?"
"Tanya dia tuh!" Ropi menunjuk ke arah Ayi yang masih terlelap tidur. "Kami berdua pun kurang mengerti alasannya."
"Yah, aku juga turut gagal paham dengan keinginannya itu."
****
Waktu demi waktu berakhirlah si mendung kelabu dan digantikan cahaya Matahari yang tipis. Tanah dan jalan menjadi lembab sendu. Di depan tenda tampak 4 remaja yang telah bersiap untuk bepergian.
"Wow, jeans hitam panjang semua ya? Kita seri!" Seru Jihan berpose manja dengan pakaian ala dia.
"Walaupun seri untuk celana gak terlalu diperhatikan, Jihan, kecuali baju." Balas Ropi sambil merapikan kengsi merah jambu nya itu, dia terlihat manis sekali.
"Iya juga sih. Jadi, apa rencana kita sekarang?" Jihan bertanya.
"Kita harus mencari info tentang masalah yang bersangkutan dengan hal yang kita curigai di kampung ini." Jawab si gadis keriting gantung itu dengan penampilan kaos putih lengan panjang bersyalkan merah di lehernya.
"Itu benar, langsung ke poinnya, ayo pergi, guys!" seraya Ayi berjalan dengan semangat karena kemeja batik cokelatnya mengiringi.
Semua terlihat segar bugar karena kedatangan si Jihan.
Lalu berderap santai kaki di atas aspal kecil merupakan cara efisien untuk memulai misi mereka. Tidak lama kaki pun bersinggah di salah satu rumah warga setempat, dimana sepasang suami istri duduk di kursi teras rumah yang sedang menikmati obrolan manis mereka. Kedatangan si empat pemuda tak lain mengubah topik obrolan menjadi basa-basi hingga menjelang pokok pertanyaan.
"… Kami saja datang kesini karena itu Pak, Bu. Jika warga disini memiliki suatu cerita tentang pantai dan festival itu kami juga ingin mengetahuinya. Tentunya jikalau bapak dan ibu berkenan." Ayi dengan sopannya meminta.
"Begitu ya, warga disini sangat cemas masalah pantai itu. Banyak orang yang menghilang saat manongkah secara misterius, entah apa sebabnya. Ada yang bilang hilang karena di telan laut dan ada mengatakan di hutan. Lima hari yang lalu seorang anak berusia 13 tahun juga menghilang, ayahnya sampai sekarang mengalami gangguan jiwa karena kehilangan anak semata wayang-nya itu. Dan semalam di festival telah hilang tiga orang, mungkin kalian telah mengetahuinya." Papar bapak yang berbadan bantut itu, mereka terangguk angguk menanggapinya.
"Apa mungkin hilang mereka karena disembunyikan hantu? Soalnya di desa kami pernah kejadian seperti itu." Ropi berkata.
"Kami juga sempat tahu kabar itu, Nak." Sahut si istri pula. "Bermacam upaya dilakukan untuk menemukan korban namun sampai sekarang belum membuahkan hasil. Entah mengapa di desa ini banyak sekali hal-hal berbau misteri telah terjadi dari patokan pantai Saresah Bidari itu, Kami sekampung merasa diteror sekali."
"Jadi saat ini upaya pencarian telah berhenti, ya?" Tanya Ayi.
"Bisa dikatakan begitu, karena warga juga takut mencari terlalu serius bahkan dari kepolisian pun belum ada hasil kasusnya." Jawab Bapak itu.
"Kalau begitu kasihan keluarga korban ya, sangat terpukul kehilangan salah satu anggota keluarga." Ropi berkata.
"Oh iya, karena kamu bilang begitu teringat kami berdua ingin menjenguk keluarga korban yang kembar itu. Tidak mengapa kan kami tinggal?" Kata bapak itu seraya ingin pamit, tentunya mereka mempersilakan dengan senang hati.
Walaupun terkesan terburu-buru tapi sebagai orientasi infonya cukup memuaskan yang diberikan sepasang suami istri tadi.
Angin siang bersepai-sepoi menghela daerah pesisir. Elang berserakan secara alami menghidupkan wilayah nan asri itu.
Ketika sang Mentari mulai mencurahkan panasnya, baik elang maupun empat pemuda merasa terhambat.
"Istirahat dong! Sudah lelah jiwaku." Ropi tiba-tiba berkeluh.
"Berarti mulai gila dong kalau jiwa lu yang lelah." Canda Jihan.
"Hiss Amit-amit! Sayangnya aku masih sehat Bro." Ropi menarik kata-katanya.
"Makanya jangan alay kalau bicara, hehehe." Sindir Jihan langsung memasuki sebuah warung makan kecil yang kebetulan tepat di sekitar mereka.
Kalau dihubungkan tipikal seorang Jihan juga humoris dan cerewet. Jadi wajar saja kalau dia bisa tersambung dengan konyolnya si Ropi, dibanding Ayi dan Lisa yang bawaannya seriusan.
"Omong-omong kalian kenapa nggak tidur di rumah sepupuku sih? Malah berkemah di padang rumput." Jihan memulai burucap.
"Ya ampun mana kami tahu rumahnya dimana, gimana sih kamu." Balas Ropi langsung meneguk segelas teh obeng.
"Terus tenda itu dapat darimana?" Tanya Jihan pula.
"Ada kakak pembina pramuka disini yang meminjamkannya." Jawab Lisa.
"Kakak pramuka yang rumahnya di ujung desa ini?" Tebak Jihan serius.
"Iya, memang kenapa? Kok ekspresimu gitu amat nanyanya." Ropi menyahut.
"Kaget saja, soalnya dia itu orang teraneh di desa ini." Jihan seketika berkata seakan bersuatu hal.
"Aneh? Aneh kenapa?" Lisa seraya ingin tahu, mereka bertiga langsung terpusatkan setelah Jihan yang ingin mengatakan sesuatu.
"Kak Alex namanya. Ada beberapa orang warga yang beronda disini mengamati dia di suatu malam, soalnya sekitar jam dua dia selalu keluar rumah dan masuk ke dalam hutan tak jauh dari rumahnya itu. Warga sangat curiga entah apa yang dilakukannya, saat ditanya dia bilang dia bekerja mencari kayu. Mencari kayu apanya di tengah malam yang gelap gulita. Saat siang pun dia cenderung jarang untuk bersosialisasi dengan warga disini. Jadi anehnya kok bisa kalian dipinjamkan peralatan kemah oleh dia si super duper aneh itu." Papar Jihan si gadis berdarah Duanu itu.
"Dia memang cuek sih, tapi baik aja kok. Saat kita menggedor rumahnya pun dia membukanya." Tanggap Ropi, sedangkan Ayi mengangguk-angguk membenarkan hal itu.
"Benarkah? Tapi yang aku ceritakan ini fakta lho. Semua warga disini juga tahu." Jihan meyakinkan kepada mereka.
"Jangan melihat orang dari sampulnya, banyak kok orang yang bertipe seperti itu. mungkin saja dia in, introvert, ya itu dia!" Ropi menyambungnya.
"Apaan sih lu, kan aku cuma bercerita sebenarnya. Nggak percaya? Terserah." Jihan merajuk.
"Menurut aku sih, dia sedikit berbeda aja." Ucap Ayi seraya menutup topik itu, sementara Lisa mencerna dan menyerapi apa yang teman-temannya bicarakan.
"Omong-omong, Jihan," Sambung Ropi. "Kamu kan Orang Duanu tentu tahu makna pepatah yang digunakan di festival kemarin. Jelasin dong, menjelang berakhirnya istirahat kita."
"Hmmm! Boleh juga. Tapi aku Duano loh." Terima Jihan sambil mengelus-elus dagunya.
."Duanu dan Duano kan sama, benar gak sih. Ya, aku juga heran deh. Dari orang-orang ada yang bilang Duanu dan ada juga yang bilang Duano. Apa yang benar Jihan?" Tanya jelas dari Lisa.
"Ayo mulai, aku juga ingin tahu." Sahut Ayi layaknya tidak sabaran.
"Yang aku ketahui saja Piak Duanu Lap Neh Dolak itu terjemahannya Tidaklah Duanu Hilang Di Laut yang bermakna meskipun sejarah orang Duanu dulunya di Laut, dimana setahu aku dan omongan yang aku dapat Duanu dan saudaranya ada terhadap beberapa suku besar di Indonesia ini, kalau gak salah Minangkabau sih. Di zaman penjajahan yang membuat mereka terpisahkan, sementara Duanu lari ke lautan hingga bermukiman pada empat wilayah yang cukup ini, ada di Kabupaten Inderagiri Hilir, Provinsi Riau; ada di Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau; ada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi; dan ada di Pesisir Barat Johor, Negara Malaysia. Namun masa sekarang Dessin Duanu atau Suku Duanu telah tinggal di daratan kok sepenuhnya. Seperti itu sih. Masalah perbedaan, itu dia yang aku tidak mengetahui betul. Kemungkinan penyebutan dua macam perbedaan yang kalian dengar dan faktanya adalah nama aslinya Duanu dan Duano itu penyebutan secara Melayu, kan Riau salah satu negerinya Suku Melayu." Jelas Jihan dengan sepadatnya.
"Dan Jihan, berarti Suku Duanu itu kelihatannya ada bahasa tersendiri dong, kupikir mereka menggunakan bahasa Indonesia saja." Lisa menyahut.
"Sebenarnya ada dua versi, ketika berkomunikasi dengan sesama Duanu maka bahasa Duanu asli dikeluarkan, dan ketika berkomunikasi dengan warga bukan Duanu maka mereka menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Duanu." Sambung Jihan.
"Aku mengerti sekarang. Kamu memang mantap kalau bercerita, padu sekali." Tanggap Pria asal Malaysia itu. "Tapi ingat, ini waktunya melanjutkan petualangan! Mumpung cuaca bersahabat, Bro! Ayo!"
"Untung kalian gak banyak nanya, kalausanya Duanu dan Duano itu dijunjungi D an yang sakral banget." gumam Jihan di dalam hatinya.
"Ayo!" Potong Ropi sembari langsung melompat ke bawah dari warung makan kecil tak berdinding dengan tingkatan di atas permukaan lantai jalan itu.
Awan nan imut sekali-kali membendung sang Mentari, membuat empat pemuda itu bergerak kembali dan berhenti tepat di sebuah dermaga tua. Entah kemana mereka ingin tuju, yang pastinya mereka telah berdiskusi tentang tujuan mereka.