I’ll Run This Ruined Empire

🇮🇩Schauen25_
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 1.4k
    Views
Synopsis

HUNTING THE NOBLES

❗️Trigger Warning ❗️

[ ⚠️ ] Contains Murder and Blood [ ⚠️ ]

» Laut Emasvico, Samudera Utara «

» Barat Laut Kekaisaran Emasvico «

» Tahun 1296 Kekaisaran Emasvico «

"Ah, siapakah orang terhormat ini?" Tangannya yang diselimuti sarung tangan hitam, menarik paksa rambut gelap seorang pria tambun yang wajahnya telah babak belur.

Dengan kepayahan, salah satu mata yang tak bisa terbuka dan mata kanan yang hanya mengintip di sela-sela wajahnya yang tak rupa bentuknya—mulai memincing dan menangkap seringaian lebar pemuda yang tengah menarik rambut si tambun hingga kepalanya menengadah ke langit-langit malam.

Langit yang cerah dengan bintang-bintang itu mungkin akhir dari hidupnya.

Lalu suara lembut khas bangsawan beradab itu terkekeh kecil. Tawa kecilnya bagai menunggu kematian pria itu.

"Count Bartholomev...." Pemuda itu memanggilnya dengan lembut sambil menarik kembali rambutnya ke belakang. Hingga rasanya urat leher depannya hendak putus dari tempatnya.

"Bukankah anda seorang burjois sebelum Kaisar Marionetth menghadiahkan gelar Count karena kepiawaian anda mengambil hati petinggi Davasora?" Tangan sang pemuda semakin mencengkeram erat rambut pria itu dan menariknya seakan belum puas sebelum rambut rapuhnya lepas.

"Ah, bukankah anda hendak meluncurkan kapal-kapal pengangkut pasokan pangan dari serikat dagang Alpenstein ke utara?"

"Tapi kapal ini tidak hanya diisi oleh bahan pangan... apakah saya salah?"

"Bagaimana jika salah satu kapal uji coba ini tidak layak pakai? Bagaimana nasib kapal anda yang lain? Apakah itu akan terbuang percuma?"

"Ataukah.... Davasora akan menggerogoti anak serikat dagangnya sendiri?"

"S-siapa kau!!!"

"Kheukkkhh! Sialan! Lepaskan aku!"

Terprovokasi, pria tambun itu memberontak hingga tangan sang pemuda dengan tidak sabar membenturkan dahi penuh kerutan itu ke salah satu besi di depan mereka.

Tanggg....

Sekali saja berbenturan, darah meluncur dari kepalanya yang kini bahkan entah bagaimana wajah aslinya. Dengan rasa pusing dan linu di sekujur tubuhnya, ia tergeletak di lantai kayu dek kapalnya sendiri.

"Count Bartholomev, penguasa wilayah Milburn, tepi barat laut Achylis. Petinggi serikat dagang Alpenstein...."

"Kini tengah melakukan produksi kapal dagang Alpenstein... namun apakah Yang Mulia Putri Kedua telah mengetahui dan mengizinkan pembuatan ini?"

"Saya mulai ragu untuk itu. Apakah anda berniat menghindari inspeksi?"

Mata yang sempat tak sadar itu langsung melirik tajam rupa pemuda yang masih bermain-main dengannya. Namun wajah yang berani tanpa ditutupi itu terlihat asing, lebih tampak seperti prajurit bayaran yang terdidik dengan baik. Atau mungkin saja kelompok perompak yang sedari awal bersembunyi di kapalnya.

"Jika kau ingin sesuatu, ambillah sepuasmu! Tapi lepaskan aku sialan!" Bibir pemuda itu tersenyum puas mendengar si tambun menerka dengan gampangnya. Mulutnya kemudian terbuka untuk bersuara kembali.

Bagai menghakimi dosa yang tidak dikenali wujudnya.

"Dalam catatan pengadilan Mitterand, tiga bulan lalu Countess Bartholomev mengakhiri hidup di kamarnya sendiri—dengan alasan yang tidak masuk akal...bagaimana anda ceroboh hingga mengundang Kuil Agung Mitterand mempertanyakan kesaksian anda, Count?"

Lalu pikiran pria tambun itu beralih ke alasan lain, akankah orang-orang itu adalah kesatria suci Kuil Mitterand? Pantaskah kesatria suci melakukan hal biadab seperti ini? Pria itu makin tak terima.

"Apakah benar itu bunuh diri? Atau salah satu dari dua selir anda tengah bermain-main dengan nyawa seseorang?"

"Apa-apaan itu!! Jangan sembarangan bicara tentang—!!"

Suara yang meninggi itu dipotong paksa oleh suara sang pemuda yang turut meninggi ketika kapal yang mereka tumpangi tak lagi terkendali.

"Satu putra tidak kompeten, putri bungsu yang gila harta serta putra dari selir yang menggeluti transaksi pasar gelap. Nampaknya anda mendidik putra-putri anda dengan cara yang tidak biasa..."

"Aku bahkan... tidak mengenalmu!!" Suara serak yang membentaknya itu bahkan membuat si pemuda tertawa. Dua orang dengan jubah di sekeliling pemuda itu pun tampak terus terdiam sedari tadi.

Awak kapal terbunuh, mayat para prajurit yang telah dihabisi—dilempar ke ombak lautan yang kini mengganas menghuyungkan kapal. Lalu pria itu sadar hanya tinggal dirinya, satu-satunya orang yang masih tidak dibiarkan mati di kapalnya sendiri, di tengah laut dengan ombak besar yang terus menghantam badan kapal.

"Sebenarnya pun tidak ada alasan bagi saya membunuh seseorang. Untuk kesadaran orang yang akan mati—rupanya anda cukup sombong, Count."

Berkat ucapan itu, bulu kuduknya meremang. Itu mengingatkan si tambun pada beberapa orang yang sering ditugaskannya sebagai eksekutor ataupun juga pembunuh bayaran. Namun untuk perilaku sang pemuda yang nampak tak memiliki kegentaran, si tambun agaknya sadar bila ia kini berhadapan dengan seseorang yang jauh lebih kuat darinya.

"Siapa kau dan sebenarnya apa yang kau permasalahkan disini! Aku tidak pernah berurusan dengan orang sepertimu!!"

"Memang..."

Keheningan tercipta disana, jawaban enteng itu membuat si pria tambun kesulitan untuk berkata-kata.

"Apa??"

Kini tangannya gemetar, berpikir bila ia dihabisi begitu saja tanpa alasan yang tidak diketahuinya. Dia, mengingat bagaimana perasaan ini.

Rasanya bagai berhadapan langsung dengan seorang Marionetth. Perasaan menggigil dan dilucuti habis-habisan. Ketidakberdayaan dan rasa rendah diri. Putra Mahkota Karsten Marionetth, yang menunjukkan senyumnya meski tengah menargetkan mangsanya.

Ini perasaan yang sama semacam itu. Ketakutan akan perilakunya yang tidak terduga, kesalahan yang tidak diketahuinya, dan permohonan ampun agar hidupnya dikasihani barang semenit saja.

Namun perasaan takutnya berubah jadi amarah. Untuk pemuda yang tidak diketahui identitasnya, si pria tambun tidak sudi bersimpuh pada bajingan ini. Pemuda ini bahkan bukan seorang Marionetth, hanya seseorang yang seolah memiliki kuasa penuh atas hidup matinya.

"Apa maksudmu! Kau tidak memiliki alasan untuk membunuhku!"

"Apakah itu perintah? Apakah bahkan ada perintah untukmu melenyapkanku!!"

Bagai kesetanan, si pria tambun berteriak dan meraung. Suaranya penuh kasihan, bagai pasrah akan nasibnya yang sewaktu-waktu diakhiri oleh pemuda asing ini.

"Apakah Marionetth yang mengutusmu!!"

Lalu salah satu orang berjubah lain mendekati pemuda itu dan membisikkan sesuatu hingga seringaian yang kembali muncul di wajah sang pemuda yang membuat firasat si pria tambun semakin buruk. Seringaian itu bahkan lebih lebar dari senyum sebelumnya.

"Kecelakaan dua kereta baru saja terjadi. Perjalanan menuju Verendor di perbatasan antara Bauernhof dengan Wischtelberg." Pemuda itu kemudian bersandar di pinggiran kapal dengan santai seolah ombak pun tidak ditakutinya.

Pria tambun yang samar mendengarkan suara pemuda yang tenang nan lembut itu mengerutkan alis.

"Apa katamu tadi?"

"Seluruh penumpangnya tewas."

Perasaannya marah seketika. Pemuda itu jelas bicara tentang anak dan dua selirnya yang tengah menuju Verendor untuk menghadiri pergaulan sosial. Tangannya kini menggenggam erat, tidak terima hingga rasanya bergetar sampai rasanya mendingin mati rasa.

"Sialan!! Mengapa kau lakukan ini padaku!"

"Anda terus bertanya hal yang sudah anda ketahui dengan jelas, Count."

"Jawab aku! Apa Marionetth yang mengutusmu?!" Pemuda itu langsung tertawa kecil menatapnya lurus. Ombak besar menghantam badan kapal sekali lagi, menghuyungkan para manusia yang tengah melakukan eksekusi di dek. Langit yang tenang dan bintang yang hanya berkedip melihat perilaku manusia, malam itu tidak ada yang menyangka bila ombak besar bisa saja muncul tanpa perkiraan.

"Dua kali... anda sungguh tidak tahu malu mengucapkan nama agung itu dari mulut kotor anda, Count. Bahkan mereka mungkin tidak tahu menahu apa yang tengah terjadi saat ini..."

"Aku ini tidak mempunyai dosa padamu, kumohon bunuh saja aku!" Hanya dengan kata-kata itu, sang pemuda berjalan lagi ke tempatnya. Sang pria tambun dengan kesulitan bergerak mundur, ketakutan akan wajah yang hanya diliputi emosi membunuh itu.

"Mana keyakinan anda yang tinggi tadi, huh?"

"Tidak perlu terburu-buru, Count. Mintalah ampunan pada Dewa selagi iblis ini menunggu anda dengan sabar." Lalu tangan yang masih mengenakan sarung tangan basah dengan aroma besi yang pekat bagai aroma darah itu menyentuh dagu si pria yang tengah gemetar bagai menatap langsung mautnya.

Tangan itu mencengkeram dahunya dengan erat hingga mungkin si tambun merasa dagunya hendak dislokasi saat itu juga.

"Apa kesalahan anda pada saya Pfftt... hahahaha! Tidak ada.... Saya tidak melenyapkan sesuatu hanya karena orang itu memiliki salah terhadap saya."

"Ini.... Hanyalah kesenangan kecil."

Itu semakin membuatnya bergetar. Dia bagai dihabisi tanpa alasan oleh seorang psikopat.

"Kau... Tidak waras..."

"IBLIS BIADAB!"

"KAU BENAR-BENAR TIDAK WARAS!!"

Dengan darah yang terus mengalir dari dahinya, satu mata yang tak bisa lagi terbuka dan satu mata yang menatap pemuda itu dengan kabur, ia merasakan benda yang basah di sekitar lehernya.

"Benar. Anda benar."

"KAU TIDAK BERHAK MELAKUKAN INI PADAKU, SIALAN!!!"

Entah sejak kapan di tangan pemuda itu terselip pisau kecil berkarat yang menempel di leher si pria tambun. Itu terasa dingin tepat di bawah dagunya.

"Anda pikir anda siapa hingga menentukan peradilan yang tepat untuk anda sendiri? Manusia normal pun akan berhenti berandai-andai disaat akhir hidupnya."

"Dosa anda adalah pada kekaisaran. Jadi biarlah saya yang mengadilinya."

"Luar biasa bukan, pemilik sementara surat kabar Nox?" Wajah sang pemuda yang kian mendekat justru menujukkan kehororan tersendiri melebihi rasa takutnya akan maut.

"Saya bergerak untuk Marionetth? Tentu saja tidak. Saya hanya gemar melakukan sesuatu secara sukarela." Tanpa sempat merasa terkejut pisau berkarat itu segera menggorok penuh kesulitan leher si pria.

Kheughhhh...

Khoughhhh....

Pisau berkarat itu mulai menembus permukaan kulitnya, mengiris dengan kesusahan hingga berulang kali sang pemuda perlu menekankan pisau itu lebih kencang. Dagingnya terlihat mencuat namun uratnya nampak sengaja sedikit terpotong. Darahnya menyembur bagai keran yang tengah bocor, menghambur keluar bagai tak betah dalam tubuh si tambun. Membasahi baju mereka berdua dan wajah di pemuda yang menatapnya tanpa ekspresi.

Pemuda itu sengaja membuat tubuhnya perlahan merasakan rasa sakit luar biasa, hidup matinya bagai garis tipis yang tidak ada bedanya.

Tidak ada wajah penuh kesenangan, tidak ada seringaian dan ekspresi yang mengerikan seperti sebelumnya. Pemuda itu hanya menghindar dari semburan darah si pria tambun yang tengah sekarat sambil menggelepar bagai ikan yang terangkat dari lautan.

Si tambun mengejang, dengan darah yang menggenang menyelimuti lantai dek kapal.

Begitu seterusnya hingga kesadaran penuhnya meronta penuh kesakitan tatkala pisau tumpul itu kembali berusaha mengiris paksa urat lehernya.

SRRAKKKK...

Hingga mata si pria tambun yang menahan kematiannya memandang lurus pada malaikat mautnya, menatap pemuda yang menghabisinya. Wajah si pemuda yang kembali datar dengan mata tajam yang sirat akan rasa meremehkan, potongan wolfcut dengan tampilan yang rapi, dan tahi lalat kecil yang kentara di dagu kanan kulitnya yang pucat ketika pemuda itu berbincang singkat dengan rekannya. Wajah yang terlihat bersih terawat dan tampilan khas suatu negara. Dalam sekaratnya, si pria tambun melotot, langsung sadar siapa sosok yang menghabisinya dengan sadis.

"Kkkhh...kkhhh...khhhhauuuh..." Melihat si pria tambun yang tidak juga mati dan justru terlihat melotot dan menyadari sosoknya, membuat si pemuda tersenyum kembali. Bahkan saat sekarat pun Count Bartholomev terus bersikap keras kepala.

"Bagus bila anda telah menyadarinya... Tetap buka mata anda seperti itu di neraka dan lihatlah orang-orang yang akan saya kirim kesana."

"Kapal ini akan tenggelam bersama jasad anda. Bilapun seseorang menemukan kapal ini beserta jasad-jasad di dalamnya, itu mungkin ratusan tahun ke depan... dan jejak saya? Anda tidak perlu khawatir akan sisanya."

Sebuah guncangan terasa menghantam sisi lain kapal, si tambun yang sekarat sadar bila kapal itu akan segera tenggelam.

Si pemuda dan orang-orang bertudung itu berbalik berjalan menjauh. Pria tambun itu melihat lingkaran sihir berwarna aneh dengan simbol-simbol dan tulisan mantra yang juga familiar tercipta di depan sana.

Sihir teleportasi.

Itu hanya menelan para orang bertudung di sekeliling pemuda itu. Namun begitu lingkaran sihirnya tertutup, pemuda itu tidak juga pergi dari sana.

Dan pemuda itu tiba-tiba menolehnya sambil berkata penuh ketenangan. Tidak ada ekspresi yang tercetak disana. Matanya menatap tepat manik terang pemuda itu yang kini tersorot cahaya bulan, tatapan yang kosong—beradu tatap dengan mata sekarat si pria tambun.

"Oh, juga saya tidak pernah mengatakan bila keluarga anda yang tewas dalam kecelakaan itu, Count Bartholomev." Senyumannya tercetak sebentar.

Sebuah cahaya lurus dari angkasa semakin besar sorotnya seolah mengangkat pemuda itu. Seiringan dengan besarnya cahaya yang tercipta, pemuda yang menatapnya lurus itu lalu menghilang begitu cahayanya memudar dengan cepat. Seolah tidak ada yang terjadi disana, seolah pemuda itu termakan sorot cahaya besar yang entah timbul darimana.

Lalu kapal itu langsung terguncang hebat dihantam oleh ombak besar menjadikan badan kapal berada di kemiringan yang sempurna. Tubuh si tambun pun terguling dipermainkan kapalnya sendiri. Darahnya yang menggenang lantai di semakin memperlicin keseimbangan tubuh sekaratnya yang tergeletak mengejang tak terkendali. Dan dalam gulungan ombak besar yang tidak wajar itu, kapal Alpenstein ditelan seluruhnya tanpa menyisakan potongan satu pun badan kapal dan tubuh manusia. Lautan memakan persembahannya dengan sempurna.

.

Beratapkan langit malam dan kumpulan bintang, Count Bartholomev telah dihabisi dan di Laut Emasvico yang ganas, Alpenstein telah karam malam ini.

.

Di dalam duduk tenangnya, sang putri teringat isi surat kabar terbaru dari media besar lain yang dibacanya sebelum kemari. Di depannya saudari kembar yang terus mengoceh dan Young Lord Morgenstern bercengkerama. Tuan Muda itu nampak begitu akur dengan sang kembaran. Bahkan sang kembaran dengan nyaman menanggalkan tata kramanya pada si tuan muda.

"Saya membaca koran tentang kapal dagang Alpenstein yang karam semalam. Mereka tengah melakukan perjalanan dari Kekaisaran Heston dan karam di dekat Laut Emasvico."

Suaranya yang halus kembali bertanya ketika mendapat atensi penuh dari Morgenstern muda.

"Apakah karam di sekitar Wilayah Achylis, Tuan Muda?"

"Lebih tepatnya di laut lepas Emasvico di dekat wilayah kekuasaan Achylis, Yang Mulia." Jawab lelaki itu dengan sopan.

"Banjir bulan lalu juga terjadi di wilayah Achylis bukan?"

Putri pertama yang sempat terdiam kemudian mengangguk dan langsung menanggapi saudari kembarnya sebelum sang tuan muda membuka suara.

"Begitulah, oleh sebab itu tugasku perlu melibatkan bangsawan yang wilayahnya terdampak. Namun untuk wilayah Milburn masih kami cari perwakilannya. Sebab Count Bartholomev turut menjadi penumpang dalam kapal Alpenstein itu..."

"Kejayaan Alpenstein memang memukau tiga dekade ini, namun bukankah aneh bila kapal dagang kebanggaan mereka tenggelam begitu saja?" Sang putri pertama menatap kembarannya yang tenang seolah meminta tanggapan dan diberi anggukan singkat oleh putri kedua yang setuju akan ucapannya. Lalu mata sang putri pertama dengan cepat beralih ke Morgenstern Muda.

"Albrecht, serikat dagang dari negaramu tengah kesulitan. Apakah ada informasi mengenai kesalahan dalam konstruksi kapalnya? Siapa pembuat kapal tersebut?" Si putri pertama menoleh sang tuan muda kembali, bertanya lebih lengkapnya pada Morgenstern muda yang tampaknya tengah menyelidiki kasus ini. Suara Putri Kedua yang halus kembali terdengar. Dalam ketenangan suaranya, gadis itu meletakkan cangkir ke tatakan yang dipegang tangan kirinya.

"Itu aneh, apakah benar kapal itu milik Alpenstein? Ataukah mereka menyewa atau membeli dari Davasora?"

Lelaki itu menjawab dengan gelengan singkat dan membuka suara kembali hendak menjawab pertanyaan beruntun kedua putri.

"Prajurit laut mengatakan bila cuaca di wilayah itu memang seringkali ekstrem, Yang Mulia."

"Untuk konstruksi kapal, itu adalah rancangan terbaru dari serikat Alpenstein sendiri dan kapal yang tenggelam adalah kapal yang tengah dilakukan uji coba."

Jawaban itu rupanya terdengar janggal bagi putri kedua yang tengah tenang di tempatnya. Senyum tidak pernah luntur dari bibir manis itu. Dengan suara halus, sang putri kembali bertanya mengalihkan atensi si Tuan Muda yang kembali menatapnya dengan serius.

"Kapal uji coba yang bahkan melakukan perjalanan ke Kekaisaran Heston? Kebetulan yang menggelikan." Tawa kecil langsung terdengar menyusul setelah ucapannya usai. Sang putri kedua terkekeh kering.

Lalu bibir ranumnya bersuara kembali, kini matanya menelisik wajah sang tuan muda dan menatap tepat ke manik citrine terang itu.

"Lalu atas izin siapa kapal uji coba itu berlayar? Apakah Pangeran Karsten atau bahkan seorang Davasora yang melakukannya? Bahkan itu adalah tanggungjawab yang dilimpahkan kekaisaran pada saya selaku suksesor kedua, Tuan Muda."

"Saya yang bahkan memiliki kewenangan untuk mencabut perizinan industri dan mengesahkan seluruh sektor perdagangan bahkan tidak mengetahui apapun tentang produksi kapal ini..."

Pertanyaan itu membuat dua orang lain disana saling terhenyak sejenak dan saling menerka dalam diam jawaban yang mungkin berbenturan satu sama lain.

"Apakah menurutmu mereka tengah melakukan penghindaran pajak, Sera?" Sang kembaran, si putri pertama turut menimpali mendengar kejanggalan yang baru saja disadarinya dari ucapan putri kedua.

"Entahlah, saudari. Kita bahkan belum bisa mengetahui apakah itu benar kapal untuk persediaan pangan musim dingin mendatang atau kapal untuk mengangkut barang lain juga." Jawaban tenang keluar dari mulut putri kedua, disertai mata teduhnya yang menatap kembali sang tuan muda. Ia kembali bertanya, selalu menatap mata siapapun yang hendak diajaknya berbicara.

"Bukankah itu aneh, Tuan Muda Morgenstern? Dengan ini Morgenstern harusnya turut mencari tahu perizinan sebuah kapal uji coba yang berlayar melintasi dua kekaisaran. Itu keterlaluan dan menyimpang dari aturan produksi di Kekaisaran Emasvico."

"Bukankah jika mendapat perizinan, kekaisaran akan membantu pembiayaan proses konstruksi? Apakah menurut anda produksi masal seperti itu masuk akal?"

"Apakah mereka tengah menghindari inspeksi? Apakah Serikat Dagang Alpenstein kini meremehkan saya sebagai suksesor kedua?" Wajah yang masih tersenyum meski tengah menatapnya dengan ramah itu sungguh tak terduga. Siapapun tidak akan menyangka bila putri kedua justru tengah mempertanyakan kinerja si tuan muda.

Seorang Marionetth kini mempertanyakan kinerja Morgenstern, salah satu pilar kekaisarannya yang bertugas sebagai keamanan dan pertahanan. Itu bagai ancaman bagi Morgenstern.

Meski itu bukan tanggungjawab Morgenstern dalam konstruksi transportasi, namun jelas penjagaan laut dan pelabuhan adalah tanggungjawab pihak pertahanan yang dalam hal ini jelas ditujukan untuk Morgenstern.

Terlebih mengetahui jika sang putri kedua tidak mengetahui adanya produksi masal tersebut, itu sudah masuk ranahnya untuk menindak sesuatu yang ilegal.

"Bukankah juga aneh bila itu kesalahan pada konstruksi kapalnya, Tuan Muda?"

Mendengar pertanyaan yang meragukannya, sang Tuan Muda Morgenstern menjawab kembali dengan lugas. Sang putri kedua nampak menginginkan jawaban yang memuaskan darinya.

"Tentang kondisi kapal, menindaklanjuti dari blueprint kapal serupa yang tengah diselidiki oleh unit pengembang dari Morgenstern, Alpenstein nampaknya belum mempertimbangkan perubahan cuaca yang terjadi di wilayah utara menjelang musim dingin."

"Mengenai apa yang anda katakan sebelumnya, itu kesalahan kami karena kurang teliti. Unit penyelidik Morgenstern di Achylis akan menindaklanjuti seluruh kekurangan yang telah Yang Mulia Putri jabarkan dengan hati-hati." Jawaban yang tanpa keraguan dari Morgenstern tampak belum memuaskan telinganya. Sang Tuan Muda akhirnya kembali membuka suara.

"Morgenstern akan segera menyelidiki semua yang terlibat dengan Alpenstein, Yang Mulia." Atas ucapan menjanjikan dari Morgenstern muda, membuat sang putri kedua hanya meliriknya dengan sebelah mata sebelum meneguk kembali tehnya.

Sang putri kedua yang membuka obrolan ini di awal perbincangan tadi, masih tersenyum seperti biasa dan mengangguk seolah sangat paham apa yang perlu dilaporkan oleh Morgenstern muda di masa mendatang.

"Jangan membuat saya kecewa, Tuan Muda Morgenstern."

"Permintaan anda adalah perintah bagi saya, Yang Mulia Putri Seraphine." Dan mulut sang putri lagi-lagi terkunci dengan rapatnya sambil menikmati teh dengan tenang seolah perbincangan itu tidak terjadi sebelumnya.

꧁————————— ꧂