Chereads / I’ll Run This Ruined Empire / Chapter 5 - { EP. 4 } THE DARK FRAGMENT II

Chapter 5 - { EP. 4 } THE DARK FRAGMENT II

꧁ THE DARK FRAGMENT II ꧂

» Horschtel Manor, Provinsi Alberg, Wilayah Kekuasaan Rowena «

» Sisi Timur Kekaisaran Emasvico «

» Tahun 1296 Kekaisaran Emasvico «

Desisan panjang terdengar dari satu telinga ke telinga lainnya, seperti siulan memanggil namanya lalu berubah jadi tangisan lirih yang memilukan. Sang putri terperanjat kaget. Dia terdiam dengan kaku, sedikit merasa takut. Suara-suara aneh itu kembali datang ke kepalanya, membuat Seraphine kebingungan mencerna apa yang ia dengar saat ini.

Suara yang selalu datang ketika sang putri merasa dicekik oleh keputus-asaannya sendiri. Suara yang terus mengacaukan pikiran Seraphine dengan hasutan-hasutan tak berarti.

'Hahahaahahhah Putra Mahkota Karsten tidak akan membantu anda lagi, Putri Kedua.'

'Tidak ada....yang....mengharapkanmu disini....'

Seraphine mulai menjambak rambut peraknya erat-erat. Dia benci mendengar suara yang seringkali muncul tak terkendali.

Perlahan suara itu mulai bersahutan, tumpang tindih, seakan seruan yang timbul dan tenggelam. Memintanya untuk terus mendengarkan.

Tubuhnya bergidik tak karuan. Seperti desisan angin yang panjang, suara orang tua, remaja yang berteriak, ibu yang menangis dan rintihan suaranya sendiri. Semua terdengar memuakkan dan membuat Serpahine merasa bingung tak karuan.

Sang putri langsung menggeleng berusaha mengindahkan suara-suara itu.

Matanya dengan kesulitan menatap kesana-kemari di setiap sudut kamarnya sendiri seakan takut akan sesuatu yang bisa muncul begitu saja dan menembus dinding. Siapapun yang melihatnya mungkin berkata bahwa suksesor kedua mulai gila.

Seraphine merasa seseorang benar-benar meraung penuh kepedihan hingga kepalanya kebingungan mengolah apakah yang didengarnya nyata atau halusinasi saja.

'Huhuhuhuhu... tubuhku terhimpit.'

'Berapa ratus tahun lagi aku harus terjebak disini...'

'APA YANG ANDA LAKUKAN JULIUS MARIONETTH!'

'Mengapa semuanya terus menyudutkanku! Aku juga berhak marah dan merasa dicurangi.'

'Itu benar, Marionetth. Kau berhak membalasnya.'

'Ini tidak adil. Mengapa harus aku yang diperlakukan demikian?'

'Tumpuklah amarah itu dan habisi saja mereka.'

'Tidak ada yang menginginkanku. Untuk apa aku terus disini...'

BRAKK!!

Sesuatu terdengar menabrak meja dan terbentur keras di dinding-dinding kamarnya. Suara amarah dan geraman keras terdengar mengamuk langsung di bergantian di kedua telinganya. Seraphine menoleh ke segala tempat dan nihil, matanya tidak menemukan apapun.

'OHHH TERKUTUKLAH! TERKUTUKLAH!'

'BARNABAN TIDAK AKAN MEMAAFKAN PENGHINAAN INI, MARIONETTH!'

'Harusnya mata penuh simpati itu membuat anda terhina, Marionetth.'

Dan sesuatu tiba tiba menjerit di telinga kirinya.

'Jiwamu adalah dosa besar Emasvico,

Hassel Marionetth!'

Suara itu kembali silih berganti muncul dan tumpang tindih seperti rintihan orang tua dan semakin lama berubah seperti desisan suaranya sendiri.

Seraphine mulai meringkuk, memegangi dada yang berdebar dan menutup telinganya yang lain penuh ketakutan. Rasanya bersahutan di segala sisi hingga gadis itu menoleh ke segala arah dengan gelisah.

Bahasa-bahasa kuno yang merintih yang timbul pergi lalu berteriak di segala tempat memenuhi ruang pikirnya.

'Kubilang kembalikan jiwaku!!'

'Aku ingin merobek mulutmu.'

'Anakku! Anakku! KUMOHON! AMPUNI ANAKKU!'

'Huhuhuhuhu.... Kumohon! Biarkan anakku!'

'Terkutuklah, Marionetth!'

'Apa ini akhir yang Anda inginkan dari Sachores, Isadore Marionetth!!'

Seraphine berusaha untuk pergi dari kamarnya sendiri. Ia berlari untuk meraih kenop pintu yang terasa begitu jauh dari jangkauannya namun tubuhnya lemas dan ambruk sebelum ia sampai meraih gagang itu.

Suara itu mulai menghasut dan menelan kesadarannya. Kekacauan yang sempurna.

Kini dengan gemetar tangan yang menutup satu telinganya mulai beralih menahan mulut agar terus tertutup.

            'Jangan memuntahkan apapun disini...'

            'Kau baik-baik saja, Sera... ini masalah kecil, kau biasa menanganinya...'

Sang putri terus berusaha menyadarkan dirinya sendiri, sesekali memukul anggota badannya dengan keras. Jantungnya terus berpacu dan suara itu meraung seakan hendak menghilangkan kesadarannya.

Tekanan yang besar seakan meremas jantungnya erat-erat.

Rintihan mulai terdengar dari mulut sang putri. Seraphine menangis lirih menahan rasa sakit tubuhnya sembari menahan desakan tanpa ampun yang terus merintih di kepalanya.

Sang putri bahkan tak lagi mampu mengendalikan kuasa tubuhnya yang mulai kaku.

'Tolong kembalikan kami...'

'Jiwaku... jiwaku...'

'MARIONETTH!'

'Keluargaku! Apa yang terjadi pada keluargaku!'

'Biadab! Kalian Pembunuh Biadab!'

Suara itu makin kencang seakan meneriakinya di berbagai tempat. Saling memantul dan bergantian seperti menempatkannya dalam goa besar yang bergema.

Kamarnya kini terasa begitu luas dan tinggi, ruangannya dilapisi cat cat merah yang meleleh dari berbagai sudut dinding dan langit-langit.

Suara mereka terus berganti dengan bahasa kuno seribu tahun lalu, bahasa awal Emasvico. Beberapa dari mereka menggunakan bahasa dengan rentang 800-500 tahun lalu dan beberapa sahutan lain terdengar seperti bahasa dari wilayah samudera barat dengan aksen yang khas. Itu bahasa-bahasa lama yang wajib dikuasai oleh para suksesor sepertinya.

'Pembantai!!'

'KAISAR ADALAH PEMBUNUH!'

'ARGHHHHH!'

'UVEROL MUSNAH! UVEROL TELAH DIMUSNAHKAN!'

' jangan bunuh kami... jangan bunuh anakku-.'

'BUNUH SAJA SAYA!'

'TERKUTUKLAH!'

'DEWA YANG MELINDUNGI EMASVICO ADALAH DEWA KEMATIAN!'

'IBLIS!!!!'

'KALIAN HANYALAH IBLIS, MARIONETTH!'

PLAK!!

Seraphine dengan kasar menampar pipi kirinya keras-keras, berusaha memberikan kesadaran atas isi kepalanya sendiri.

Suara di kepalanya semakin kencang, terasa seperti mengamuk dan dadanya semakin terasa ditusuk benda tumpul.

Ini begitu menyakitkan baginya.

Seraphine menahan erangan atas kondisi tubuhnya yang terasa panas dan terkoyak. Matanya yang tengah terpejam berusaha mengalahkan suara tinggi rendah yang terus muncul ketika jantung sang putri berdebar kencang.

Saat itu Seraphine dengan jelas bisa melihat dunia dalam kabut merah. Wajah-wajah yang meleleh, tulang leher yang diputar secara paksa, dislokasi tulang-tulang hingga terlihat diremukkan sebelum tubuhnya tak bernyawa.

Mereka merintih hingga suaranya tak lagi terdengar ketika tubuhnya mulai tak bernyawa.

Kini suara teriakan itu tergantikan oleh desisan bisikan halus yang semakin menggema seperti seseorang yang bersuara langsung ke dalam telinganya.

'Lepaskan jiwa kami...'

'Oh Dewa! apakah dosa kami!'

'Bila menuju neraka ini lebih baik dibandingkan terus menahan kami di kekaisaran ini.'

'LEPASKAN. JIWA. KAMI.'

            "Hah.... Tolong... tolong aku..."

             "Heughhh..."

Dia ingin muntah atas teriakan dan visualisasi yang terlihat di kepalanya. Bahkan kini Seraphine tidak mampu membuka mata.

Anak-anak yang terbakar hidup-hidup, bahkan suara tangisnya meraung kesakitan dengan kulit tubuhnya yang perlahan meleleh. Seorang ibu hamil yang dibelah paksa, mata pemuda yang memutih sambil berteriak keras dengan ucapan aneh seakan telah dikutuk oleh mantra kuno.

Semua itu terdengar seperti bahasa sakral yang mendesis berputar di seluruh telinganya.

Dunia yang dilihat oleh sang putri itu dikelilingi kabut merah.

Api dan darah.

Genangan itu di segala tempat, rumah dan satu wilayah yang dibumihanguskan. Darah dimana-mana. Potongan tubuh manusia tercecer dengan tulisan melingkar seperti mantra kuno yang membungkus seluruh tubuh mereka.

Seraphine menggeleng tidak percaya dan menolak memahami apa yang diperlihatkan padanya. Itu harusnya mustahil terjadi meski kejadian keji yang dilihatnya seperti mimpi paling nyata yang pernah didapatinya.

Itu harusnya tidak pernah terjadi.

'Marionetth! Anda tetaplah Marionetth!'

Bisikan itu kembali mendesis melewati isi kepalanya.

'Meski melucuti hingga tetesan terakhir pun, darah pendosa itu tidak akan lepas dari jiwa keturunan anda!'

'Tidak ada yang namanya keabadian bagi para biadab, Marionetth!'

'ANDA BUKAN DEWA, MARIONETTH!'

'ANDA HANYALAH IBLIS YANG SEMPURNA!'

BUGHH...

BUGHH.... BUGHH....

Tangan itu memukul keras dadanya sendiri berulang kali dengan kesusahan. Kini tubuhnya merasa ada sesuatu yang mengalir dari dalam. Darah. Seakan bisa keluar kapan saja.

Rasa mual yang ia rasakan kian membuncah dan tak mampu ditahannya lebih lama lagi. Rasa besi yang kuat memenuhi indranya.

'Berapa ratus tahun yang diperlukan agar tubuhku dikuburkan!'

'MATILAH DALAM SINGGASANA!!'

'MARIONETTH!!!'

Teriakan terakhir itu menggema keras hingga telinganya berdengung panjang. Amarah dan kekecewaan jelas terdengar pekat. Rasa sakit di tubuhnya yang terasa begitu menyesakkan dada hingga Seraphine kini tak mampu menahannya lagi.

Tekanan besar dari amarah yang tidak lagi mampu dikendalikannya.

            "OHOKKK..."

Tubuhnya reflek terbangun, langsung duduk menundukkan kepalanya dan memuntahkan semua yang tertahan dari perut dan dadanya.

Dia masih di kamarnya.

            "Hoekkkk..."

            "Hoekhh..."

Itu mimpi.

Melirik susunan bunga poppy merah, peony ungu, lilium putih serta beberapa tambahan bunga baby breath yang biasa dipetik pelayannya dari rumah kaca masih terpasang cantik di vas bunga tepat di atas nakas tempat tidurnya.

Itu hanya mimpi dan dia terlelap sejenak di kamarnya.

Mimpi paling nyata yang pernah Seraphine alami.

Mata biru keunguan itu mulai terbuka dengan buram dan menangkap cairan kental yang tumpah ke lantai. Darah segar mengalir dari mulutnya dan begitu sadar, tangannya kini mulai gemetar hebat, merinding penuh ketakutan.

Air mata keluar dengan sendirinya hingga sang putri mengusapkan telapak tangannya ke gaun. Gaun bersih yang dikenakannya tak ubahnya seseorang yang nampak baru selamat dari tragedi mengerikan. Pun rambut peraknya juga terkena darah yang dimuntahkannya. Gadis itu kini meringkuk sambil merangkul lututnya sendiri.

Perasaannya kacau. Tangannya yang lain mengusap bekas darah di mulutnya dengan kasar.

            "Akhhhhhh!" Dia berteriak penuh frustasi. Seluruh tubuhnya seperti diremat dan tertusuk ratusan panah. Itu begitu tidak tertahankan hingga air matanya terus keluar tanpa ditahan.

Seraphine tidak boleh terlihat selemah ini. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri. Meski kehabisan tenaga, sang putri tidak boleh terlihat lemah jika turun nanti. Dia adalah suksesor kedua, apa jadinya bila orang tahu kondisinya yang menyedihkan ini!

Air matanya masih saja lolos meski ia berusaha menahan isakan.

Sakit.

Meski ditahan bagaimanapun eratnya, Seraphine tak mampu membohongi bila tubuhnya bahkan tidak berdaya dan gemetar untuk digerakkan. Rasanya begitu menyakitkan hingga tak mampu ia definisikan dengan benar.

Sang putri seakan memuntahkan potongan tubuhnya yang hancur dari dalam. Darah yang kental dan menggumpal. Itu sungguh menjijikkan. Masa hidupnya mungkin akan terus terkikis bila ia diam terlalu lama di Rowena. Namun Seraphine mulai menertawakan dirinya sendiri.

Sejak kapan Seraphine memiliki pilihan?

Ingatannya secara alami terproses begitu melihat darah yang dimuntahkannya. Rasanya tidak sebanding dengan apa yang telah tergambarkan dalam ingatannya tadi. Itu peristiwa mengerikan yang seharusnya tidak pernah menjadi kenyataan. Alangkah lebih baik bila semua yang dilihatnya tadi hanyalah mimpi buruk dari tidur siangnya yang singkat.

Namun dalam benak Seraphine mulai bertanya-tanya. Apakah nama-nama yang mereka sebutkan itu benar-benar ada? Seraphine sangat paham ini akan sulit baginya. Beberapa nama memang dikenalnya, namun apakah nama-nama yang lain benar nyata? Roh tersesat seringkali ikut menyesatkan dan mengucapkan kata penuh omong kosong dan di sisi lain dia menolak percaya dan meragukan pikirannya. Namun disaat yang bersamaan Seraphine berpikir ia perlu mencari tahu lebih jelas apa yang telah terkubur lama di kekaisarannya.

Intensitas siksaannya bertambah menyedihkan seiring bertambahnya usia. Bila ia boleh menebak, mungkin itu dampak utama dari sihirnya yang tidak terkendali. Seraphine jelas tak bisa menanggungnya terlalu lama. Berdiam diri sama saja sukarela menyodorkan masa hidupnya pada kematian. Namun bergerak pun rahasianya tentang sihir hitam mungkin akan langsung ketahuan. Dua pilihan itu mendekatkannya pada kematian, mati karena berdiam diri atau mati sebagai aib dan dimurnikan pada api suci. Seraphine mengusap bibirnya yang terasa menjijikkan. Ini menggusarkan isi kepalanya. Semua kacau.

Dia terdesak oleh waktunya sendiri hingga ia merasa perlu tergesa-gesa menyelesaikan semua hal saat itu juga. Meski demikian, darimana ia perlu memulainya? Darimana Seraphine perlu memulai langkah untuk mencari tahu? Itu bagaikan sebuah peti harta yang perlu digali, seperti tanaman baru yang belum dikenali, dan akar serabut yang tidak diketahui letak paling ujungnya. Penuh misteri yang membuatnya ingin meledak kapan saja.

Marionetth terlalu sering mengubur sesuatu bahkan nama sekalipun dan mengubahnya seakan hal tersebut tidak pernah hadir di dunia. Seperti halnya nama-nama yang mungkin tak lagi dianggap nyata, hingga manusia yang hidup kini menganggapnya sebagai ilusi saja. Apakah sejarah panjang Marionetth bisa diintipnya sekali saja? Seraphine menopang dagu dengan pikirannya yang penuh terka.

Sebenarnya apa yang mereka lakukan hingga perlu melenyapkan sesuatu tanpa sisa seperti itu? Itu sungguh mengganggu benaknya.

            'Marionetth. Dosa besar macam apa yang telah kalian semua lakukan di masa lalu?'

꧁ ————————— ꧂