Setelah semua perlengkapan Arin dan Mira siap, aku hanya menyarungkan katana Pelangi di pinggangku yaitu si Putih yang seolah berlari-lari menyambutku dan ingin segera agar aku menggunakannya, sebelumnya ia tidak pernah kupakai karena katana ini sangat menonjol dan cukup menarik perhatian bila kuperlihatkan pada orang lain, walaupun aku sering membawanya di pinggangku tapi aku tidak pernah sekalipun menarik bilahnya keluar dari sarung pedangnya sejak pertama aku tiba di dunia ini, terakhir kali aku menggunakannya saat aku melawan bandit di pertempuran pertamaku dan saat menyelamatkan Arin yang ternyata salah paham.
Aku menelan ludah, sudah lama aku hendak menggendong Si Putih di pinggangku — namun urung, takut Arin mengomel dan menyuruhku mencoba skill-skillku. Karena dari dulu ia sangat ingin melihat Si Putih sekali lagi tapi kesempatan itu tidak pernah
datang padanya dan saat ini akhirnya ia dapat melihatnya langsung.
Si Hitam segera aku masukkan ke penyimpanan dimensi agar aman karena aku hanya akan memakai Si Putih, walaupun kubilang Si Hitam pun tapi itu hanya sarung pedangnya saja yang hitam dan aura yang keluar saat aku memakainya pun hitam, sedangkan bilahnya tidak mencerminkan warna hitam sama sekali. Yah ini hanya nama acak yang kupilih sebelumnya, jika ada Si Putih jadi kurasa sebaiknya juga harus ada Si Hitam.
Setelah persiapanku selesai dan Si Putih sudah berada di pinggangku, aku membantu beres-beres rumah Mira sebentar bersama si seksi Mira, lantas buru-
buru menyingkir sebelum Arin datang dan melihat Si Putih lalu menyuruhku mengeluarkannya.
"Ra aku ke kamar ya, sebentar." Aku meraih sapu ditanganku, dan sebelum Mira berkomentar, Arin sudah menuju ruang tengah tempat kami berada dan berdiri di belakangku.
Ia langsung menerjang memegang Si Putih dan memelas ingin melihatnya. Aku dan Mira kaget setengah mati karena kelakuannya.
"Aaaaaaaaaaaaa, AH ARIIIIN" Mira mengomel karena kaget.
Aku hanya diam tersentak karena lebih kaget dengan teriakannya Mira.
"tolong biarkan aku melihatnya sekali saja Nimaaaaa, yah yah yah, aku akan terus begini kalo ngga kamu kasih liat" Arin memelukku dengan erat dari belakang dan tidak mengendurkan pelukannya sedikitpun padaku.
Mira yang melihat Arin memeluk Nima merasa malu, mukanya memerah lalu ia segera mencoba menarik Arin dari tubuhnya Nima.
"Ariiin kamu ngapain meluk pria dengan liar begituu, itu bukan sikap wanita kesatria tauuu" ia memberitahu Arin sambil mencoba menariknya dengan segenap tenaganya dari Nima.
"bukan begitu Miraaaa, lihat katananyaaaa, lihat katana putih yang Nima bawa ituuuuu. Kamu akan tahu alasanku begini jika kamu melihatnya jugaaaa" dengan bersusah payah bertahan dari tarikan Mira, Arin tetap bertahan.
Mira berhenti sejenak menarik Arin dan menatap katana di pinggang Nima yang tampak sangat indah, ia baru menyadarinya sedari tadi bahwa ada katana sebagus itu di pinggang Nima karena sebelumnya ia hanya fokus pada pekerjaan rumahnya.
"ah, itu rupanya. Nima, katana apa itu? Sarung pedangnya indah sekali." Mira juga menjadi penasaran setelah melihatnya langsung.
"iyaaa iyaa Arin iyaaaa, aku kasih liat iyaaa. Lepasin dulu, dadamu nempel dadamu nempeeeeeel!!" Aku masih berusaha melepas pelukannya, aku juga bisa merasakan dadanya yang lembut menekan punggungku.
"benarkah??? Hehe maaf" ia sedikit malu dan perlahan melepas pelukannya dariku.
Aku memberikan katana itu pada Arin, Arin tak membuang waktu dan berbasa-basi langsung mengeluarkan bilah katana itu dari sarungnya. Mereka berdua melihatnya dengan jelas di depan mata mereka katana Pelangi indah itu, katana yang bilahnya terbuat dari manifestasi cahaya Pelangi yang indah luar biasa tepat di hadapan matanya.
Mira yang pertama kali melihat senjata indah seperti itu kagum dan wajahnya dipenuhi keingintahuan yang jelas akan katana
itu. Aku bisa merasakan antusias yang berlebihan dari mereka. Yah, aku juga waktu pertama membuatnya kaget yang muncul ternyata benda seheboh itu.
"apa ini sungguhan? Apa ini nyata? Orang biasa pasti melihatnya hanya seperti gagang pedang tak berguna saja, tapi jika memiliki kepekaan sihir yang tinggi kita pasti bisa melihat bilah katananya. Cahaya Pelangi indah ini yang termanifestasi menjadi bilah sudah sangat luar biasa. Ini
senjata sekelas artefak suci sepertinya."
Mira menjelaskan opininya tanpa mengharapkan jawaban dari kami berdua, anehnya.
"walaupun sudah kali kedua tapi tetap saja aku masih suka melihatnya. Cahaya indah ini yang bisa disentuh. Warna indah dari bilahnya. Belum lagi jika Nima sudah menebas memakainya, ahhhh... pasti sangat luar biasa, aku ingin sekali melihatnya."
Arin sepertinya sangat ingin memilikinya,
tapi sayang sekali aku tidak bisa membuat yang seperti ini lagi karena ini satu-satunya dan mustahil di duplikat. Setelah puas meliat Si Putih, akhirnya Arin mengembalikannya. Tak sabar ingin melihatku menggunakannya.Setelah sekitar 10 menit memandangi Si Putih. Aku berpendapat bahwa menyusun rencana penyerangan sepertinya harus segera dilakukan dan yang memimpin pasti jenius seperti aku kan.
Bayangkan, dua hari berturut-turut perkiraan penyerangan pertama yang akan kami lakukan setelah Mira menjelaskan lokasi dan perkiraan jumlah seluruh iblis baik yang bersembunyi maupun tidak—mood-ku menyelesaikan dan melakukan penyerangan langsung menguap begitu saja. Mataku memang menatap dan mendengarkan baris-baris kalimat yang keluar dari mulut seksi dan manis Mira, tetapi kepalaku memikirkan hal lain.
"(Kira-kira Si Putih cukup ngga ya?)"
Aku beranjak meraih Si Putih yang terpasang di pinggang, anggun bertengger, menemaniku memahami perkataan si seksi Mira. Si Putih hanya memandangku sepertinya. Melihat gelagatku yang seperti manusia hina yang menatap Mira kemana-mana, maafkan mataku ya Mira. Mata
bundarnya Mira berkilau memantulkan cahaya pada dua anak manusia di depannya.
"Atau jangan-jangan akan butuh lebih dari dua hari ya?" Mira nyeletuk di depanku dengan polosnya. Sedangkan aku nyengir dengan ide yang melintas dipikiranku ini.
"(apa aku kabur saja?)"
Si Putih seolah berbicara,
"dimana keberanian dan tanggung jawabmu sebelumnya?" dengan sedikit mengkerut dahinya.
Aku tertawa sendiri memikirkannya. Itu ide buruk. Tapi sepertinya aku harus dan terpaksa harus menerima itu semua, supaya tahu bagaimana cara terbaik mengalahkannya. Iya kalau cuma sepuluh atau dua puluh? Ini hampir seribu jumlahnya!! Apa nggak gila? Kalau kenapa-napa pada mereka berdua gimana?
Aku menelan ludah, buru-buru mengusir jauh-jauh kemungkinan buruk itu. Atau jangan-jangan Mira benar? Memang hanya ada satu cara membasmi mereka yaitu dengan membunuh semua iblis sampai akarnya tanpa ada yang tersisa.
Dalam pertarungan melawan iblis Si Putih akan lebih berguna dari Si Hitam makanya aku hanya membawanya. Karena Si Putih dasarnya merupakan elemen cahaya yang tidak disukai para iblis. Aku menelan ludah lagi, buru-buru mengusir penjelasan rumit itu. Aku sudah mengetaui posisi penguasa iblis-iblis itu berkat skill 'melihat segalanya'. Aku tahu persis ada dua iblis kuat di wilayah ini.