"Kamu lihat di mana si Putih, rin?" Aku lembut menanyakannya dengan kedua telapak tangan di perutnya, memeluknya dari belakang saat sedang memasak.
Arin menggeleng.
Aku terus memeriksa kamar sambil mencari si Putih. Aduh, ke mana pula katanaku yang satu lagi? Tidak ada di kamarku. Juga tidak ada di sekitar sini. Aku beranjak menuju dapur, boleh jadi si Putih sedang malas-malasan di penyimpanan dimensi karena aku lupa menaruhnya disana, menghabiskan waktu dan tertidur lelap.
"Ah benar rupanya dia disini."
Segera ku tempatkan dua katana kesayanganku itu di pinggang dan menuju dapur untuk langsung makan bersama Arin. Santap pagi menjelang siang pun berakhir. Perjalanan dilanjutkan, aku bersiap menggendong Arin untuk segera terbang ke angkasa. Tubuhnya yang kecil dan berisi
membuatku selalu ingin menggendongnya. Entah kenapa.
Sekitar 10 jam kami terbang melintasi berbagai daratan yang berbeda. Menikmati alam yang ada dari angkasa yang luar biasa. Ini belum seberapa, sepertinya masih banyak hal indah menanti nantinya. Dari atas angkasa luas itu, kami berdua melihat seorang elf wanita muda mengenakan pedang dan busur di tubuhnya. Ia terlihat kewalahan diserang kawanan monster serigala dari berbagai arah sekitar 30 ekor. Aku dan Arin lekas turun dan membantunya.
"Jurus Pedang Bulan, Bentuk Pertama, Kilauan Cahaya Bulan"
Sring sring sriiing..
Dengan pergerakan yang cepat dan aura pedang yang luar biasa. Serangan arin mengarah ke berbagai arah mata angin dengan cepat melindungi elf itu dari kerumunan monster serigala, kilauan pedang berliannya sangat indah dan dengan cepat menghabisi beberapa monster serigala disekitarnya itu.
"Pernapasan Kegelapan, Pedang Hampa Bentuk Ketiga, Aura Ombak Hitam"
Sruuuuuush...crat cratt crattt cratt..
layaknya ombak yang kejam dan gelap, serangan nima membereskan sebagian besar monster yang berada di depan mereka. Tebasan aura hitam tanpa suara yang sangat luar biasa cepat dan tak terlihat mata bagaikan ombak besar yang menerpa. Sisa-sisa monster itu pun merasa takut saat melihat pada sosoknya yang luar biasa, memancarkan aura yang kuat dan mereka pun melarikan diri.
"(dilihat bagaimana pun dia memang keren jika sudah memegang pedang, ah priaku tersayang. Eh!! Ngga ngga mikir apa aku barusan)" Arin kagum dengan pergerakan dan Teknik pedang yang nima tunjukkan.
"kamu gapapa?" aku bertanya, mencoba memastikan kondisi elf wanita muda itu.
"iya aku gapapa, kalian kuat sekali ya"
"(apa yang dilakukan elf wanita secantik ini sendirian disini, kalo diculik kan bisa bahaya, diculik aku maksudnya hehe)"
Itulah sedikit isi kepala dari pendekar pedang pria yang baru saja menyelamatkannya, andai dia mengetahuinya.
"apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa ada disini sendirian" Arin bertanya sambil mencoba memapah elf itu untuk istirahat sejenak di bawah pohon sekitar.
"sebenarnya aku lagi mencari tanaman obat untuk orang-orang di desa, mereka terkena racun iblis."
"apa? Iblis?" aku tak menyangka ada iblis di dunia ini.
"iya benar, sebenarnya racun iblis bisa hilang jika iblisnya bisa kita bunuh. Tapi iblis itu terlalu kuat bagi kami sehingga kami tidak punya pilihan lain selain mengandalkan obat. Beberapa orang sebelumnya sudah dikirim untuk mengalahkannya tapi tak pernah ada yang berhasil kembali, Kami warga desa pun mengasumsikan bahwa mereka semua gagal dalam misinya. Begitulah, hingga akhirnya aku bisa sampai disini bertemu para monster serigala dan kalian datang."
"hmmm, jadi begitu. Apa boleh aku berkunjung ke desa?" Arin bertanya berniat melihat kondisi desa terlebih dahulu.
"eh? Kalian yakin? Udara di wilayah desa sudah tercemar racun iblis, nanti kalian ikut terkena."
"(Elf itu menjelaskan dan sampai mengkhawatirkan kami, padahal yang terluka itu dia)" Arin berpikir untuk membantunya tapi tidak yakin, karena Nima belum mengatakan apa-apa sejak elf itu menjelaskan situasinya.
"jangan khawatir, arahkan saja jalannya" aku tersenyum dan memintanya menunjukkan jalan. Aku juga bisa melihat wajah Arin yang lega karena aku membantu mereka.
"walau dirasa cukup telat, tapi perkenalkan namaku Mira" ia menjulurkan tangannya pada mereka berdua.
"aku Arin"
"namaku Nima"
Setelah mereka bertukar informasi dan mengumpulkan beberapa tanaman obat akhirnya mereka pun menuju desa elf muda itu. Karena lokasinya yang cukup jauh dari desa dan malam hampir tiba mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan Ketika pagi tiba. Akan berbahaya berjalan di tengah hutan saat malam, lebih baik istirahat saja.
Seperti biasa, nima menggunakan skill 'konstruksi instan' untuk membangun rumah sederhana, Mira pun terkejut melihatnya. Karena semudah itu pula nima mendirikan bangunannya. Arin menyiapkan makanan di dalam sementara itu Mira menyiapkan api unggun diluar, sedangkan aku? Tak tahu harus apa, bengong di pojokan karena mereka berdua sangat bisa diandalkan. Ternyata seperti ini ya rasanya punya rekan yang sangat bisa diandalkan, terutama mereka berdua sama-sama wanita muda yang cantik dan tubuhnya seksi berisi. Bahagianya.
Perutku yang sudah lapar dan tak bertenaga ini menari-nari segera setelah Arin keluar membawa seluruh makanan yang telah dibuatnya. Mira yang sudah selesai menyiapkan api unggun pun menghampirinya untuk membantu. Tak butuh waktu lama untuk kami menghabiskan seluruh makanan yang tersedia berkat kelelahan yang sudah kami alami sebelumnya.
Aku bermain gitar sebentar setelah makan malam dan berbincang-bincang dengan mereka berdua. Mira sangat tertarik dengan penampilan yang kupertontonkan. Ia menatapku seperti Arin saat pertama kali mendengar nyanyian dan laguku. Mira seolah masuk kedalam laguku karena ia seorang elf, seorang elf biasanya lebih peka terhadap lagu. Ia memperhatikan dengan tidak menimbulkan suara dan hanya menatapku penuh pesona kecantikan yang dipancarkannya. Setelah sesi lagu malam tiba kami istirahat kedalam rumah sederhana.
LIMA belas menit kemudian, setelah mengunci pintu dan menutup jendela serta memasang sihir pelindung, Arin memboncengkan tanganku dibawah tangannya dengan ceria, melaju di ruangan yang cukup hanya tiga orang saja. Pukul sembilan malam, belum terlalu larut, cahaya bulan mulai terasa lembut memasuki celah-celah kayu tempat kami berada, udara segar hutan ini juga tetap terasa.
Aku membantu Mira membaringkan badannya di kasur.
Arin gesit menyalip Mira, ia terlihat cemburu dengan Mira karena aku lebih perhatian padanya. Tentu saja aku melakukan hal ini karena melihat pengalaman sebelumnya yang hampir membuatnya tewas disergap para monster, setidaknya aku harus memberi perhatian lebih padanya. Tapi Arin sedikit berbeda mengartikannya dan sangat terlihat di wajahnya kecemburuan yang begitu jelas itu. kalau saja aku lebih riang, aku akan menceletuk,
"Salip lagi yang ada disana itu Mira! Lebih cepat!" dan tertawa.
Tapi beruntung aku bukan orang gila macam itu. Jika pun ia membalas, Maka Mira akan balas tertawa dan berkata,
"Tapi jangan bilang dia ya kalau aku ngebut menyalipnya diam-diam".