Tujuan kami merupakan daerah pesisir di sebelah ujung benua, setelah mengurus wilayah dan banyak dokumen merepotkan sebelumnya, aku mengetahui bahwa sebenarnya dunia ini terdiri dari empat benua yang sangat besar. Terdiri dari benua timur, benua barat, benua selatan dan benua utara. Benua yang saat ini kami injak adalah benua timur, kami berdua berencana bertualang sampai benua selanjutnya yaitu benua utara. Perjalanan ke benua ini merupakan yang terdekat dan ternyaman diantara benua yang lainnya. Karena itu aku memilihnya.
"apa tidurmu nyenyak?" aku bertanya karena melihat kantung mata Arin yang kurasa seperti panda.
"hehe, saking semangatnya aku jadi gabisa tidur semalam" ia menjawab dengan sangat ceria dan seolah bertemu kekasih lamanya.
"kamu ini.. kan aku bilang istirahat yang cukup"
"walau kamu bilang begitu pun susah buat aku untuk tidur semalam tau" ia tampak sedikit murung karena dia tau arah pandangan mataku menuju kantung matanya yang seperti panda.
"yauda kita berangkat ya"
"iya" ia menjulurkan tangannya seolah tahu aku akan menggendongnya, yah tentu saja.
Hampir seharian kami terbang, hanya hamparan hutan hijau yang lebat saja sedari tadi yang kami lihat. Tak ada tanda-tanda pemukiman penduduk, hanya beberapa monster dan hewan besar yang terlihat. Perjalanan yang ditempuh dari pagi tadi hingga sampai sekarang hampir petang cukup membuatku gelisah karena tidak ada area untuk berkemah, tapi akhirnya kami mulai keluar dari wilayah hutan dan menemukan wilayah padang rumput luas yang ditumbuhi bunga-bunga indah seperti saat pertama kali aku datang ke dunia ini. Kami memutuskan bermalam disini.
"makanan tibaaa" arin menyiapkan makan malam dengan ceria pada perjalanan pertamanya. Ia tampak berbeda setelah melepas dokumen-dokumen merepotkan yang harus dia urus sebelumnya.
"hohooo, ini makanan pertama saat bertualang yang aku makan setelah 2 tahun, aku yang selalu pingsan karena kehabisan daya sihir, sungguh kenangan pahit."
"hahaha aku jadi inget selalu gendong kamu dulu pas awal-awal bikin bangunan" ia tertawa dan tersenyum dengan bahagia.
"udah cukuppppp, aku malu.." aku menutup mulutnya dengan tanganku. Yah tentu ini juga hal bagus karena bisa melihatnya tertawa dan tersenyum sebahagia ini.
Ia mencoba melawan dan melepas tanganku dari mulutnya "wleeee".
"Apa aku cium saja tadi ya" aku menggerutu di belakangnya.
Kami pun makan dan langsung istirahat saat itu juga.
Penat yang kurasakan selama perjalanan terbayar dengan nyaman karena kasur lembut yang kuciptakan, waktu yang ingin kuhabiskan berdua dengan Arin akhirnya tiba setelah dua tahun lebih lamanya.
Setelah pisah ranjang karena tak enak dengannya dua tahun lebih ini akhirnya terbayar karena saat ini kami satu ranjang kembali.
"(Aku hampir lupa akan keindahan tubuhnya dan harum darinya. Apa selama ini aku tidak pernah sekalipun memikirkan hal selain bisnis saja? Sialnya diriku, padahal ada wanita secantik ini yang selalu membantuku tapi tak pernah sekalipun aku memahami perasaannya. Apa sekarang aku peluk saja? Ngga ngga… mana bisa begitu, setelah dua tahun lebih pisah ranjang aku takut ia jadi merasa aneh dan kurang nyaman bila seranjang denganku lagi)".
.
.
.
"(Bodo ah, mending tidur saja)"
2 jam berlalu begitu saja tanpa terjadi sesuatu. Arin sesekali menggerutu karena tidak dipeluk olehku, tapi tentu aku tidak bisa mendengarnya karena suaranya terlalu pelan. Setengah jam lagi berlalu dalam lengang, akupun sedikit merasa bosan, aku memutar musik melalui smartphone yang kuciptakan. Arin tak tahu benda apa ini sebenarnya, aku hanya mengada-ngada saat menjelaskannya sebagai bagian dari sihirku.
"itu suara lagu darimana?" arin berbalik dan menatapku penasaran.
"dari sini, lagu keluar dari sini, bisa dibilang ini alat sihir, Rin" aku menjawab santai, menatap balik matanya.
"terinspirasi dari lagu-lagu ini. Sekarang hampir setiap musik yang aku mainkan bermula dari sini, apa kamu penasaran?"
Tanpa disadari nima dan arin saling tatap. Denyut jantung mereka berdua mulai meningkat. Wajah mereka tampak malu namun saling menginginkan diantara keduanya.
"mau aku putar lagu galau atau Bahagia? Kamu suka yang mana?" aku bertanya agar mendukung suasana.
"mmmm, coba lagu galau deh"
Aku pun memutar lagunya, ketika aku melihat smartphone dan mengatur lagu sesuai keinginannya. Diam-diam kemudian arin mendekat memelukku tanpa aba-aba, seperti biasa, dari samping bisa kurasakan tubuh lembutnya. Harum yang keluar dari tubuhnya pun memiliki kesan manis dan manja. Aku hanya diam, menerima begitu saja dan mengiyakan.
"udah lama ngga begini, maklumin ya, aku rindu dengan hangat tubuhmu.. udah 2 tahun soalnya" ia berbicara sambil memejamkan matanya. Lalu kepalanya masuk disela-sela ketiakku dan lanjut memelukku.
"ah iya iya" aku mengusap kepalanya dan tidur sampai pagi tiba. Tanpa terjadi apa-apa tentunya. KALIAN JANGAN MIKIR YANG ENGGAK-ENGGAK.
Hujan turun deras di luar. Suara petir terdengar susul-menyusul, angin kencang berkesiur. Udara terasa lembap dan dingin. Cuaca dunia lain memang sangat perngertian seperti dugaanku. Angin terasa ingin menerbangkan tempat istirahat kami yang cukup sederhana itu. Bunga-bunga indah diluar seakan meminta pertolongan dengan daunnya yang melambai-lambai diterpa badai kencang malam ini. Tapi kami tertidur tak menghiraukan apa yang sedang mereka perjuangkan diluar dan mengabaikannya. Sungguh suasana malam saat bertualang yang sangat kurindukan.
Sisa hujan sepanjang malam sudah menguap di tanah tempat tumbuhan berada, air yang turun terserap sempurna dan hanya menyisakan embun di dahan tanaman saja serta di atap rumah sederhana. Sementara di depan rumah tanaman mulai menari dibawah sinar mentari.
Arin bilang nanti dia yang masak. Aku mengangguk, lalu kembali memeluk tubuhnya yang lembut itu diatas kasur selama beberapa menit. Setelahnya aku berlari-lari di rumput halaman, membuka pintu depan, berteriak mengucap salam pada alam, suara angin dan burung terdengar menjawab dari sekitar menyiyakan. Sungguh indah memang dunia ini, apa aku tinggal disini saja? Haha.
Aku naik dan terbang ke udara, menuju kamarku lalu ke ruang makan, melempar bunga merah, kuning dan putih sembarangan ke atas kasur. Arin yang sedang memasak di dapur meneriakiku agar bergegas ganti baju, makan siang, dan bersiap-siap. Pukul duabelas kami harus segera berangkat kembali. Aku balas berteriak, "Siap, Ma!" Aku tertawa riang.
Jalan bersama arin memang selalu menyenangkan.
"maaaa? M-maaaa kamu bilang?" ia berteriak, merona seperti mawar, menyala seperti lampu, berwarna merah dan indah.
Hal pertama yang kulakukan kemudian adalah melongok kesana kemari. Ini aneh sekali, biasanya dua katanaku sudah riang menyambut saat aku masuk ke dalam rumah. Tapi tadi yang kulihat dari balik pintu hanya si juru masak cantik yang tengah merona. Mereka berdua tidak kelihatan sama sekali.
"kamu lihat si hitam dan si putih ngga, rin?"
"S-si-si Hitam seperti biasa kutaruh di bawah Kasur." Arin menjawab kikuk, masih dengan keadaan dan kondisi yang sama seperti sebelumnya. Merah pipinya jelas terlihat dan itu menandakan ia memang sedang malu. Apa aku coba lagi untuk menggodanya ya? Senang sekali melihatnya.