Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Jinjang

🇮🇩Miyo_7
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3.2k
Views
Synopsis
Tak seorang pun tahu sisi lain kehidupan Adipati Wira. Yang mereka tahu Wira hanyalah pemuda usil dengan segala tingkah tak bisa diamnya. Di kala gelap menaungi bumi, di situlah Wira berjibaku dengan hal-hal di luar akal sehat manusia. Jinjang menurut KBBI : 1 pemimpin atau ketua (golongan, hantu, dan sebagainya); 2 dukun yang menguasai hantu; 3 badan atau orang yang kemasukan setan; 4 orang yang menemani utusan raja;
VIEW MORE

Chapter 1 - Kesia-siaan

Kala mentari di atas punggung gunung, seorang pemuda bergeming di depan jalan setapak menuju hutan belukar. Hatinya bimbang dengan keputusannya untuk mencari suatu jalan pintas menuju keberhasilan. Sebuah tas ransel tak terlalu besar menggantung di punggung. Konon, di dalam sana ada seseorang yang ahli dalam memberi solusi suatu masalah rumit menjadi sepele. Demi seorang gadis yang ingin ditaklukan hatinya, ia rela mengejar sesuatu yang tidak pasti ke dalam sana. Sudah menjadi kebiasaan di suatu koloni, jika ada gadis menarik lawan jenis lebih dari satu, ah, mungkin lebih, bisa dipastikan sang gadis memilih yang lebih mumpuni. Sayangnya ia terlahir kurang beruntung.

Jika dibandingkan yang lain tentu dia merasa tidak ada artinya. Dia hanya berstatus sebagai guru honorer di sekolah menengah atas di daerahnya. Meski sekolah itu termasuk yang paling bagus, namun apa dikata, sekolah di desa gaji guru tak sebagus di kota. Apalagi hanya guru honorer sepertinya. Ditambah tinggi badan yang tak mendukung, tinggi badannya hanya 168 cm. Kulit agak coklat khas pemuda desa. Mata sedikit ke dalam, dengan alis lurus sedikit naik di bagian ujungnya.

"Apta!"

Seruan pemuda lain mengalihkan pandangan pemuda berambut hitam legam dari jalan setapak di depannya ke arah samping. Dilihatnya pemuda itu menghampirinya. Pemuda yang kira-kira 10 sentimeter lebih tinggi darinya. Kulit cenderung putih, rahang kokoh menghiasi wajah ovalnya. Alis tebal, bibir sedikit berisi, hidung mancung, dan satu cekungan di pipi kanan saat tersenyum membuat pemuda itu terlihat menawan. Tipe pria digilai wanita. Namun sayang pemuda berstatus sahabat itu tak jauh berbeda darinya, dalam urusan asmara tentunya.

Urusan materi dia bukan dari keluarga biasa. Ayahnya seorang Kepala Desa, sawahnya luas. Bisa dibilang hidupnya lebih dari cukup, akan tetapi cintanya juga tak bersambut sang pujaan hati. Mereka tidak mencintai gadis yang sama seperti di sinetron kebanyakan yang suka bersaing memperebutkan seorang gadis. Mereka berdua berteman semenjak masih kecil. Rumah bersebelahan, hanya dibatasi pagar perdu yang mengelilingi rumah Kepala Desa.

"Hai, Wira!" Pemuda yang dipanggil Apta melambaikan tangan dan tersenyum melihat sahabatnya berlari kecil menghampirinya.

"Mau ke mana?"

Apta tak langsung menjawab pertanyaan Wira, namun arah pandangnya tertuju pada jalan setapak di depannya.

Pupil berwarna coklat melebar. "SERIUS!?" pemuda bernama Adipati Wira spontan berteriak dan dihadiahi sebuah geplakan sayang di belakang kepala dari Apta. "Tapi ini berbahaya, Apta!"

Menghela napas, bibir sedikit berisi bergumam, "Aku juga ragu, tapi ...." Dahi berkerut, masih menimbang ragu. Bukankah keputusannya terdengar di luar logika?

"Aku ikut!"

Kepala berambut cepak spontan menoleh ke arah sahabatnya. Apa katanya, "Ikut?" Kalau terjadi sesuatu bagaimana? Ia juga tak menjamin yang di depan sana aman. "Tidak boleh!" Menggeleng, Apta menolak untuk melibatkan sahabatnya. Namun tanpa persetujuannya, sahabatnya malah menyeretnya menapaki jalan setapak di depan mereka. Jalan setapak yang dipercayai sebagai jalan menuju kebahagiaan. Kebahagiaan semu yang ingin didapatkan dengan cara yang tak seharusnya.

***

Hampir satu jam lamanya berjalan tak tentu arah, mereka akhirnya sampai di tengah hutan. Medan yang dilalui mulai berubah, pepohonan pun lebih rapat dari sebelumnya. Meski sedikit terjal dengan beberapa jalan menanjak yang tak terlalu tinggi, serta semak belukar yang terlihat renggang di bagian lereng, namun tidak terlalu sulit untuk dilalui. Mereka harus berpacu dengan waktu untuk menemukannya sebelum menjelang gelap. Menemukan seseorang yang dipercayai sebagai orang yang mampu bekerja sama dengan makhluk dunia lain. Makhluk dengan segala tipu muslihatnya, iblis bernama jin.

"Wira, apa menariknya Ata?"

Tungkai Wira terhenti, satu tangan memegang sebuah pohon kecil, menoleh ke belakang, menatap sang sahabat yang masih setia mengikutinya. Ata adalah panggilan gadis yang disukai Wira. Nama lengkapnya Anantari Putri, tapi keluarganya memanggil gadis itu Ata. Penduduk sekitar pun memanggilnya Ata, gadis pendiam, jika tidak terlalu kenal. Namun sangat cerewet, jika sudah mengenal dengan baik. Masih SMA kelas tiga akhir. Penampilannya sederhana khas gadis desa. Dan karena kacamata minusnya membuatnya terlihat kurang menarik. Tingginya 155 cm, kulitnya kuning langsat, rambut hitam panjang sedikit bergelombang, mata bulat, hidung dan bibir mungil. Seandainya Apta mau memperhatikan dengan jeli, dibalik kacamata minusnya wajahnya termasuk manis. Sayang, sahabatnya itu terlalu terfokus pada kembang desa yang di elu-elukan masyarakat desa bernama Kirani. Hanya karena Kirani berpenampilan lebih menarik dari Ata.

Bibir tipis Wira tersenyum. Pandangan kembali ke depan. "Kamu tidak mengerti seberapa menariknya Ata bagiku." Melanjutkan langkah, pikiran menggambarkan sang gadis pujaan. "Dia itu polos, baik, manis dan juga peka terhadap lingkungan sekitarnya." Suara gemericik air terdengar. Langkah kaki kembali terhenti. Sepasang mata kecoklatan terpaku pada aliran sungai yang tidak terlalu deras di depan sana. Airnya sangat jernih, sebuah batu besar teronggok di pinggiran sungai. Melangkah tergesa menuju aliran sungai, pemuda berperawakan jangkung itu tak sabaran ingin merasakan sejuknya air pegunungan.

Sang sahabat mengekor. Melepas alas kaki, berjalan ke bagian dangkal berbatu kerikil, kesejukan terasa hingga ke ubun-ubun. Mata kelam Apta menyapu sekitaran sungai. Suasana terlihat lengang dan sedikit meremang, berarti sebentar lagi akan gelap.

"Kita sudah berjalan terlalu lama, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaanya." Membuang napas , Wira menatap sang sahabat. Tubuhnya berbalik, berjalan gontai menuju batu besar satu-satunya di area sungai. Duduk di atas batu, tubuh sedikit condong ke belakang. Dua telapak tangan terbuka, menapak batu, menumpu tubuh bagian atas.

Meninggalkan aliran sungai, Apta berbalik menghampiri Wira. Tangan terulur membantu sang sahabat turun dari atas batu. Meski tak terlalu tinggi, namun kebiasaan saling membantu dalam hal-hal kecil membuatnya reflek mengulurkan tangan untuk tumpuan tubuh jangkung sahabatnya agar tidak terjatuh. "Sebaiknya kita pulang saja, hari mulai gelap."

Menyambut uluran tangan di depannya, satu cekungan di pipi kanan terlihat jelas akibat sudut bibir terangkat tinggi. Sahabatnya manis sekali, tapi di umurnya yang menginjak 24 tahun masih sendiri. Padahal pemuda di depannya ini lumayan tampan, dan bertanggung jawab. Kemana gerangan para gadis desa, tak adakah yang tertarik padanya, atau memang ada yang tertarik hanya saja Apta tak peduli?

Baru saja kaki menapak bumi, rasa melilit dalam perut harus menunda kepulangan mereka. "Apta, perutku mulas!" Memasang wajah masam menahan sakit, tubuh jangkung berbalik. "Aku harus memenuhi panggilan alam, jangan mengintip!" Wira tergesa-gesa berlari kecil menuju bagian sungai yang dangkal. Gerakannya terhenti saat akan membuka celana yang dikenakan, karena melihat sahabatnya tak mengalihkan pandangan darinya. Sepasang mata coklatnya menatap tajam Apta yang masih saja melihat pergerakannya.

"Apa!? Biasa juga kita mandi bersama!" teriak Apta acuh. Ya, dia memang mengatakan hal yang sebenarnya. Mereka suka mandi bersama di sungai tak jauh dari area persawahan keluarga Wira saat masih kecil dulu. Apa bedanya dengan sekarang, toh, mereka sesama pria.

Gemas dengan tingkah sahabatnya, Wira meraih batu kecil dengan asal, kemudian melemparkan ke arah sahabatnya. "Jangan mengintip!"

Apta tergelak, kemudian mengerling jahil ke arah Wira. Tidak ingin menambah lama waktu berdiam di tempat ini, akhirnya ia berbalik memunggungi sang sahabat.

Suara gemericik aliran sungai, nyanyian serangga terdengar mengganggu tanpa adanya suara dari sahabatnya. "Wira!" memanggil dengan sedikit nada tinggi, pemuda berkulit coklat mencoba menghalau suasana mencekam di sekitarnya.

Hening ….

Tiada sahutan dari arah belakang punggungnya. "Wira!" Rasa khawatir mulai merasuki pikiran, ketika hanya keheningan yang menyahut panggilan. Tubuhnya pun berbalik, memastikan sang sahabat masih di tempatnya. Tidak peduli jika nanti Wira mengamuk, asalkan hasrat keingintahuannya terpenuhi. Nahas … Saat pandanganya terarah ke tempat Wira terakhir berada, tak ada siapa pun di sana. Pandangan menyapu ke sekeliling area sungai, akan tetapi sejauh mata memandang tak ada siluet seorang Wira di mana pun.

Berjalan cepat menyusuri pinggiran sungai beberapa meter dari tempat semula, namun pencariannya tiada hasil. Bagaimana bisa tubuh jangkung sahabatnya bisa raib dalam sekejap. Terbawa arus sungai pun tak mungkin. Aliran sungai tak cukup mampu membawa tubuh sebesar itu!

Perlahan kabut tipis mulai muncul memberi batas jarak pandang. Hati Apta makin kalut. "WIRA! JANGAN BERCANDA!" Kembali berjalan ke arah tempat semula, perlahan siluet tubuh jangkung mulai nampak.

Tersenyum lega, Apta menghampiri siluet di depan sana. "Wira!" Namun langkahnya harus terhenti ketika jarak menyisakan kurang dari lima meter dari keberadaan siluet di depannya. Perlahan kakinya melangkah mundur, menjauh dari siluet yang ia yakini bukan sosok sahabatnya. Mana mungkin sahabatnya memiliki bentuk kepala yang terlihat sangat janggal.

Meski langkah kakinya perlahan, namun suara bebatuan kecil di bawah telapak kakinya yang beradu membuat sosok di depannya terlihat terganggu. Perlahan tubuh di depannya berbalik. Jantung berdegup ingin lompat dari tempatnya. Pupil membesar ketika penampakkan di depannya terlihat jelas. Tanpa tedeng aling-aling, Apta bergegas meninggalkan tempat itu tanpa memperdulikan barang bawaannya, maupun kakinya yang berlari tanpa alas kaki memasuki hutan yang kian jauh masuk, tempat itu kian menggelap.