Meski jarak pandang terhalang kabut, namun tak membuat pemuda berperawakan sedang itu putus asa mencari siluet sahabat. Rasa leganya datang saat samar siluet seseorang terlihat. Berjalan menghampiri, langkah kaki terhenti ketika jarak pandang memadai. Rasa janggal pun terlihat nyata.
Ketika siluet di depannya berbalik, rasa takut mulai membayangi. Seumur hidup, ini kali pertama Apta melihat sesuatu yang mengerikan. Kepala makhluk di depannya berbentuk seperti kepala babi hutan, taring besarnya menyembul di antara moncongnya. Mata merahnya berkilat tajam memandang Apta bagai mangsa menggiurkan.
Merasa terancam, tanpa peduli belum memakai alas kaki, maupun memperdulikan barang bawaannya Apta segera berbalik,dan berlari menuju jalan yang dilaluinya sebelum tiba di sungai. Bermodalkan insting, ia berusaha mencari jalan keluar dari hutan. Ternyata tidak mudah, jika hanya mengandalkan insting saja. Semakin berlari ke dalam hutan, kegelapan semakin nampak nyata. Sialnya karena tidak ada penerangan, kaki telanjangnya menginjak sesuatu yang tajam. "Argh!" Merasakan sakit secara tiba-tiba di telapak kaki, membuat badan Apta oleng dan medan menurun di sampingnya dapat ditempuh dengan waktu per sekian detik. Meski tidak terlalu tinggi, namun cukup membuatnya merasakan ngilu di bagian punggung. Ia juga merasakan perih mendera wajahnya. Mungkin beberapa ranting kecil dan kerikil menyapa beberapa bagian wajahnya saat meluncur bebas ke bawah.
Terdiam sejenak, mengembalikan sedikit rasa nyaman di tubuhnya, Apta berbaring terlentang. Sedikit mengatur napas, pandangannya tidak lepas dari keadaan sekitarnya. Matanya mengerjap mencoba membiasakan kegelapan, berharap ia dapat melihat meski hanya satu meter jauhnya. Namun tetap saja pandangannya tidak berfungsi dengan baik dalam kegelapan. Memejamkan mata, ia berharap ini hanyalah halusinasinya saja, namun rasa sakit yang mendera menyadarkannya bahwa ini bukanlah sebuah ilusi.
"Apta."
Kelopak mata terbuka ketika suara lembut seorang wanita menyapa gendang telinga. Suara yang dikenalnya dengan baik. Benar saja, seorang gadis berdiri di sampingnya dengan wajah khawatir. Tangan kirinya membawa lampu petromaks kecil. Gadis itu adalah gadis pujaan hatinya, Kirani. Gadis itu terlihat mengulurkan tangan ke arahnya. Meraih tangan sang gadis di samping tubuhnya, tanpa kendala yang berarti, tubuhnya terangkat dengan mudahnya, seakan berat tubuhnya tidaklah membebani gadis berambut hitam panjang itu. Sebelah kakinya sengaja ia pijakkan hanya bagian depannya saja karena bagian telapak belakang terasa sakit akibat luka tusukan.
"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?"
Menggeleng, kepala menunduk, memastikan kaki gadis di depannya menapak bumi. Ia takut jika Kirani di depannya bukanlah Kirani. Pasalnya untuk apa seorang gadis dengan sebuah lampu petromaks memasuki hutan di saat gelap? "Apa yang kamu lakukan di tengah hutan di waktu seperti ini?" tanya Apta penasaran.
"Tadi kucing peliharaanku berlari ke arah hutan, jadi aku mengikutinya hingga ke tengah hutan, tapi aku kehilangan jejaknya dan aku baru sadar telah tersesat beberapa saat yang lalu." Melingkarkan tangan ke pinggang Apta, dibiarkan tubuhnya menjadi tumpuan bagi pemuda di sampingnya.
Menarik tangannya yang terjepit di antara tubuhnya dan juga tubuh Kirani, kemudian melingkarkannya ke bahu gadis di sampingnya. Satu tangan lainnya mengambil lampu petromak dari tangan sang gadis.
Ke-duanya berjalan dengan hati-hati. Meski sebagian berat badan Apta bertumpu pada Kirani, sepertinya hal itu tak membuat gadis itu kesulitan berjalan. Seolah badan Apta bukanlah sesuatu yang memberatkan gadis itu, langkah Kirani terasa ringan saja.
Selang beberapa saat berjalan, mereka menemukan sebuah pondok dari anyaman bambu. Karena keadaan Apta tak memungkinkan untuk berjalan jauh, akhirnya mereka memutuskan untuk menghampiri pondok tersebut.
Mengetuk pintu yang terbuat dari kayu, bibir bergincu merah mengucapkan salam, berjaga-jaga jikalau pondok tersebut berpenghuni, karena terlihat dari sekelilingnya yang terawat, serta cahaya obor yang berjajar di kanan kiri jalan menuju pondok. Beberapa kali Kirani mengetuk pintu, akan tetapi tak jua mendapat jawaban dari si empunya pondok. Merasa terlalu lama menunggu, Kirani mencoba membuka pintu di depannya yang ternyata tidak terkunci.
Saat pertama masuk yang terlihat di ruangan itu hanya sebuah dipan terbuat dari bambu dengan posisi hampir menyentuh dinding pondok. Berjalan menuntun Apta menuju dipan dan mendudukkannya di sana, gadis bergaun merah berjongkok di depan Apta, memeriksa luka di telapak kaki sang pemuda. Sesekali gadis itu mengernyitkan dahi tanda sedang berpikir. Tidak terlalu dalam, tapi cukup untuk membuat Apta sulit berjalan karena tempat luka tersebut berada di telapak kaki. "Sepertinya luka ini cukup membuatmu kesulitan berjalan. Aku akan memeriksa rumah ini. Siapa tahu aku menemukan sesuatu untuk mengobati lukamu."
Gambaran kekhawatiran di wajah ayu Kirani membuat Apta tersenyum tipis. Rasa sukanya kini bertambah lagi melihat pemandangan itu. "Terimakasih," ucapnya tulus.
Mendongak, pipi perlahan merona merah muda. Pandangan memuja yang terlihat di mata pemuda berstatus tetangga membuatnya malu. "Tunggu sebentar di sini." Beranjak dari tempatnya, Kirani berjalan memasuki ruangan lain mencari sesuatu di dalam pondok untuk mengurus luka di kaki Apta.
Sepeninggal Kirani, pandangan Apta bergulir mengabsen ruangan peristirahatannya saat ini. Hanya ada sebuah lampu teplok yang bertengger di celah-celah anyaman bambu di samping kanannya. Meski cahayanya tidaklah terlalu terang, tapi cukup untuk membantu penglihatan. Saat pandangannya tertuju ke arah pintu yang belum sempat ditutup Kirani, ia sedikit terkejut. Pasalnya di ambang pintu, ia melihat siluet sang sahabat dalam keadaan kacau dengan sebuah senter di tangan. Rambut acak-acakan, kaos putih yang dikenakannya sedikit kotor. Tas ransel miliknya bertengger di bahu. Akhirnya, ia bertemu dengan Wira. "Wiー"
Jari telunjuk menekan bibir. "Ssst!"
Bibir Apta terkatup. Kening berkerut dalam. Untuk apa ia harus diam. Meski tak mengerti, ia tetap menuruti sahabatnya.
Berjalan sedikit berjingkat, Wira menghampiri dipan, menyerahkan senter yang dibawanya pada Apta. Tubuhnya berbalik, memindahkan posisi tas ransel ke depan dadanya, kemudian berjongkok di depan sahabatnya. "Naiklah, percayalah padaku."
Meski sedikit berbisik, tapi masih bisa didengarnya. "Tapi, aku bersama Kirani. Bagaimana dengannya?"
Menoleh ke belakang, menatap tajam sahabat yang menurutnya bodoh. Cinta memang kadang sering mematahkan logika. "Naik saja sialan! Apa sulitnya percaya pada sahabatmu!"
Sedikit terkejut dengan umpatan Wira, Apta menuruti kemauan sang sahabat. Melingkarkan kedua tangannya di leher Wira, berat badannya bertumpu pada punggung yang terasa kokoh.
Begitu tubuh Apta berada dalam gendongannya, Wira bergegas menuju ke arah pintu keluar, meninggalkan pondok tersebut. Namun, baru beberapa langkah kakinya keluar dari pondok, gadis yang sebelumnya bersama sahabatnya menyadari kepergiannya lalu mengejar di belakang.
"Mau dibawa ke mana Aptaku?!"
Menulikan pendengaran, tungkai Wira tetap melangkah dengan sedikit mempercepat laju kakinya.
Mendengar seruan itu, membuat Apta penasaran. Kepala berputar hingga pandangannya bertemu dengan sepasang mata merah pekat. Alangkah terkejutnya ia saat melihat gadis pujaan hatinya menampilkan wajah garang, tanda amarah sedang menguasai. Mungkin gadis itu hanya halusinasi makhluk jejadian yang terlihat nyata di matanya.
"Kamu melihatnya?"
Pertanyaan Wira mengalihkan perhatian Apta dari gadis di belakang punggungnya. "Siapa gadis itu?" tanyanya heran. Bagaimana bisa Wira tahu bahwa gadis yang ia kenali sebagai Kirani itu hanya makhluk jejadian? Untuk memastikan penglihatannya, Apta kembali menengok ke belakang.
"Diamlah! Dan jangan menengok ke belakang lagi! Kalau perlu tutup rapat matamu, sialan!" ujar Wira kesal. Pasalnya saat Apta menoleh ke belakang, ia menjadi kesulitan menyeimbangkan tubuhnya akibat pergerakan sahabatnya itu.
Plak!
Satu geplakan di samping kepala dihadiahkan. Apta kesal akan celotehan sahabatnya.
Pergerakan pemuda di punggungnya, membuat tubuh Wira hampir oleng. "Apa masalahmu, hah?!"
"Kamu menyebutku sialan beberapa kali! Kalau aku menutup mata, bagaimana aku bisa memberi penerangan untuk membantumu berjalan!?"
"Hentikan perdebatan ini! kau membuatku membuang-buang energi dan turuti perintahku untuk saat ini!"
Mendengkus, bibir mengerucut. Meski kesal, namun disisi lain ia merasa bahagia akan perhatian sahabatnya. Demi mempermudah jalan kepulangan mereka, sebisa mungkin ia menulikan pendengaran, ketika suara lembut yang menyerupai suara pujaan hatinya terus memanggilnya di belakang sana. Meski suara itu penuh dengan keputus asaan Ia tak peduli.
Langkah Wira mulai melambat setelah berjalan cukup lama.
"Apakah kamu lelah?"
Menghentikan langkahnya sejenak. "Tidak!" Wira kembali melanjutkan langkahnya dan tak berapa lama kemudian, cahaya kecil dari lampu rumah warga mulai terlihat.
Setelah melanjutkan perjalanan kurang lebih sepuluh menit, barulah pemukiman warga mulai terlihat jelas. Terlalu banyak menguras energi membuat tubuh jangkungnya lelah. Dalam pikirannya hanya satu hal yang terlintas. Rumah kerabat terdekat menjadi tujuan. Jika harus pulang, ia sudah tidak sanggup berjalan lebih jauh lagi. "Assalamu'alaikum." dengan suara bergetar, Wira memberi salam. Sejenak pemuda itu mengatur napas sambil menunggu sang empunya rumah membukakan pintu.
"Wa'alaikumussalam," jawab pemilik rumah, disusul suara langkah kaki terdengar menghampiri pintu.
Sesosok gadis manis terlihat begitu pintu di depan Wira terbuka. Gadis itu terlihat syok melihat keadaannya.
"Masya Allah Mas Wira, Pak Apta!"
"Ta, bisa Mas masuk?"
Sang gadis bergeser, memberi jalan masuk.
Menghampiri sofa panjang di seberang sofa depan jendela, Wira mendudukkan Apta. Melepaskan tas ransel yang dibawanya, lalu terduduk lunglai di sebelah sahabatnya.
Gadis bernama Anantari itu terkejut melihat keadaan Apta yang lebih mengenaskan dari Wira. Buru-buru gadis itu menghampiri kedua pemuda tersebut, lebih tepatnya Apta, dan meneliti setiap bagian-bagian tubuh pemuda berstatus guru di sekolahnya yang terluka.
"Ata, bisa tolong Mas?" Dengan mata terpejam, Wira berusaha berbicara dengan jelas agar ia tidak mengulangi ucapannya.
"Apa Mas?"
Membuka mata perlahan. "Tolong urusi Apta sebisamu, ya? Mas lelah." Bangkit dari sisi Apta, Wira berpindah ke sofa di seberangnya. Menyandarkan tubuh lelahnya, sepasang pupilnya tenggelam terhalang kelopak mata.
Sedangkan gadis yang biasa dipanggil Ata bergegas menuju dapur menyiapkan air hangat di sebuah baskom besar, menyiapkan air hangat, kemudian bergegas kembali ke ruang tamu dan meletakan baskom berisi air hangat ke atas meja kaca. Gadis itu kembali berlalu dari ruang tamu menuju kamarnya untuk mengambil bantal, handuk kecil, kotak P3K, dan juga selimut.
Setelah barang yang kira-kira dibutuhkan telah berada dalam dekapan, Ata kembali ke ruang tamu. Meletakkan bantal di ujung sofa panjang, kemudian membantu merebahkan tubuh Apta. Dengan telaten, ia mulai membersihkan wajah penuh luka goresan.
Sebenarnya sedari gadis pujaan kembali ke ruang tamu, sepasang mata kecoklatan sudah memperhatikan kegiatan di depan sana. Ada rasa cemburu saat tangan mungil gadis itu dengan susah payah membuka kemeja Apta. Namun, sebisa mungkin ia menekan rasa itu dalam-dalam. Saat seperti ini bukanlah waktu yang tepat untuk mencemburui sahabatnya. Melihat sahabatnya tak berdaya seperti itu saja sudah membuat dadanya sesak.
Ata mengolesi bagian-bagian luka Apta dengan antiseptik dan salep. Setelah selesai mengobati pemuda itu, ia membereskan perlengkapan yang digunakan untuk mengobati. Gadis itu bermaksud untuk membantu Wira, namun saat matanya tertuju ke arah pemuda itu, gadis itu dikejutkan dengan tatapan sang pemuda yang tak lepas darinya.
"Ma-Mas Wira, mau Ata bantu obatin lukanya?"
Bibir pucat tersenyum. Ia tahu pasti gadis di depannya itu pasti merasa salah tingkah karena ulahnya. Menghela napas, Wira bangkit dari duduknya. "Tidak usah, Mas tidak terluka sama sekali. Ambilkan baju kakakmu saja, ya? Mas mau mandi. Sekalian pinjamkan untuk Apta. Meski sudah ada selimut yang menutupi tubuhnya, tapi Mas rasa itu kurang nyaman."
Melangkah menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur, Wira terlihat sangat hafal tata letak rumah yang didatanginya. Itu karena jika ada waktu senggang, ia akan berkunjung menemani sang ratu rumah tangga, atau sekedar bermain dengan kakak dari Ata sebelum menikah. Meski usia mereka terpaut tiga tahun, mereka berteman dengan baik. Bukan hanya berteman, tapi mereka masih saudara sepupu.
Tok tok tok!
"Mas Wira, ini baju dan handuknya!"
"Tunggu sebentar!" membuka sedikit pintu kamar mandi, tangan terulur menerima benda yang dibawa sang adik sepupu.
Ata bergeming meski barang di tangan sudah berpindah tempat. Rasa tak enak hati merasuki pikiran. Menatap sejenak pintu tertutup di depannya, tubuhnya berbalik melangkah.
"Ata!"
Langkah kaki terhenti. "Ya, Mas?"
"Kamu tidur saja, sudah malam. Besok kamu sekolah. Nanti biar Mas yang urus Apta. Mas menginap saja, nanti Mas tidur di kamar Mas Heru, sama Apta."
Ata ingin menolak. Ia merasa tidak nyaman dengan usul kakak sepupunya itu. Ia takut meski masih saudara sepupu, tapi tetap saja di rumah itu hanya ada dirinya. Kedua orangtuanya sedang menjenguk kakak iparnya yang melahirkan dua hari yang lalu di desa sebelah. Sebenarnya tak masalah baginya seandainya Wira ingin menginap, akan tetapi mulut warga desa kadang tak bersahabat. "Tapi Mas .…" Tersirat kekhawatiran dari suara Ata.
"Tidak usah khawatir."
Sebelum membuka bibirnya kembali untuk protes, pintu di depannya terbuka menampilkan Wira yang penampilannya lebih baik dari sebelumnya.
Tersenyum lebar, tangan besar Wira mengelus pucuk kepala Ata. Dia tahu pasti apa yang dipikirkan gadis manis di depannya. "Biar Mas yang jelasin sama Bapak besok."
Mengangguk pasrah, Ata berbalik meninggalkan Wira seorang diri.
Wira bergegas ke ruang tamu, mengunci pintu utama, kemudian berjalan menuju kamar Heru yang bersebelahan dengan kamar Ata. Membuka pintu lebar-lebar, kembali ke ruang tamu untuk memindahkan Apta yang sudah terlelap ke kamar yang akan ditempatinya dengan cara membopongnya. Ia tak mau membangunkan sahabatnya yang terlelap begitu damainya. Mungkin Apta kelelahan menghadapi hal mengerikan yang baru saja terjadi padanya.
TBC.