Chereads / Jinjang / Chapter 4 - Rival

Chapter 4 - Rival

Lantunan do'a yang terdengar layaknya kalimat-kalimat menyayat hati bagi gadis berusia 17 tahun yang sedari tadi termenung dalam kamar. Rasa bagai mimpi buruk, ia ingin cepat terbangun dan berkumpul dengan keluarganya sesegera mungkin. Namun segala pernyataan ibu Wira serasa menamparnya untuk kembali pada kenyataan. Kenyataan yang baru saja menimpa hidupnya. Ia bukannya harus bangun dari mimpi buruk, akan tetapi harus bangkit dari keterpurukkan.

"Tidak ingin bergabung mendoakan Bunda?"

Gadis berperawakan mungil itu tetap bergeming memandang keluar jendela kamar, mengabaikan suara sang kakak sepupu. Hatinya memerlukan keberanian untuk keluar dan menerima kenyataan jika kedua orangtuanya telah tiada.

Menghampiri meja di samping jendela, mengambil kursi di sana, Wira membawanya ke depan gadis pujaan hatinya. Pemuda itu duduk dengan posisi condong ke depan. Kedua tangannya meraih tangan yang lebih kecil darinya, menggenggamnya lembut di atas pangkuan adik sepupunya itu. "Mas juga tidak rela mereka pergi, tapi segala sesuatunya sudah terjadi. Ini memang sulit, Ata. Mas janji akan melindungimu, menyayangimu sepenuh hati." Wira mencoba tersenyum untuk menghibur gadis di depannya.

"Tapi, Mas …."

Melepaskan genggaman, dengan lembut menghapus jejak-jejak air mata yang menyebabkan mendung di mata bulat gadis di depannya. "Mas yakin kamu bisa, Ata … karena Mas tau kamu anak yang kuat. Tidak apa kamu bersedih saat ini, tapi Mas harap kamu bisa ikhlas agar arwah mereka tenang. Kamu ngerti, Ta? Kamu nggak mau, 'kan, kedua orangtuamu bersedih di sana?" Sebuah senyuman kembali terukir di bibir sedikit berisi milik pemuda berusia dua puluh empat itu saat mendapat anggukan kecil dari Ata. "Beristirahatlah jika kamu lelah." Bangkit menuju jendela kaca berbingkai kayu di kamar adik sepupunya, menutup dua sisi jendela, dilanjutkan dengan gorden. Kakinya melangkah keluar agar tidak mengganggu istirahat gadis itu.

***

Malam kian larut, namun entah mengapa Ata tak jua dapat memejamkan mata. Mungkin ini kali pertama dirinya tidur di tempat asing. Berbagai posisi tidur sudah dicoba, namun tetap nihil. Selimut pun entah sudah lari ke mana. Menghela napas sejenak, tubuhnya bangkit, merangkak di atas tempat tidur. Entah mengapa tiba-tiba udara di sekitarnya menjadi lebih dingin. Ia dapat merasakan embusan angin dari celah-celah lubang jendela kamarnya, padahal jendela terletak sekitar tiga meter dari tempat tidurnya.

Meraih selimut yang tergeletak di atas lantai, meletakkannya kembali ke atas ranjang. Saat menegakkan tubuhnya, pandangannya tak sengaja mengarah ke celah tirai jendela yang sedikit terbuka. Perlahan menuruni ranjang, berjalan menuju jendela untuk membenarkan posisi gorden agar menutupi celah tersebut. Meski celah itu sangatlah kecil, namun Ata dapat merasakan mata tajam dari suatu makhluk entah apa jenisnya, mengganggu setiap pergerakan yang dilakukannya.

Merasa sudah tidak ada celah di jendela, Ata kembali ke ranjang. Berbaring miring memunggungi jendela kamar. Entah mengapa setelah menutup rapat tirai jendelanya, Ata merasa lebih tenang. Perlahan kantuk mendera dan ia tertidur dengan nyaman meski lampu dalam keadaan menyala. Meski biasanya tidak dapat memejamkan mata dalam keadaan terang, tapi entah mengapa ia membutuhkan cahaya untuk malam ini.

Tanpa sepengetahuannya, beberapa makhluk tak kasat mata memperhatikannya dari luar jendela kamarnya. Beberapa di antaranya menaruh minat lebih pada jiwa gadis tersebut.

***

Pagi menjelang, warga desa mulai berlalu lalang melakukan aktivitas rutin mereka. Begitupula dengan keluarga kepala desa. Pagi ini tak seperti pagi biasanya. Kehadiran Ata di rumah itu membuat suasana menjadi lebih ramai. Wira tak henti-hentinya menggoda sang adik sepupu. Ibu rumah tangga sibuk melerai, kepala keluarga sibuk memperhatikan. Sesekali tersenyum kala melihat kelakuan kedua anak muda di depannya. Meski baru kehilangan, namun sebisa mungkin putranya itu menghibur adik sepupunya agar tidak terlalu larut dalam duka.

Kelakuan anaknya yang jahil keluar bila bersama adik sepupunya, tapi bukan berarti ia juga tidak jahil pada orang lain. Ia tahu anak lelakinya selalu kesepian bila berada di rumah, karena dia hanya anak semata wayang. Apalagi sebagai Kepala Desa ia sibuk mengurusi berbagai permasalahan desa. Sang istri sibuk mengawasi persawahan dan para pekerja. Kadang entah apa yang dilakukan pemuda itu kala sendirian.

Setelah selesai sarapan, Ata berpamitan untuk pergi ke sekolah.

Wira mengikuti langkah adik sepupunya saat gadis itu keluar dari ruang makan menuju pintu keluar.

"Pak Apta!" Tersenyum lebar, berlari kecil memutari pagar perdu, memasuki pelataran guru di sekolahnya.

"Pak Apta, Ata boleh nebeng?"

"Boleh."

"Ehem!"

Berjengit kaget, Ata memutar tubuhnya. Ia sedikit terkejut mendapati Wira di belakangnya. Tak sedikit pun keberadaan kakak sepupunya itu disadari olehnya. Menurutnya Wira itu seperti ….

"Pagi-pagi sudah diselingkuhi calon istri."

Iblis!

"Mas tercintamu ini bisa mengantar tuan putri sampai sekolah dengan selamat, kalau perlu ditandu biar nggak kepanasan." menaik-turunkan alis, Wira mulai menggoda gadis di depannya.

Sang korban usil hanya memutar bola mata bosan melihat kelakuan kakak sepupunya yang kelewat kekanakan.

Apta hanya menggelengkan kepala, berlalu dari orang-orang absurd di hadapannya. Menaiki sepeda motornya yang terparkir di depan rumah dan mulai menstarternya.

"Ata, jadi nebengnya? Kalo nggak nanti kutinggal, lho."

Ata menginjak kaki Wira sebelum berlalu menghampiri Apta, meninggalkan kakak sepupunya mengerang kesakitan. Gadis itu bergegas mendudukan dirinya ke atas jok motor dengan posisi duduk menyamping. Tangannya melingkar cantik di pinggang sang guru.

Terbesit rasa cemburu di hati Wira saat melihat pemandangan tersebut.

Apta yang sudah bersiap ingin melajukan motornya mengurungkan niatnya saat sang pujaan hati berjalan di jalan setapak depan rumahnya. "Pagi Rani," menyapa dengan senyum lebar dan dibalas dengan senyuman tak kalah ramah dari gadis bernama Kirani.

"Pagi, Ka Apta." Gadis berperawakan sedang di seberang jalan menimpali.

"Jangan bangun."

Apta sedikit berjengit kaget dan hampir membuat keseimbangannya oleng saat mendengar bisikan lembut dari arah samping.

Ata yang merasakan gerakan dari motor Apta reflek mengeratkan pelukannya di perut Apta karena kaget.

"Apa maksudmu?" Apta ikut berbisik takut suaranya terdengar oleh gadis di belakangnya.

Sedikit membungkuk, Wira memperhatikan tangan yang melingkar di perut Apta. Apta yang merasa diperhatikan mengikuti pergerakan mata Wira. Matanya tertuju pada tangan Ata yang masih setia memeluknya.

"Jangan bangun, dan teruslah bermimpi. Kupastikan itu hanya akan menjadi mimpimu bukan kenyataan."

Apta mendongak mengalihkan pandangannya ke arah sahabatnya. Ternyata Wira sudah tak lagi memperhatikannya, tapi memperhatikan gadis di depan sana yang masih tetap berdiri memperhatikan interaksinya bersama para tetangga.

"Memikirkan sesuatu yang lain, hmm?"

" Ng-nggak, sembarangan kamu!" Wajah Apta berubah merah muda. Entah mengapa perkataan sahabatnya itu tepat sasaran. Setiap kali bertemu Kirani, ia selalu membayangkan bisa berjalan beriringan dengan gadis itu, dengan tangan saling bertaut tentunya.

"Aduh!" Mengelus bagian kepala yang terasa nyeri, Wira menatap adik sepupunya dengan cairan bening menumpuk di ujung mata. "Sakit Tuan Putri."

Wajah berubah muram. Rasa bersalah merasuki hati. Namun bibirnya menyangkal prasangka hati hingga membuatnya tak mampu berucap lembut. "Mas, Ata telat nanti, sekolahnya kan jauh dari sini!"

Meski terlihat cuek dengan keadaannya, namun melihat raut muka yang tergambar jelas di depannya, ia yakin Ata sedang memendam rasa bersalah.

Menunduk, mata terasa panas menahan air mata. "Maaf, Mas."

Mengusap pucuk kepala, rasa marah menyambangi. "Mas nggak pa-pa, kok." Tangan terkepal, rahang mengeras. Sesuatu terjadi pada gadis di depannya dan itu bukanlah sesuatu yang baik. Berani-beraninya makhluk sialan itu mengusik pujaan hatinya. Tidak tahu balas budi rupanya. "Apta, titip Ata, ya?"."

"Siap bos! aku pastikan selamat sampai tujuan. Aku berangkat dulu Wir, nanti telat." Apta melajukan sepeda motornya setelah mendapat anggukan dari Wira. Saat melewati Kirani, ia hanya tersenyum.

Sedangkan Ata menganggukan kepala dan tersenyum manis kala melewati Kirani. Gadis itu tak mengenal Kirani dengan baik. Hanya pernah bertemu beberapa kali dan hanya bertukar senyum saja. Ia juga mendengar selentingan kabar kalau gadis itu banyak yang menyukainya dan menjadi rebutan para laki-laki, baik dari desanya maupun desa lain. Memang benar gadis itu cantik jika tidak ada bekas luka bakar di sebagian wajah gadis itu. Entah apa yang membuat para lelaki begitu ingin mendapatkan gadis itu. Mungkin Kirani memiliki sesuatu yang lebih sampai-sampai banyak yang mengantri memperebutkannya. Entahlah. Ata hanya tahu sebatas itu saja.

Setelah kepergian Apta dan Ata, Wira dan Kirani saling melempar tatapan tajam syarat akan ancaman. Kirani tersenyum mengejek, Wira melipat kedua tangannya di atas perut. Ia tidak akan mundur, meski nyawa taruhannya. Siapa yang takut dengan perempuan seperti Kirani yang menggunakan bantuan orang pintar demi mendapatkan apa yang diinginkan, termasuk menggaet kaum pria.

Gadis berambut hitam legam di pinggir jalan, berlalu dari hadapan Wira. Ia harus menyiapkan kejutan selanjutnya. Ia akan berusaha mendapatkan Apta dengan cara apa pun. Termasuk mengusik adik sepupu kesayangan Wira. Apta harus terlepas dari genggaman Wira. Berbagai rencana telah tersusun rapi di otaknya. Hanya menunggu waktu yang tepat saja.

***

dalam keremangan cahaya lilin yang berada di atas meja sebuah ruangan tidak terlalu luas, seorang gadis berambut hitam panjang sedang membaca berbagai mantra pengasihan. Di depannya terdapat sebuah meja kecil pendek dengan berbagai jenis sesajen. Ini adalah syarat yang harus dilakukannya setiap malam jum'at kliwon. Menurut pamannya yang seorang dukun dari desa sebelah, selain memasang susuk di wajahnya, ia harus melakukan ritual upacara untuk jin pendampingnya. Memberi peliharaanya makan dengan darah segar ayam hitam.

Gadis berkulit putih dengan tinggi 160 cm itu perlahan membuka mata. Sebenarnya gadis bernama Kirani itu tidaklah secantik yang dikatakan orang-orang. Gadis itu memiliki luka bakar di sisi kiri wajahnya. Banyak yang tidak menyadari akibat tertutup pandangan oleh ilusi yang diberikan jin pendamping gadis itu. Hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat wajah asli Kirani.

Perlahan angin berembus di depan Kirani. Satu makhluk bergaun putih tanpa lengan sebatas paha muncul. Makhluk berupa jin yang mengubah wujudnya menjadi seorang gadis cantik berambut panjang. Selama ini, penampakan wajah makhluk itulah yang terlihat oleh laki-laki pada sosok Kirani. Wajah berbentuk oval, bibir tipis kemerahan, alis melengkung layaknya bulan sabit, bulu mata lentik, sungguh gambaran sempurna seorang gadis yang dijuluki kembang desa oleh laki-laki yang terpedaya akan penampakkan semu seorang Kirani.

Kirani sendiri memiliki perawakan yang tergolong sempurna sebagai wanita, hanya saja wajahnya terlihat buruk rupa tanpa bantuan penjaganya. Namun bukan berarti sebagian warga tidak menyadari kejanggalan akan perilaku laki-laki yang memuja Kirani. Mereka tahu, hanya saja tidak ingin terlibat lebih jauh karena mereka tidak tahu dibalik kejanggalan tersebut. Menghadapi ilmu hitam bukanlah perkara mudah. Meski seorang pemuka agama, mereka akan berpikir terlebih dahulu, apakah si pengguna bekerja sama dengan orang penganut ilmu hitam yang biasa atau bukan. Jika dilihat dari efek dari ilmu yang dipergunakan, mereka beranggapan jika orang pintar yang mendukung Kirani bukanlah orang sembarangan.

TBC.