Kaki jenjang Wira berjalan menyusuri pedalaman hutan menjelang tengah malam. Dirinya kalut pasca penolakan cinta dari pujaan hatinya. Begitulah pemikirannya.
Memantapkan hati di sore yang sejuk ketika sinar matahari sedang hangat-hangatnya menyinari bumi. Sehangat hatinya saat melihat sang pujaan hati sedang duduk di atas tikar, bawah pohon jambu air di depan rumah bibinya. Sebuah buku bertuliskan 'SEJARAH' menemani aktivitas santainya.
Tersungging senyum di bibirnya kala melihat keseriusan adik sepupunya itu membaca buku. Memanfaatkan waktu luang untuk belajar adalah kebiasaannya. Maka tak heran jika peringkat satu selalu diraih. "Serius amat!" Tidak ada jawaban. Menghela napas."Mas mau ngomong, lho."
Mengalihkan pandangannya ke arah Wira sejenak, menunjukkan wajah datar, Ata kembali menekuni kegiatannya. "Apa?" jawabnya singkat.
"Tidak sopan berbicara tanpa melihat lawan bicara."
Menutup buku, meletakkan di atas pangkuan. Melepas kacamata baca yang sedari tadi tergantung di hidung mungilnya, menoleh ke samping, Ata mendapati kakak sepupunya sedang menatapnya dengan wajah serius. "Nanti leher Ata sakit kalau bicara sambil liatin Mas Wira."
Tersenyum lebar hingga sebagian pupil tenggelam oleh kelopak mata, Wira mengalihkan pandangan lurus ke depan. Menghela napas sejenak, ia memutuskan mengutarakan maksud kedatangannya. "Mas suka sama kamu, Ta." Tanpa tedeng aling-aling, Wira menyatakan cinta pada adik sepupunya.
"Ata nggak suka sama mas Wira!"
"Kenapa?"
Mendengkus. "Habis Mas Wira suka jahil, jadi Ata nggak suka kalau deket-deket sama Mas!"
Mengusap kasar wajah dengan satu tangan, menatap putus asa gadis pujaan. Sebenarnya Ata mengerti atau tidak dengan apa yang dimaksud dengan kata 'SUKA' yang ia nyatakan? "Maksudnya, Mas cinta sama Ata," jawab Wira mantap.
"Oh, maksud Mas begitu?" Tersenyum lebar, menatap serius wajah rupawan pemuda di sampingnya.
Wira yang merasa diperhatikan pun menoleh ke arah adik sepupunya. Jantungnya berdebar kencang saat mendapati senyum manis Ata.
"Ata juga cinta sama Mas. 'Kan Mas saudara Ata. Ata juga cinta Bu Dhe, Pak Dhe juga. Pokoknya Ata cinta keluarga," jawab Ata terlewat polos.
Wira menggeram rendah. Terkutuklah atas segala sifat polos adik sepupunya itu. Tiba-tiba ia merasa jantungnya tertinggal di rumah. Daripada dia emosi, lebih baik pergi sebelum suaranya berubah menjadi Iblis. Emosinya sering tidak terkendali saat menghadapi hal-hal yang tidak ia sukai.
Bangkit dari duduknya, Wira melangkah pergi meninggalkan Ata.
"Mas mau kemana!?"
Tanpa menoleh ke asal suara, Wira terus melangkahkan kakinya menjauh dari halaman rumah paman dan bibinya.
"Aneh." Mengangkat bahu acuh, membuka kembali buku di atas pangkuan.
Lima belas menit waktu yang dibutuhkan Wira untuk sampai di rumahnya dengan berjalan kaki. Saat akan memasuki halaman rumahnya, langkahnya terhenti. Menyeringai mencurigakan, mengendap melewati pinggiran tanaman perdu yang menjadi pembatas rumahnya dengan rumah tetangga, sebuah rencana tersirat dalam benaknya. Dilihat dari mana pun, Apta itu sedang melamun sampai tidak mengenali keadaan. Berjingkat menapaki teras depan rumah Apta, kemudian bersimpuh di belakang tubuh sang empunya rumah.
"Mas Apta," memanggil dengan nada lembut. Sebisa mungkin menahan tawa saat melihat tubuh di depannya berjengit kaget, lalu kelimpungan mencari asal suara. "Aku di sini, Mas." Suara lembut menyerupai bisikkan kembali dilancarkan. Suara yang dikeluarkannya hanyalah sebuah ilusi yang dibuat oleh Maesaーsalah satu jin peliharaannya. Ia juga memerintahkan Maesa melalui telepati agar menghilangkan hawa keberadaannya sesaat.
Mendengar suara tak bertuan membuat bulu kuduk Apta meremang. Bibirnya mulai merapal beberapa suratan pendek yang ia pelajari saat mengaji. Apa saja yang dihafalnya ia rapalkan tak terkecuali doa makan.
"Pfft … hahahaha!"
Spontan Apta menghentikan rapalan doanya ketika mendengar tawa menggelegar dari arah belakang tubuhnya. Dirinya geram melihat sosok makhluk astral serupa sahabatnya sedang berguling ke kanan dan ke kiri sembari memegangi perut. Tubuhnya bangkit menghampiri Wira. Tanpa basa-basi ia segera menduduki perut sahabatnya. Tangannya terulur ke arah leher, menekan sedikit tanpa menimbulkan kecelakaan berarti. "Mati kamu, brengsek!"
Wira yang diperlakukan seperti itu merasa asupan oksigen yang masuk ke dalam tubuhnya berkurang, tangannya yang semula berusaha melepas tangan Apta dari lehernya terkulai lemas. Lidahnya menjulur keluar, matanya sedikit melotot.
PLAK!
Dan tanpa sungkan Apta mendaratkan satu tamparan keras di pipi putih sahabatnya itu hingga meninggalkan bekas kemerahan. "Geli tau!" Bangkit dari atas perut Wira, kemudian kembali duduk seperti semula, bersila dengan pandangan menatap jalanan.
"Sakit, Mas Apta."
Bulu kuduk meremang mendengar suara merajuk dengan nada berat khas laki-laki. Sepertinya sahabatnya perlu pengobatan spiritual agar kembali waras.
Senyuman pemuda di belakang Apta memudar kala melihat punggung sahabatnya. Ia tahu apa yang sedang dipikirkan Apta. Masa lalu sahabatnya tak layak dikenang. Orangtuanya meninggal mengenaskan hanya karena sebuah ambisi.
Kala itu mereka masih remaja, tidak banyak yang bisa diperbuat. Andai saja, dulu dia seperti sekarang, mungkin segalanya akan berbeda. Namun tidak ada yang perlu disesali, semuanya sudah terjadi.
Tubuh Wira bangkit menghampiri sahabatnya, kemudian duduk di sebelah sang sahabat. Meraih kepala sang sahabat dan menyandarkan ke bahunya.
Merasa diperlakukan seperti perempuan Apta melepaskan diri dari Wira dan mendorong tubuh pemuda itu hingga terjungkal ke samping.
Merasa lelah diperlakukan semena-mena oleh sahabatnya, Wira pun pasrah. Tidur terlentang, tangan sebelah kanannya menjadi bantalan kepalanya. Kedua kakinya dibiarkan terjulur di belakang tubuh Apta. Sebelah tangannya mengusap perutnya. Haaah! Ia jadi lapar. Kapan Ibunya pulang? Pasti menjelang maghrib.
"Apta?"
"Hmm."
"Makan, yuk!"
Kening Apta berkedut mendengar ajakan sahabatnya. Makan? Makan apa? Biasa mereka berdua makan bersama saat kedua orangtua Wira selesai melakukan aktivitasnya. Dan ibu Wira yang bernama Ningrum yang cerewetnya minta ampun selalu memasak selepas Maghrib. Kebiasaan ibu rumah tangga yang terlalu menjaga kesehatan keluarganya, tidak ada makanan selain buatan tangannya. Jika salah satu dari mereka berdua makan di luaran sana bisa dipastikan telinga mereka akan memanas mendengar ceramah wanita itu. Ujung-ujungnya air mata buaya bercucuran dari mata Ningrum.
Sejak kedua orangtuanya meninggal, ibu Wira selalu menganggap dirinya sebagai anaknya. Sempat mengajak tinggal bersama, tapi ditolaknya dengan alasan ingin menjaga peninggalan kedua orangtuanya. Namun untuk urusan makan, ibu Wira tak bisa diajak bernegosiasi. Pernah sekali ia melewatkan sarapan waktu dirinya masih pelajar, sepulang dari sekolah, ia mendapati ibu Wira berdiri di ambang pintu rumahnya. Wanita itu mengatakan ia tidak menganggapnya ada disertai air mata bercucuran. Apta menjelaskan kalau dirinya telat bangun karena begadang semalam mengerjakan tugas sekolahnya. Akhirnya ibu Wira berhenti menangis asal dirinya mau berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
Alhasil hari berikutnya di pagi buta ibu Wira sudah bertandang seperti penagih hutang. Menggedor pintu tanpa perasaan hanya untuk mengantar sarapan. Sudah berulang kali ia memberi pengertian agar tak terlalu repot, namun lagi-lagi adegan telenovela bagai cinta ditolak oleh pria pujaan hati, sang wanita dengan bercucuran air mata tak terima alasan apa pun. Akhirnya ia hanya bisa pasrah menuruti kemauan ibu Wira. Takut durhaka pada orang tua dan hingga saat ini kebiasaan itu tak pernah berhenti.
Jika sang ibu tak sempat bertandang maka sang anak menjadi korban. Wira dibangunkan secara paksa dengan cubitan maut. Ditambah wejangan sang ibu yang mengatakan pemuda pengangguran tak berguna. Wira bersikap bagai anak tiri teraniaya, meratapi nasib. Ingin memaki takut kualat. Dan berakhir dengan Apta yang terbangun mengenaskan di atas lantai. Entah bagaimana caranya Wira memasuki rumahnya seperti maling. Membangunkannya dengan cara mendorong tubuhnya meninggalkan kasur hingga terjungkal di atas lantai.
Jika ditanya apa masalahnya, Wira selalu memberi jawaban "Aku tak terima mimpi indahku berakhir mengenaskan karena dirimu!" Setelahnya Wira akan menguasai tempat tidurnya dan terlelap dengan damai, seolah sahabatnya itu bertandang ke rumahnya hanyalah sebuah mimpi sambil berjalan.
"Kamu ingin ibumu mengamuk!?"
"Ibu kita sayang."
Apta melotot horor memandang Wira tak percaya. Sejak kedatangannya, ia bersikap seperti orang kesurupan. Tadi saat membisikan namanya, ia yakin suara itu adalah suara perempuan. Telinganya masih berfungsi dengan baik. "Siapa kamu!?"
Wira mengernyit heran dengan pertanyaan sahabatnya. "Wira. Siapa lagi? Setan!? Tidak ada setan setampan diriku," ucap Wira sambil menyibakkan anak rambut ke belakang.
Apta memutar bola mata malas, ternyata benar sosok yang sedang terlentang itu sahabat Iblisnya. Setan tak ada yang senarsis dirinya. "Kesurupan, Bang?"
Menghela napas, Wira menceritakan tentang kejadian sebelum dirinya berakhir di teras sahabatnya.
Apta yang mendengarkan cerita Wira hanya tersenyum maklum. Ia memaklumi sifat Ata. Sepanjang pengamatannya di sekolah, Ata tak pernah sekalipun dekat dengan laki-laki. Kebanyakan temannya juga perempuan. Diam-diam ia sering mengamati gadis pujaan hati Wira itu. Wajar jika ia tahu gadis itu tak pernah memikirkan tentang masalah percintaan remaja. Setiap jam istirahat, ia akan menemukan gadis itu berbisik-bisik di perpustakaan bersama temannya sambil memegang buku pelajaran. Dia tak pernah melihat Ata berkumpul dengan teman lelaki seperti kebanyakan gadis lainnya.
"Itu bukan penolakan Wir."
"Mau penolakan atau bukan bagiku sama saja."
Apta mendengkus mendengar ucapan Wira. Kapan sahabatnya akan mengerti dengan keadaan. Wira terus saja ngotot ingin mempersunting sepupunya suatu hari nanti. Tentu hanya Apta yang tau keinginan Wira. Jika kedua orangtuanya tahu, mungkin Wira akan dibuang ke rawa-rawa dan menghapus namanya dari kartu keluarga.
Mungkin suatu hari Wira akan bersujud sambil menangis-nangis memohon restu kedua orangtua Ata dan juga orang tuanya. Jika tak ada restu ia akan mengancam akan bunuh diri. Drama sekali. Apta menggelengkan kepalanya mengusir pemikiran yang tak masuk diakal.
Bibir sedikit berisi milik Wira tersenyum saat membaca pikiran sahabatnya. Dia dapat membaca pikiran orang-orang di sekitarnya, kecuali Ata. Jiwa anak itu masih terlalu bersih. Makhluk halus pun enggan berurusan dengan sepupunya. Terlalu beresiko. Meski begitu tak menutup kemungkinan suatu hari akan ada yang berusaha mencelakai gadis itu.
* * *
Malam sudah mulai larut, namun Wira masih enggan menutup mata. Posisi tidur sudah berganti berulangkali, namun hasilnya nihil. Akhirnya dia memutuskan menyelinap keluar menuju hutan. Dan disinilah Wira berada. Di kedalaman hutan mencari sesuatu yang menarik.
"Tuan?"
"Jangan mengagetkanku, sialan!"
Sesosok makhluk berbentuk manusia kera melirik takut ke arah Wira. Nyalinya ciut kala suara tinggi tuannya menggema di dalam hutan. Tuannya memang bukan orang penakut seperti kebanyakan orang yang ia jumpai. Tentu saja, orang gila macam apa yang gentayangan saat tengah malam di dalam hutanーyang saat siang pun dihindari oleh warga desa.
"Bisakah kau merubah wujudmu lebih baik? Aku sedang tidak berselera melihat makhluk berbulu …." Wira menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh ke arah belakang di mana pengikut setianya berada. "Jangan lebih tampan dariku!" lanjut Wira.
Makhluk di hadapan Wira mengangguk kaku.
Kaki jenjang Wira kembali melangkah. Sudah hampir satu jam lamanya ia menyusuri hutan tanpa arah. Meski hutannya tak terlalu besar seperti hutan pada umumnya, pepohonan pun tidak serapat kelihatannya, tetap saja jalannya tak mudah untuk dilalui. Meski demikian, medan seperti itu tak menjadi halangan baginya. Ia sudah terbiasa keluar masuk hutan hanya bermodalkan senter.
"Maesa!"
"Saya, Tuan."
Satu lagi pengikut setia Wira muncul di belakang tubuhnya.
Kening Wira mengernyit saat menyadari seperti ada sesuatu yang aneh dengan para pengikutnya. Berhenti sejenak, diikuti oleh kedua makhluk di belakangnya. Tubuhnya berbalik untuk memastikan pengikutnya yang bodoh tidak berbuat konyol. Dan sesuai dugaannya. "Dasar jin bodoh!"
Melihat aura tak mengenakkan tuannya, kedua makhluk tersebut mengkerut takut.
"Ma-maaf Tuan, tadi saya dengar, Tuan Wira tidak ingin melihat makhluk berbulu." Maesa merapatkan tubuhnya ke arah temannya. Dirinya takut melihat tuannya mengeluarkan aura ingin membunuh.
"Benar, tapi tidak dengan kakimu bodoh!" Maesa perlahan melihat keadaan kakinya. Benar saja, kakinya masih berupa kaki kerbau. Badannya memang berupa manusia yang kuat dan kokoh bak binaragawan, tapi dasar sial! Dia lupa berubah seutuhnya karena terkejut tiba-tiba tuannya memanggil dengan suara tinggi.
"Maesa, pergi ke tempat yang nyaman untukku bersemedi. Pastikan tempatnya kosong."
Maesa kembali melirik tuannya takut takut. "Ba-baik, Tuan," jawab Maesa sebelum pergi meninggalkan tuannya.
Sepeninggal Maesa, Wira menatap tajam pengikutnya yang lain. Merasa diperhatikan sedemikian rupa membuatnya ingin menghilang dari hadapan tuannya.
"RE-WAN-DA. Kau ingin menjagaku atau menggodaku!" Rewanda berjengit kaget, ingin menangis tapi nanti apa kata buyutnya. Dia jin yang kuat kok. Bahkan setiap perubahannya selalu sempurna. Menyamarkan keberadaanya pun mampu. Tapi apalagi ini, dirinya selalu salah. Memang saat ini dia berubah menjadi manusia sempurna. Cantik bagai bidadari pujaan hati sang tuan di depannya. Memakai gaun putih, rambutnya tergerai indah. Kurang apalagi?
"Se-sesuai per-permintaan Tuan Wira, saya tidak lebih tampan dari Tuan," ucapnya terbata-bata karena takut jika tuannya akan marah.
Wira mengusap rambutnya kasar. "Tidak dengan wujud wanita! Apalagi Ata bodoh!"
Rewanda mengangguk kaku, kemudian merubah wujudnya secepat mungkin.
Wira memandang Rewanda dari atas ke bawah. "Begitu lebih baik."
Rewanda menghela napas lega kala tuannya berbalik dan melanjutkan perjalanannya. Kini dirinya berubah menjadi remaja beranjak dewasa. Tubuhnya lebih kurus dan lebih pendek dari sang Tuan kelewat baik di depannya.
Tak berapa lama kemudian suara telepati dari Maesa masuk melalui pikiran Wira. Makhluk itu telah menemukan tempat yang nyaman untuk tuannya. Wira mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Maesa. Sesampainya di tujuan, Wira melihat sebuah gua di hadapannya. Kakinya melangkah memasuki gua tersebut. Tak jauh dari mulut gua ada sebuah batu besar. Namun ada yang aneh dengan aura batu tersebut. Wira menggeram rendah, menutup mata sejenak, menetralkan emosinya yang meluap. Saat membuka mata kembali, teriakan nyaringnya menggema dalam gua tersebut.
"MAESA!"
Kali ini tamatlah riwayatmu Maesa. Bersabarlah menghadapi tuanmu yang mempunyai kesabaran seujung sumbu lilin yang cepat terbakar habis. Berdoalah semoga kau tidak kembali ke asalmu.
TBC