Suara lolongan binatang buas menggema di bagian terdalam hutan, menciptakan suasana mencekam, menggambarkan tempat tak bersahabat bagi manusia. Sinar bulan yang menyinari bagian hutan melalui celah-celah rimbunan pohon memberi kesan angker dan misterius. Namun keadaan tersebut tak membuat seorang gadis cantik yang sedang menyusuri jalan setapak keluar hutan merasa tak nyaman. Langkah kakinya seringan angin yang berembus. Bibir merah berpoles lipstik tak henti-hentinya menggumamkan sesuatu. Sesekali bibir itu terkikik kecil.
Menyeringai, langkah kaki terhenti di pinggiran hutan saat merasakan kehadiran seseorang. Bukan hanya seorang, tapi dua orang setengah baya. Gadis itu berhenti dan membalikkan badan memandang jalan setapak yang baru saja dilaluinya.
"Nduk, sedang apa malam-malam begini di tempat seperti ini?"
Sang gadis menoleh ke arah dua orang paruh baya yang baru saja datang. Ia memperhatikan keduanya dengan wajah datarnya. "Kucing peliharaan saya berlari ke arah hutan. Saya takut kucing saya diterkam binatang buas."
"Tapi Nak, ini sudah malam. Bahaya," ucap sang pria paruh baya dengan nada khawatir.
"Suamiku benar, Nduk. Besok sa …."
Tanpa mendengarkan ucapan suami istri tersebut si gadis berjalan cepat bahkan sebelum ucapan itu berakhir. Rasa khawatir akan terjadi sesuatu hal yang buruk pada gadis yang ditemuinya, kedua orang itu pun mengikuti jejak gadis tersebut berbekal senter sebagai penerangan jalan. Selama mengikuti gadis itu, entah kenapa sang pria merasa ada sesuatu yang aneh. Saat ingin mengulurkan tangannya untuk meraih lengan sang gadis, ia selalu gagal. Padahal jarak antara dirinya dan sang gadis tak terlalu jauh. Hanya setengah meter di depannya, akan tetapi jarak itu sulit dijangkau.
Sang pria memelankan laju langkahnya. Diraihnya tangan sang istri untuk ikut berhenti. "Siapa kamu?!"
Langkah sang gadis ikut terhenti kala pertanyaan itu meluncur dari mulut pria setengah baya di belakangnya. Suara kikikkan terdengar dan beberapa saat kemudian berubah menjadi suatu tawa tak bersahabat.
Suara tawa mengerikan membuat pasangan suami istri tersebut mundur beberapa langkah untuk berjaga-jaga.
Sang gadis berbalik memperlihatkan mata merah menyala diikuti kuku jari tangan yang memanjang.
Sang istri menjerit tertahan, sang pria tanpa pikir panjang menyeret tangan sang istri agar ikut berlari bersamanya. Keduanya terus berlari tanpa menoleh ke belakang. "AAARG!" teriakan kesakitan terdengar, disusul suara teriakan histeris lainnya. Sang istri memandang nanar sang suami yang tersungkur dengan keadaan mengenaskan. Punggungnya terkoyak hingga memperlihatkan bagian daging terdalam.
"I-Ibu la-lari."
Meski sang suami sudah berpesan padanya untuk lari, namun apa dikata kakinya terasa mati rasa melihat keadaan suaminya yang mengenaskan. Tertelungkup tak lagi bergerak. Gadis yang ia kira hanya gadis biasa itu berdiri di hadapannya. Tidak ada kesan cantik di wajahnya. Kepalanya berubah menjadi kepala binatang buas. Mirip babi hutan perpaduan kerbau. Taring besarnya menyembul di antara moncongnya. Matanya berwarna merah darah, tanduk kepalanya melengkung bagai tanduk kerbau.
Wanita paruh baya itu memejamkan matanya erat, ketika makhluk di depannya menghujamkan kuku panjangnya ke arah dada kirinya, tepat di jantungnya. Wanita itu tak menyangka semua perasaan tak enaknya yang ia kira sesuatu yang buruk telah terjadi pada putrinya, nyatanya perasaan itu tertuju pada dirinya dan juga suaminya. Ia menyesal telah memaksa sang suami agar cepat pulang tanpa melihat waktu. Air matanya mengalir di saat detik-detik napasnya akan berakhir.
***
Sudah menjadi kebiasaan gadis berambut panjang bergelombang untuk bangun di pagi buta. Melakukan aktivitas keagamaan, setelah itu menyiapkan sarapan. Ajaran Bunda yang tak pernah ia lupakan. Sebagai seorang wanita ia diajarkan untuk melakukan pekerjaan sebagai calon ibu di kemudian hari.
Hari ini tak seperti biasanya. Rasa kantuk masih mendera akibat kurang tidur setelah melihat keadaan kakak sepupunya dan juga tetangganya. Apalagi semalam, ia mengalami hal yang sangat jarang terjadi padanya. Entah makhluk apa yang dibawa kedua pemuda itu saat bertandang ke rumahnya. Ata merasakan suatu perasaan yang mengganggu pikiran, seolah sesuatu sedang mengintainya atau mengintai kedua pemuda yang semalam datang dengan keadaan mengenaskan. Sebenarnya Ata ingin sekali menanyakan hal ini, tapi untuk saat ini mungkin bukan waktu yang tepat.
Setelah semua urusan telah terselesaikan, Ata bersiap untuk ke sekolah. Sebelum berangkat, ia ingin membangunkan sekali lagi kakak sepupunya. Saat setelah shalat subuh tadi ia sempat mengetuk pintu kamar kakaknya beberapa kali, namun tidak ada jawaban dari dalam, bertanda sang penghuni kamar saat itu masih terlelap.
Tok! Tok! Tok!
"Mas Wira!"
"Mas Wi .…" panggilan terhenti kala pintu di depannya terbuka, memperlihatkan pemuda yang semalam menginap di rumahnya.
Menguap kecil Wira menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan mata setengah terpejam.
"Ish! mas Wira, kalo nguap tutup mulutnya!"
Kegiatan Wira terhenti. "kenapa? Bau napas naga, ya?"
"Ih! Kaya Mas pernah nyium baunya aja! Kata Bunda kalau nguap tutup mulutnya, nanti setannya pada masuk kalo ga ditutup, lho."
Bibir sedikit pucat nyengir tanpa dosa, tangannya terulur ingin mengusap pucuk kepala gadis manis di depannya.
"Jangan pegang-pegang! Ata, 'kan, sudah rapi, mau sekolah!"
Namun belum sampai niatnya terlaksana, sebuah tepisan di tangan sudah menyapa.
"Mas Wira, tadi Ata masak bubur buat Pak Apta."
Bibir Wira mengerucut kala adik sepupunya hanya menawari sarapan untuk sahabatnya terlebih dahulu. Dia juga lapar, semalam tidak sempat makan. "Calon suami, kok, nggak ditawarin, sih?"
"Mas Wira jelek, ih! 'Kan Mas Wira sehat wal afiat. Bisa jalan, tangannya juga bisa dipake, matanya masih sehat, 'kan? Mas bikin sendiri aja. Lagian dapurnya juga ga pindah kok, Mas!"
Ingin rasanya Wira memasukan gadis cerewet, tapi manis di depannya ke dalam karung, menculiknya, dan mengurung di kamarnya. Ata kalau sedang berbicara terlihat menggemaskan di matanya. Ia tak bisa membayangkan jika adiknya bertingkah seperti ini di sekolahnya. Jangan-jangan banyak remaja laki-laki yang punya pemikiran yang sama seperti dirinya.
"Mas, Ata berangkat dulu, ya? Tadi Mas Heru nelpon, katanya Ayah ma Bunda udah balik kemarin sore, mungkin ga sampai siang mereka sudah sampai. Jadi Mas tunggu Bunda, ya, pulangnya. Sekalian kasih tau Pak Apta, nanti Ata izinin buat ga masuk kerja hari ini."
Wira mengernyit heran mendengar penuturan Ata. Harusnya kalau pulang dari kemarin sore, paman dan bibinya harusnya sudah sampai tadi malam. "Tunggu! Kalau pulangnya kemarin sore, harusnya sudah sampai tadi malam."
"Gimana mau nyampe, kata Mas Heru, Ayah ma Bunda sebelum pulang kesini mampir dulu ke tempat Mas Wira, sekalian lewat. Mungkin kemalaman, jadi nginep."
Wira tersenyum lebar, sekali-kali iseng ga dosa, 'kan? "Jangan-jangan mereka membicarakan tentang masa depan kita, kalau pembicaraannya sampai larut malam dan mengharuskan Paman dan Bunda menginap. Berarti sekalian tanggal perーaduh!" Wira mengelus lengan kirinya saat rasa panas menjalar akibat cubitan maut sang adik sepupu. "Kok, belum nikah, udah KDRT aja!"
Ata menatap sinis pemuda penuh percaya diri di depannya. Memangnya siapa yang mau menikahi pemuda kurang kerjaan seperti Wira. "Biar mas bangun!" Berbalik pergi meninggalkan Wira yang masih berdiri di depan pintu kamar. "Mas! Ata berangkat!"
Menggelengkan kepala, hembusan napas kasar dikeluarkan saat menyadari cara adik sepupunya berpamitan.Tanpa salam, tanpa bertatap muka, hanya suara yang terdengar.
Perlahan Wira berjalan menuju ruang makan merangkap dapur yang berada di ruangan belakangーdi samping kamar Ata. Berdiri di depan meja makan sejenak, lalu diangkatnya tutup saji di depannya. Tersenyum lebar, menarik kursi dengan kasar, kemudian menarik satu piring berisi nasi goreng kesukaannya. Lebih baik langsung sarapan saja, urusan berbenah diri belakangan. Siapa sih yang tidak mau langsung melahap makanan kesukaanmu yang di siapkan untukmu dari orang yang kamu cintai? Urusan mandi, gosok gigi, dan lain sebagainya, lewat! Ia juga tidak peduli urusan satu mangkok bubur dengan taburan ayam suwir dan daun bawang, terlihat enak, tapi tak seenak nasi gorengnya.
***
"Bundaaaa ...!" Gadis menginjak usia hampir delapan belas tahun berlari kecil menyambut kedatangan sang Ibu. Memeluknya erat, menuntaskan hasrat kerinduan yang begitu besar.
"Ndak kangen Ayah, nih?"
Melepaskan diri dari dekapan sang Ibu, Ata menggeser tubuhnya, membenamkan diri ke tempat yang terasa nyaman di dunia ini. Beberapa saat terasa menenangkan, namun hal itu berubah dalam sekejap. Dahi mengernyit kala tangannya merasakan sesuatu yang basah di balik punggung ayahnya.
Melerai dekapan ayahnya, kepalanya mendongak. Wajah ayahnya terlihat begitu pucat, layaknya tak ada kehidupan. Darah segar mengalir dari celah bibirnya. Selang beberapa saat kemudian ayahnya tersenyum. Rasa takut menjalar di hati Ata. Air matanya meluncur bebas membasahi pipinya.
Rasa takutnya semakin menjadi kala dirinya berbalik melihat keadaan ibunya yang tak kalah mengenaskan. Dada bagian kiri berlubang. Tanda koyakan binatang buas terlihat jelas. Wajah ibunya yang biasa terlihat menenangkan berubah pucat.
Gadis itu tak sanggup melihat keadaan kedua orang tuanya, kakinya terasa lemas tak mampu lagi menopang berat badannya. Ia jatuh terduduk, pandangannya tertuju pada kedua tangannya yang bertumpu di atas pahanya. Darah ayahnya tertinggal di sebagian lengan dan telapak tangan. "I ... ini tidak mungkin terjadi, hiks!" Napas tertahan. Kesedihan tak kuasa dilawan. Dada kian terhimpit dan sesuatu yang besar terasa ingin meledak dari dalam dada.
"Astaghfirullah!" Ata terbangun dari tidurnya. Pandangannya bergulir meneliti sekitar tempatnya berada. Suasana kamar yang terlihat sunyi. Mengingat mimpinya baru saja, Ata mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sungguh mimpinya sangat menakutkan. Semoga saja kedua orang tuanya baik-baik saja.
Menghela napas sejenak, Ata bangkit dari tempat tidur, berjalan keluar dan meneliti setiap ruangan di rumahnya, berharap kedua orangtuanya telah kembali. Ata berbalik, berjalan menuju ruang tamu melewati kamarnya serta sang kakak ketika tak menemukan siapa pun di dapur.
Di ruang tamu, ia mendapati Wira, Apta, kakaknya Heru, dan kedua orangtua Wira. "Loh, tumben sekali pada kumpul di sini?" Menatap satu persatu orang-orang yang berkumpul di ruang tamu rumahnya dengan perasaan heran. Mengapa mereka semua memasang wajah muram?
"De, mulai hari ini kamu tinggal sama Bu Dhe dan Pak Dhe, ya?" Pria dewasa berperawakan seperti Wira menghampiri sang adik. Ia terlihat cemas melihat keadaan adiknya yang seperti itu. Pria berambut ikal itu memeluk adiknya dengan perasaan campur aduk.
"Kok tinggal sama Bu Dhe? Nanti kalo Bunda pulang nyariin Ata, gimana?"
Melerai pelukan, mengusap lembut pucuk kepala adik satu-satunya. "Pokoknya Ata nurut aja sama kakak, ya ?"
Mengangguk ragu, Ata menatap kosong wajah muram sang kakak.
"Adik pintar. Sekarang beresin barang-barang Ade." Senyum kecut mengembang begitu melihat keadaan adiknya tidaklah baik-baik saja.
"Semua akan baik-baik saja."
Menoleh ke samping, Heru mendapati Wira berdiri memandang kepergian sang adik.
Menepuk ringan pundak Heru, Wira mencoba menguatkan saudaranya. Meski hati berkobar api amarah, namun sebisa mungkin ia bersikap tenang. "Untuk sementara biarlah seperti ini."
TBC.